Hadirkan Kisah Sang Penari Kehidupan
Teater 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah
SINGARAJA, NusaBali
Memasuki pentas ke 10, project monolog 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah yang disutradarai Kadek Sonia Piscayanti kembali menyapa. Dalam kesempatan ini Sonia menghadirkan kisah Cening Liadi, sang penari kehidupan. Seluruh kisahnya yang sangat unik dan menginspirasi tertata dalam pementasan yang berlangsung pada Selasa (11/12) malam di kediaman sang aktor, Kelurahan Penarukan, Kecamatan/Kabupaten Buleleng.
Seperti sembilan ibu yang sudah memenuhi jatah pentasnya di bulan-bulan sebelumnya, Cening Liardi yang merupakan seniman tradisional tampil maksimal membawakan kisah hidup yang sangat berwarna. Perjuangan seorang ibu dalam diri Cening Liardi yang juga staf Dinas Kebudayaan Buleleng, terpampang jelas.
Aksi panggungnya juga disempurnakan dengan keahlian dan penguasaannya terhadap seni tradisional, seperti menari dan bertembang. Ia membuka cerita dengan menggunakan pakaian tari dan langsung menarikan tari sekar jagat. Perjalanan dan perjuangan kisah hidupnya yang sangat menyentuh sangat kompleks.
Mulai dari membangun bahtera rumah tangga tanpa restu, masalah ekonomi, keluarga, hingga perjuangannya untuk kesembuhan anaknya yang hampir meninggal juga dipoles sempurna memakai pendekatan pakem seni arja. Penonton yang hadir menyaksikan aksi panggungnya pun dibuat tak berkedip dengan kisah yang menyentuh dan totalitas karakter yang dibawakan.
Sutradara Kadek Sonia Piscayanti mengakui jika garapan pentas Cening Liardi memang berbeda, dengan konsep sembilan ibu sebelumnya. Sonia pun sengaja menonjolkan keunikan dan kekhasan aktor yang juga seniman tradisional ini, dengan mengadopsi pakem seni tradisional yang dikuasainya.
Bahkan cara bergerak, berpindah tempat dan menjalankan cerita dibawakan dengan prinsip bloking yang ketat dan terukur. “Pentas ini seperti sebuah pondasi gerak tari, yaitu agem yang tekek (kokoh), tidak banyak gerak yang boros dan lepas. Seperti agem pula, Bu Cening bergerak dengan kokoh, mengisahkan bahwa tantangan terhadap keluarganya terutama kepada anaknya yang bertubi-tubi telah membuatnya kokoh,” ujar Sonia.
Kisah Cening mengalir dengan lambat namun pasti, mengambil klimaks ketika Cening hampir putus asa saat anaknya hampir meninggal. Hanya dengan keyakinan saja, ia berdoa, agar anaknya disembuhkan. Dengan berbagai perjuangan, anaknya sembuh bahkan lulus ujian sarjana dengan predikat cumlaude.
Pelajaran hidup yang begitu berat membuatnya sadar untuk lebih banyak mendekatkan diri pada Tuhan dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya. Ia pun mendirikan Rumah Yadnya Tri Laksmi untuk berbagi secara gratis dengan perempuan Bali berupa kursus menari, megambel, mejahitan, dan menyanyi kidung kerohanian. Ia juga mendirikan koperasi untuk melayani dan memperkuat perekonomian keluarga sekitarnya yang membutuhkan.
Sementara itu pementasan Cening Liardi pun mendapatkan apresiasi dari sejumlah penonton. “Kisahnya sangat menginspirasi dan memotivasi, terutama bagi kami claon ibu, bisa mencontoh semangat juang ibu Liadi,” kata Dian, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha. *k23
Memasuki pentas ke 10, project monolog 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah yang disutradarai Kadek Sonia Piscayanti kembali menyapa. Dalam kesempatan ini Sonia menghadirkan kisah Cening Liadi, sang penari kehidupan. Seluruh kisahnya yang sangat unik dan menginspirasi tertata dalam pementasan yang berlangsung pada Selasa (11/12) malam di kediaman sang aktor, Kelurahan Penarukan, Kecamatan/Kabupaten Buleleng.
Seperti sembilan ibu yang sudah memenuhi jatah pentasnya di bulan-bulan sebelumnya, Cening Liardi yang merupakan seniman tradisional tampil maksimal membawakan kisah hidup yang sangat berwarna. Perjuangan seorang ibu dalam diri Cening Liardi yang juga staf Dinas Kebudayaan Buleleng, terpampang jelas.
Aksi panggungnya juga disempurnakan dengan keahlian dan penguasaannya terhadap seni tradisional, seperti menari dan bertembang. Ia membuka cerita dengan menggunakan pakaian tari dan langsung menarikan tari sekar jagat. Perjalanan dan perjuangan kisah hidupnya yang sangat menyentuh sangat kompleks.
Mulai dari membangun bahtera rumah tangga tanpa restu, masalah ekonomi, keluarga, hingga perjuangannya untuk kesembuhan anaknya yang hampir meninggal juga dipoles sempurna memakai pendekatan pakem seni arja. Penonton yang hadir menyaksikan aksi panggungnya pun dibuat tak berkedip dengan kisah yang menyentuh dan totalitas karakter yang dibawakan.
Sutradara Kadek Sonia Piscayanti mengakui jika garapan pentas Cening Liardi memang berbeda, dengan konsep sembilan ibu sebelumnya. Sonia pun sengaja menonjolkan keunikan dan kekhasan aktor yang juga seniman tradisional ini, dengan mengadopsi pakem seni tradisional yang dikuasainya.
Bahkan cara bergerak, berpindah tempat dan menjalankan cerita dibawakan dengan prinsip bloking yang ketat dan terukur. “Pentas ini seperti sebuah pondasi gerak tari, yaitu agem yang tekek (kokoh), tidak banyak gerak yang boros dan lepas. Seperti agem pula, Bu Cening bergerak dengan kokoh, mengisahkan bahwa tantangan terhadap keluarganya terutama kepada anaknya yang bertubi-tubi telah membuatnya kokoh,” ujar Sonia.
Kisah Cening mengalir dengan lambat namun pasti, mengambil klimaks ketika Cening hampir putus asa saat anaknya hampir meninggal. Hanya dengan keyakinan saja, ia berdoa, agar anaknya disembuhkan. Dengan berbagai perjuangan, anaknya sembuh bahkan lulus ujian sarjana dengan predikat cumlaude.
Pelajaran hidup yang begitu berat membuatnya sadar untuk lebih banyak mendekatkan diri pada Tuhan dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya. Ia pun mendirikan Rumah Yadnya Tri Laksmi untuk berbagi secara gratis dengan perempuan Bali berupa kursus menari, megambel, mejahitan, dan menyanyi kidung kerohanian. Ia juga mendirikan koperasi untuk melayani dan memperkuat perekonomian keluarga sekitarnya yang membutuhkan.
Sementara itu pementasan Cening Liardi pun mendapatkan apresiasi dari sejumlah penonton. “Kisahnya sangat menginspirasi dan memotivasi, terutama bagi kami claon ibu, bisa mencontoh semangat juang ibu Liadi,” kata Dian, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha. *k23
Komentar