Unggulkan Pakem Gong Kebyar Dangin dan Dauh Enjung
Sanggar Santhi Budaya dan Padepokan Seni Dwi Mekar Mabarung
SINGARAJA, NusaBali
Puri Seni Sasana Budaya, Singaraja, Senin (17/12) malam, mendadak ramai dan penuh sesak. Sebagian warga Buleleng berdesakan ingin menyaksikan dua sanggar seni ternama di Buleleng mabarung (pentas bergiliran).
Sanggar Santhi Budaya dan Padepokan Seni Dwi Mekar tampil di hari pertama parade gong kebyar yang dikemas dalam Utsawa Merdangga tahun 2018, dilaksanakan 17 - 19 Desember. Keduanya mewakili pakem Gong Kebyar Buleleng, dangin enjung dan dauh enjung. Padepokan Seni Dwi Mekar, rintisan almarhum seniman Nyoman Durpa mendapatkan kesempatan tampil pertama setelah seremoni pembukaan oleh Wakil Bupati Buleleng dr I Nyoman Sutjidra dan staf Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Padepokan Seni Dwi Mekar membuka dengan tabuh kreasi pamungkasnya yang berjudul Darmanggala. Padepokan seni yang dilanjutkan anak semata wayang almarhum Durpa, Gede Pande Satria Kusuma Yuda alias Olit, juga membawakan tari kreasi Ki Baru Semang. Padepokan seni ini juga mementaskan Tari Palawakya Dauh Enjung yang mewakili salah satu pakem Gong Kebyar khas Buleleng.
Sedangkan lawan mabarungnya yakni Sanggar Santhi Budaya yang cendrung ke pakem gong kebyar Dangin Enjung, juga tampil maksimal. Sanggar ini membawakan Tari Teruna Jaya, tabuh kreasi Salah Gasal dan Tari Purwaka Santhi. Sanggar ini menggunakan gambelan gong kebyar milik leluhur krama Desa Banyuatis, konon sudah berumur satu abad. Menurut Yudi Gautama yang pelestari gong asal Banyuatis itu, mengatakan instrumen gambelan gong kebyar itu memang dibuat oleh leluhur krama Banyuatis secara urunan pada tahun 1920-an. Selain bunyinya yang masih nyaring, daun gangsa dan seperangkat lainnya hingga kini belum pernah diganti. Alas gong terbuat dari kayu dibiarkan klasik hanya berisi ukiran khas Buleleng. Tak seperti alas gong saat ini yang penuh ukiran dan dicat prada.
“Kami sebagai pelestari memang membiarkan seperti itu agar tetap terlihat klasik. Hingga saat ini masih tetap kami jaga dan kami rawat sebagai warisan leluhur,” ujar Yudi.
Ia mengatakan, meski usia gambelan gong kebyar itu sudah sangat tua, namun masih memiliki kejernihan suara yang tak kalah dari gambelan gong saat ini. Karena, konon bahan dasar gong itu pun dibuat dengan lapisan emas. Ciri khasnya juga seperti gong Buleleng umumnya, yakni gong pacek.
Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng Gede Komang, ditemui di sela-sela acara, menjelaskan Utsawa Merdangga ini merupakan upaya untuk membangkitkan dan melestarikan kembali kesenian Buleleng. Ia memilih dua sanggar seni fenomenal di Buleleng ini tampil perdana sebagai miniatur perlambangan gong kebyar Buleleng yang memiliki dua pakem yakni dauh enjung dan dangin enjung. Yang membedakan dua enjung ini tempo dalam penyajian gending. Pakem gong kebyar Dangin Enjung relatif lebih cepat dibandingkan dengan Dauh Enjung.
Penampilan pakem gong kebyar itu, menurut Gede Komang merupakan suatu kebangkitan kembali untuk mengingatkan masyarakat Buleleng tentang budaya, khususnya seni adi luhung yang dimilikinya. “Kedua sanggar ini memang kami sandingkan dengan membawakan dua pakem Dauh Enjung dan Dangin Enjung. Pakem ini untuk mengembalikan seperti zaman dulu, kedua pakem ini selalu ditunggu masyarakat. Meski sedikit berbeda, selalu ditunggu-tunggu,” ungkap dia.
Ia berharap dengan Utsawa Merdangga ini dapat membangkitkan kembali semangat berkesenian masyarakat yang barangkali malas untuk ikut serta melestarikan budaya khas Buleleng. Dalam pagelaran seni bergengsi ini, ada enam sanggar seni yang dilibatkan. Selain Santhi Budaya dan Dwi Mekar, juga Sanggar Wahyu Semara Santi, Anglo Cita, Gita Sunari, dan Suara Mustika. Keenamnya tampil berparade selama tiga hari.
Sebagaimana diketahui, pakem gong kebyar Dangin Enjung dan Dauh Enjung dibedakan dari wilayah perkembangannya di Buleleng. Tahun 1940, banyak barungan gong kebyar berkembang di Buleleng. Perkembangan pakemnya pun mengambil batas tengah yakni Desa Temukus, Kecamatan Banjar. Dari Temukus ke arah barat disebut Dauh Enjung. Sedangkan dari Temukus ke arah timur disebut Dangin Enjung. Secara umum dua pakem ini sama. Perbedaannya hanya terletak pada pakem kekebyaran. Gong Kebyar Dangin Enjung relatif lebih cepat jika dibandingkan Gong Kebyar Dauh Enjung. *k23
Puri Seni Sasana Budaya, Singaraja, Senin (17/12) malam, mendadak ramai dan penuh sesak. Sebagian warga Buleleng berdesakan ingin menyaksikan dua sanggar seni ternama di Buleleng mabarung (pentas bergiliran).
Sanggar Santhi Budaya dan Padepokan Seni Dwi Mekar tampil di hari pertama parade gong kebyar yang dikemas dalam Utsawa Merdangga tahun 2018, dilaksanakan 17 - 19 Desember. Keduanya mewakili pakem Gong Kebyar Buleleng, dangin enjung dan dauh enjung. Padepokan Seni Dwi Mekar, rintisan almarhum seniman Nyoman Durpa mendapatkan kesempatan tampil pertama setelah seremoni pembukaan oleh Wakil Bupati Buleleng dr I Nyoman Sutjidra dan staf Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Padepokan Seni Dwi Mekar membuka dengan tabuh kreasi pamungkasnya yang berjudul Darmanggala. Padepokan seni yang dilanjutkan anak semata wayang almarhum Durpa, Gede Pande Satria Kusuma Yuda alias Olit, juga membawakan tari kreasi Ki Baru Semang. Padepokan seni ini juga mementaskan Tari Palawakya Dauh Enjung yang mewakili salah satu pakem Gong Kebyar khas Buleleng.
Sedangkan lawan mabarungnya yakni Sanggar Santhi Budaya yang cendrung ke pakem gong kebyar Dangin Enjung, juga tampil maksimal. Sanggar ini membawakan Tari Teruna Jaya, tabuh kreasi Salah Gasal dan Tari Purwaka Santhi. Sanggar ini menggunakan gambelan gong kebyar milik leluhur krama Desa Banyuatis, konon sudah berumur satu abad. Menurut Yudi Gautama yang pelestari gong asal Banyuatis itu, mengatakan instrumen gambelan gong kebyar itu memang dibuat oleh leluhur krama Banyuatis secara urunan pada tahun 1920-an. Selain bunyinya yang masih nyaring, daun gangsa dan seperangkat lainnya hingga kini belum pernah diganti. Alas gong terbuat dari kayu dibiarkan klasik hanya berisi ukiran khas Buleleng. Tak seperti alas gong saat ini yang penuh ukiran dan dicat prada.
“Kami sebagai pelestari memang membiarkan seperti itu agar tetap terlihat klasik. Hingga saat ini masih tetap kami jaga dan kami rawat sebagai warisan leluhur,” ujar Yudi.
Ia mengatakan, meski usia gambelan gong kebyar itu sudah sangat tua, namun masih memiliki kejernihan suara yang tak kalah dari gambelan gong saat ini. Karena, konon bahan dasar gong itu pun dibuat dengan lapisan emas. Ciri khasnya juga seperti gong Buleleng umumnya, yakni gong pacek.
Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng Gede Komang, ditemui di sela-sela acara, menjelaskan Utsawa Merdangga ini merupakan upaya untuk membangkitkan dan melestarikan kembali kesenian Buleleng. Ia memilih dua sanggar seni fenomenal di Buleleng ini tampil perdana sebagai miniatur perlambangan gong kebyar Buleleng yang memiliki dua pakem yakni dauh enjung dan dangin enjung. Yang membedakan dua enjung ini tempo dalam penyajian gending. Pakem gong kebyar Dangin Enjung relatif lebih cepat dibandingkan dengan Dauh Enjung.
Penampilan pakem gong kebyar itu, menurut Gede Komang merupakan suatu kebangkitan kembali untuk mengingatkan masyarakat Buleleng tentang budaya, khususnya seni adi luhung yang dimilikinya. “Kedua sanggar ini memang kami sandingkan dengan membawakan dua pakem Dauh Enjung dan Dangin Enjung. Pakem ini untuk mengembalikan seperti zaman dulu, kedua pakem ini selalu ditunggu masyarakat. Meski sedikit berbeda, selalu ditunggu-tunggu,” ungkap dia.
Ia berharap dengan Utsawa Merdangga ini dapat membangkitkan kembali semangat berkesenian masyarakat yang barangkali malas untuk ikut serta melestarikan budaya khas Buleleng. Dalam pagelaran seni bergengsi ini, ada enam sanggar seni yang dilibatkan. Selain Santhi Budaya dan Dwi Mekar, juga Sanggar Wahyu Semara Santi, Anglo Cita, Gita Sunari, dan Suara Mustika. Keenamnya tampil berparade selama tiga hari.
Sebagaimana diketahui, pakem gong kebyar Dangin Enjung dan Dauh Enjung dibedakan dari wilayah perkembangannya di Buleleng. Tahun 1940, banyak barungan gong kebyar berkembang di Buleleng. Perkembangan pakemnya pun mengambil batas tengah yakni Desa Temukus, Kecamatan Banjar. Dari Temukus ke arah barat disebut Dauh Enjung. Sedangkan dari Temukus ke arah timur disebut Dangin Enjung. Secara umum dua pakem ini sama. Perbedaannya hanya terletak pada pakem kekebyaran. Gong Kebyar Dangin Enjung relatif lebih cepat jika dibandingkan Gong Kebyar Dauh Enjung. *k23
Komentar