Quo Vadis Pariwisata Bali, antara Kualitas dan Kuantitas
Selamat datang duhai para wisatawan mancanegara. Begitulah keramahan Bali, Island of Gods, menyambut kedatangan turis yang berlibur di Pulau Dewata.
Wisatawan dari berbagai penjuru dunia pun berbondong-bondong datang ke Bali. Setali tiga uang, selama bertahun-tahun pula, stakeholder pariwisata banyak yang berbicara soal kuantitas kedatangan wisman. Setiap saat mereka berbicara soal target kunjungan wisman. Angka-angka dipatok dengan pertumbuhan tinggi, dan manakala menembus pencapaian yang diinginkan, niscaya selalu disambut suka-cita.
Salahkah? Tentu saja tidak. Jumlah wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, adalah indikator seberapa menarik sebuah destinasi. Dan faktanya, Bali yang luasannya hanya 0,29 persen dari seluruh wilayah negara Indonesia menjadi magnet dunia.
Hampir separo dari kunjungan wisman ke Indonesia adalah mereka yang menjadikan Bali sebagai destinasi wisata. Data kunjungan wisman pada 2017 mencatat 14.039.799 wisman ke Indonesia, dan 5.697.739 wisman berkunjung ke Bali. Jadi, sekitar 40 persen wisman merupakan kontribusi dari pesona Bali.
Memang, sejak beberapa tahun belakangan stakeholder pelaku pariwisata kerap mendengungkan soal luxurious tourism ataupun sustainable tourism. Tapi, istilah ini lebih banyak pada tataran ide. Dalam pelaksanaannya, mass tourism tetap digenjot.
Puncak gunung es itu pun akhirnya terkuak dengan ‘skandal’ mafia Tiongkok yang menjual murah Bali bagi warga negeri Tirai Bambu tersebut. Kontribusi wisman Tiongkok yang dalam beberapa tahun terakhir terus mengalahkan jumlah kunjungan wisman dari Australia, tidak bisa serta-merta disambut gembira.
Mereka datang berbanyak-banyak, ternyata tak memberi kontribusi ekonomi bagi destinasi yang dikunjunginya. Sebab, mafia Tiongkok yang mengatur itu semua. Hanya dengan duit sekitar Rp 500.000 per kepala, mereka sudah bisa berwisata ke Bali. Ya, kedatangan wisman ini tercatat di berbagai data, baik di Bandara Internasional Ngurah Rai Tuban, Dinas Pariwisata, maupun Badan Pusat Statistik.
Tapi nyatanya, mafia Tiongkok mengatur total. Bukan hanya soal penerbangan dan akomodasi, melainkan juga soal belanja di mana juga diatur. Parahnya, tempat belanja yang disasar notabene adalah toko milik jaringan mafia Tiongkok tersebut. Dan, tidak ada transaksi rupiah atau dolar, karena transaksi dilakukan cashless menggunakan aplikasi yang akan terhubung langsung dengan negeri Tiongkok, tanpa melibatkan otoritas keuangan Republik Indonesia. So, secara ekstrim, Bali tidak mendapatkan apa-apa dari gempuran wisman Tiongkok yang jumlahnya memberi kontribusi lebih dari 20 persen wisman datang ke Pulau Dewata.
Jadi, sekali lagi jangan terbuai dengan kuantitas. Namun, kalaupun kuantitas masih penting, hendaknya kunjungan wisatawan tidak ‘dibebankan’ pada Bali Selatan. Lihatlah underpass Simpang Tugu Ngurah Rai Tuban. Tak selamanya infrastruktur bernilai lebih dari Rp 168 miliar ini bisa memecah kemacetan. Pada waktu-waktu tertentu, kendaraan juga tetap dipaksa merambat di jalur itu. Dalam beberapa waktu mendatang, pertumbuhan wisman yang setiap tahun di atas 10 persen maupun pertumbuhan kendaraan bermotor di Bali yang stabil bertambah 200.000 hingga 300.000an sejak 2011, membuat Bali Selatan bukan destinasi nyaman.
