MUTIARA WEDA : Lurus atau Bengkok?
Perkataan yang bohong tidak selamanya tidak benar, karena walaupun kata-kata itu bohong tetapi berakibat baik dan menyenangkan kepada semua orang, maka itulah kebenaran. Walaupun sesuai dengan apa yang terjadi tetapi ternyata berakibat tidak menyenangkan, tetap dusta namanya itu.
Na tahyavacanam satyam nātathyavacana mrsā,
Yad bhutahitamatyartham tat satyamitaramrsa.
(Sarasamucchaya, 134)
SEPANJANG sejarah, moralitas mengajarkan bahwa sesuatu itu lurus adalah lurus dan bengkok adalah bengkok. Benar akan tetap benar dan salah juga akan tetap salah di mana pun dan kapan pun. Dalam moralitas, dikotomi merupakan sesuatu yang tak terbantahkan. Nature dari ajaran moral adalah dikotomi ini. Untuk menjustifikasi apakah sesuatu itu benar atau salah diperlukan sesuatu yang berlawanan. Determinasi tersebut sepenuhnya tergantung dari kontrasnya sesuatu itu. Semakin jelas perbedaannya, semakin gampang menentukannya. Artinya, agar sesuatu itu bernilai benar, maka diperlukan pembanding, yang merupakan kebalikannya, yakni salah. Semakin jauh jaraknya, semakin jelas benar dan salahnya. Jika sampai bertolak belakang 180 derajat, maka ia berada sepenuhnya pada satu pihak, apakah benar total atau salah total.
Seperti itulah ajaran yang diwariskan dari zaman ke zaman, sehingga kondisinya menjadi tampak sangat alami. Apapun yang kita pikirkan dan nilai sepenuhnya jatuh ke dalam dikotomi tersebut. Tampak tidak ada alternatif untuk menyatakan sebuah kebenaran. Namun, teks Sarasamucchaya di atas seolah justru kontradiktif dengan cara berpikir kita secara umum. Tidak selamanya yang lurus itu benar atau yang bengkok itu salah. Teks di atas seolah berontak terhadap cara berpikir dikotomis tersebut. Tampak sekali teks di atas bertentangan dengan cara kerja moralitas. Dalam hal tertentu, bersikap abu-abu bisa menjadi sebuah kebenaran. Teks di atas mengajarkan bahwa bisa saja mengatakan sesuatu yang benar itu adalah dusta dan mengatakan kebohongan adalah kebenaran. Di sini terjadi peperangan antara realitas dengan kontekstualitas.
Sloka di atas menekankan pada konteks dan bukan pada kejadian apa adanya. Jika dalam konteksnya untuk menyenangkan orang lain atau membuat situasi menjadi tenang, maka berbohong atau berperilaku tidak benar adalah sebuah kebenaran. Di sisi lain, walaupun atas nama kebenaran, kita berbicara apa adanya karena memang benar demikian adanya, justru mencelakakan diri sendiri atau orang lain, maka ini bisa disebut dusta atau dosa, dan bukan kebenaran sama sekali. Seperti misalnya, seorang dokter melihat pasien, meskipun berdasarkan prediksi medis, orang yang terkena kanker stadium akhir, hidupnya tidak lebih lagi seminggu dan hampir tidak ada kemungkinan untuk sembuh, dokter tidak akan pernah mengatakan kebenaran itu. Demi kenyamanan pasiennya, dia akan berbohong dan selalu mengatakan bahwa semuanya akan tetap baik saja, tidak akan terjadi apa-apa. Pasien tetap diajak untuk terus berupaya dan berharap agar penyakitnya bisa disembuhkan.
Apa jadinya jika pasien mengetahui keadaan itu? Mungkin, ketika mendengar kebenaran tersebut, ia menjadi putus harapan. Hidupnya malah bukan seminggu lagi, tetapi bisa hanya beberapa jam saja. Ini adalah salah satu bentuk kebohongan yang disebut dengan kebenaran. Siapa pun akan salah berupaya menutup harapan orang, meskipun kenyataannya seperti itu. Siapa tahu dengan berbohong itu, niat pasien untuk sembuh menjadi berlipat-lipat sehingga tubuhnya menghasilkan zat tertentu yang mampu melawan penyakitnya dan prediksi kedokteran bisa meleset sama sekali. Tidak jarang hal itu bisa terjadi. Dalam kondisi kritis, seseorang akan bergantung dari penolongnya. Ketika sang penolong mampu meyakinkannya, walaupun secara data hal itu tidak mungkin, namun dengan kebohongan itu, si penolong mampu membangkitkan sesuatu yang tertidur di dalam diri orang yang ditolong, maka sesuatu yang bersifat mujizat bisa saja terjadi.
Dalam hidup, tidak semua yang lurus akan benar dan tidak semua yang bengkok akan salah. Krishna juga mengajarkan seperti itu kepada Arjuna. Ada kalanya orang yang terlalu berpegang pada prinsip kebenaran akan dimanfaatkan oleh mereka yang licik. Seperti halnya Rsi Bhisma. Andai saja dirinya tidak terlalu kaku dengan kebenaran itu dan bisa mempertahankan kebenaran itu secara abu-abu, maka tidak akan ada yang bisa memanfaatkannya untuk kepentingan tertentu. Sakuni yang licik tidak akan mampu memanfaatkannya. Di sini, berpegang kepada kebenaran secara kaku akan mudah diperdaya oleh mereka yang licik, sehingga kebenaran itu bukannya semakin kuat, melainkan hancur. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Yad bhutahitamatyartham tat satyamitaramrsa.