Itu sebabnya, pembangunan short cut yang menjadi akses penghubung ke Bali Utara harus diapresiasi. Sejalan dengan ‘kabar-kabur’ soal Bandara Bali Utara yang berembus, dilakukan studi kelayakan sejak era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, ground breaking short cut di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng, 14 November 2018 lalu, menjadi penyemangat bagi dunia pariwisata, khususnya Bali Utara.
Adanya akses lebih baik yang menghubungkan jalan utama Singaraja-Denpasar via Bedugul, niscaya potensi wisata di Bali Utara bakal lebih optimal dan pada akhirnya ikut mengangkat perekonomian di Bali Utara. Pemuteran, Lovina, hingga Tamblingan akan lebih mudah ditempuh tanpa harus down terlebih dulu memikirkan kemacetan dan mabuk darat.
Dari kasus yang dihadapi Bali Utara, ternyata kuantitas masih diperlukan. Distribusi wisman masih bisa diarahkan ke Bali Utara, misalnya, yang selama ini tingkat kunjungan wisman masih di bawah 1 juta orang. Data Dinas Pariwisata Buleleng menunjukkan kunjungan 850.000 wisman pada 2017 masih mumpuni untuk ditingkatkan.
Dalam setahun belakangan, ribuan wisman memang mampir ke Buleleng. Mereka adalah wisman luxurious berkelas yang diangkut kapal pesiar. Sayang, kunjungan mereka juga hanya beberapa jam. Saat kapal pesiar bersandar di Pelabuhan Celukan Bawang atau turunkan sauh di perairan Lovina, tak semua penumpang yang diangkut turun untuk city tour dan berbelanja.
Wisman luxurious oke kita sambut, karena potensinya sangat besar. Tapi, tidak juga harus antipati pada wisman unluxurious atau kelas ‘biasa-biasa saja’. Selama mereka memberi kemanfaatan nilai ekonomi, kenapa tidak? Harus diingat pula bahwa akomodasi di Bali tak seluruhnya berbintang empat. Masih banyak ribuan kamar homestay yang menunggu kedatangan wisman sesuai segmen mereka.
Ya, menyikapi pilihan pengembangan wisata di Bali memang harus bijaksana, sebijaksana Bali sebenarnya memiliki apa yang disebut sebagai konsep Tri Hita Karana. Konsep inilah yang harus menjadi pondasi dan pegangan bagi pariwisata Bali. Konsep Tri Hita Karana sudah dikenal masyarakat dunia karena mencakup semua elemen penting dalam kehidupan, yaitu parahyangan, palemahan, dan pawongan.
Wisatawan yang datang pada intinya harus memberi kemanfaatan pada masyarakat Bali. Jadi, sangat tepat Pemerintah Provinsi Bali yang ditegaskan melalui Gubernur Wayan Koster guna mengembangkan pelayanan kepariwisatan yang berkualitas dan berbudaya, sebagai upaya untuk mendatangkan wisatawan dan pangsa pasar kelas menengah ke atas.
Tantangannya tidak mudah. Ketegasan Pemprov Bali yang menutup 25 toko Tiongkok ilegal pada Oktober 2018 lalu, ternyata tak mulus-mulus amat. Sebanyak tiga toko sejak pekan lalu dikabarkan sudah beroperasi kembali.
Di sini terlihat perlunya kolaborasi lebih apik antara lima elemen pariwisata, yakni pemerintah, industri pariwisata, akademisi, media massa, dan masyarakat. Semua elemen harus senantiasa ingat bahwa Bali adalah pulau kecil yang mempunyai keterbatasan sumber daya, yang oleh karenanya harus dikelola dengan bijak agar kesejahteraan masyarakatnya bisa berkelanjutan. Keberlanjutan merupakan salah satu kata kunci pembangunan, termasuk pembangunan pariwisata Bali dan Indonesia secara keseluruhan.
Jadi, tetap datanglah wahai wisatawan seluruh penjuru dunia ke Bali. Bawa bekal banyak. Lalu belanja, habiskan uang untuk menikmati liburan di Bali. Tapi ingat, Bali masih cukup luas, seperti pesona di Bali Utara. Welcome Mister ... *
--PROYEKSI 2019 : Bidang EKONOMI
M Maolan
----------------------------
Wartawan NusaBali
----------------------------
Wartawan NusaBali
Komentar