(Sarasamucchaya, 134)
SEPANJANG sejarah, moralitas mengajarkan bahwa sesuatu itu lurus adalah lurus dan bengkok adalah bengkok. Benar akan tetap benar dan salah juga akan tetap salah di mana pun dan kapan pun. Dalam moralitas, dikotomi merupakan sesuatu yang tak terbantahkan. Nature dari ajaran moral adalah dikotomi ini. Untuk menjustifikasi apakah sesuatu itu benar atau salah diperlukan sesuatu yang berlawanan. Determinasi tersebut sepenuhnya tergantung dari kontrasnya sesuatu itu. Semakin jelas perbedaannya, semakin gampang menentukannya. Artinya, agar sesuatu itu bernilai benar, maka diperlukan pembanding, yang merupakan kebalikannya, yakni salah. Semakin jauh jaraknya, semakin jelas benar dan salahnya. Jika sampai bertolak belakang 180 derajat, maka ia berada sepenuhnya pada satu pihak, apakah benar total atau salah total.
Seperti itulah ajaran yang diwariskan dari zaman ke zaman, sehingga kondisinya menjadi tampak sangat alami. Apapun yang kita pikirkan dan nilai sepenuhnya jatuh ke dalam dikotomi tersebut. Tampak tidak ada alternatif untuk menyatakan sebuah kebenaran. Namun, teks Sarasamucchaya di atas seolah justru kontradiktif dengan cara berpikir kita secara umum. Tidak selamanya yang lurus itu benar atau yang bengkok itu salah. Teks di atas seolah berontak terhadap cara berpikir dikotomis tersebut. Tampak sekali teks di atas bertentangan dengan cara kerja moralitas. Dalam hal tertentu, bersikap abu-abu bisa menjadi sebuah kebenaran. Teks di atas mengajarkan bahwa bisa saja mengatakan sesuatu yang benar itu adalah dusta dan mengatakan kebohongan adalah kebenaran. Di sini terjadi peperangan antara realitas dengan kontekstualitas.
Sloka di atas menekankan pada konteks dan bukan pada kejadian apa adanya. Jika dalam konteksnya untuk menyenangkan orang lain atau membuat situasi menjadi tenang, maka berbohong atau berperilaku tidak benar adalah sebuah kebenaran. Di sisi lain, walaupun atas nama kebenaran, kita berbicara apa adanya karena memang benar demikian adanya, justru mencelakakan diri sendiri atau orang lain, maka ini bisa disebut dusta atau dosa, dan bukan kebenaran sama sekali. Seperti misalnya, seorang dokter melihat pasien, meskipun berdasarkan prediksi medis, orang yang terkena kanker stadium akhir, hidupnya tidak lebih lagi seminggu dan hampir tidak ada kemungkinan untuk sembuh, dokter tidak akan pernah mengatakan kebenaran itu. Demi kenyamanan pasiennya, dia akan berbohong dan selalu mengatakan bahwa semuanya akan tetap baik saja, tidak akan terjadi apa-apa. Pasien tetap diajak untuk terus berupaya dan berharap agar penyakitnya bisa disembuhkan.
Apa jadinya jika pasien mengetahui keadaan itu? Mungkin, ketika mendengar kebenaran tersebut, ia menjadi putus harapan. Hidupnya malah bukan seminggu lagi, tetapi bisa hanya beberapa jam saja. Ini adalah salah satu bentuk kebohongan yang disebut dengan kebenaran. Siapa pun akan salah berupaya menutup harapan orang, meskipun kenyataannya seperti itu. Siapa tahu dengan berbohong itu, niat pasien untuk sembuh menjadi berlipat-lipat sehingga tubuhnya menghasilkan zat tertentu yang mampu melawan penyakitnya dan prediksi kedokteran bisa meleset sama sekali. Tidak jarang hal itu bisa terjadi. Dalam kondisi kritis, seseorang akan bergantung dari penolongnya. Ketika sang penolong mampu meyakinkannya, walaupun secara data hal itu tidak mungkin, namun dengan kebohongan itu, si penolong mampu membangkitkan sesuatu yang tertidur di dalam diri orang yang ditolong, maka sesuatu yang bersifat mujizat bisa saja terjadi.
Dalam hidup, tidak semua yang lurus akan benar dan tidak semua yang bengkok akan salah. Krishna juga mengajarkan seperti itu kepada Arjuna. Ada kalanya orang yang terlalu berpegang pada prinsip kebenaran akan dimanfaatkan oleh mereka yang licik. Seperti halnya Rsi Bhisma. Andai saja dirinya tidak terlalu kaku dengan kebenaran itu dan bisa mempertahankan kebenaran itu secara abu-abu, maka tidak akan ada yang bisa memanfaatkannya untuk kepentingan tertentu. Sakuni yang licik tidak akan mampu memanfaatkannya. Di sini, berpegang kepada kebenaran secara kaku akan mudah diperdaya oleh mereka yang licik, sehingga kebenaran itu bukannya semakin kuat, melainkan hancur. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar