OTT 'Pecalang', Antara Hukum Positif vs Hukum Adat
KRAMA adat di Bali sontak terkejut ketika media massa tiba-tiba memberitakan Tim Saber Pungli Polda Bali melakukan OTT terhadap 11 pecalang yang diduga terlibat pungutan liar (pungli) di parkiran Pantai Matahari Terbit Sanur, Denpasar Selatan, 1 September 2018 lalu.
Maklum, di telinga rakyat Indonesia termasuk krama Bali, istilah OTT selama ini hanya berkaitan dengan koruptor yang ditangkap KPK karena menggarong uang rakyat bermiliar-miliar rupiah. Nah, begitu OTT kata yang dipaling ditakuti para koruptor--- menyasar ‘pecalang’, tentu mengejutkan bagi krama adat di Bali, karena tidak mungkin pecalang menggasak uang rakyat sampai miliaran rupaih. Faktanya, ‘pecalang’ yang di-OTT Tim Resmob Dit Reskrimum Polda Bali itu tidaklah merampok uang rakyat sampai miliaran rupiah. Tapi, mereka diduga telah melakukan pungli retribusi bea masuk (parkir) dengan nilai yang hanya Rp 2.000 hingga Rp 50.000.
Dari perkembangan kasus tersebut, diketahui mereka yang terjaring OTT bukanlah pecalang, melainkan pegawai Badan Usaha Milik Desa Adat Sanur (BUMDAS) yang memang ditugaskan melakukan pungutan parkir yang tarifnya sesuai dengan perarem (kesepakatan) dan awig-awig (peraturan) Desa Adat Sanur.
Ketika penangkapan ‘pecalang di Sanur masih hangat jadi gunjingan krama Bali, Tim Saber Pungli Polres Gianyar juga melakukan OTT alias penangkapan terhadap dua penjaga tiket di objek wisata Pura Tirta Empul, Desa Pakraman Manukaya Let, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, 6 September 2018. Nah, dua kasus OTT kepada aparat desa adat itulah yang menjadi ‘bola panas’ perdebatan krama Bali. Muncul pro dan kontra terhadap penangkapan itu. Banyak yang menuding tindakan polisi sudah ‘over dosis’ dan sengaja ingin mempermalukan aparat adat dan melemahkan desa adat di Bali.
Kolda Bali Irjen Pol Dr Petrus Reinhard Golose pun langsung bereaksi dan membantah tudingan itu. Bagi orang nomor satu di Polda Bali yang dikenal sukses membuat mati kutu para preman ini, dua kasus OTT di Sanur dan Tirta Empul itu bukan sebagai upaya untuk melemahkan desa adat, namun malah sebaliknya untuk menguatkan desa adat.
Menurut Petrus Golose, penangkapan tersebut bukan semata karena keinginan dari pihak kepolisian. Namun, karena ada laporan dari masyarakat yang tidak ingin adanya pungutan-pungutan tersebut. Petrus mengingatkan dan menggarisbawahi desa adat agar mengikuti aturan yang ada, yakni hukum positif yang diterapkan oleh negara. "Saya sudah berkali-kali mengingatkan. Harus ikut aturan yang ada. Saya tetap menghormati kegiatan kultural di desa. Tapi, desa harus menghomati hukum positif yang diterapkan oleh negara," katanya.
Dari dua kasus tersebut, terkesan adanya ego baik pihak kepolisian maupun desa adat, yang sama-sama merasa benar dalam melakukan tindakan. Polisi bertindak tegas berdasarkan aturan hukum positif, sementara desa adat membela diri apa yang dilakukannya itu sesuai awig-awig dan perarem (hukum adat).
Dalam kasus pungutan di Pantai Matahari Terbit, misalnya, Polda Bali melakukan penangkapan karena pungutan yang dilakukan aparat adat setempat termasuk illegal alias pungli. Sebab, tidak ada MoU antara Desa Adat Sanur dengan Perusahaan Daerah (PD) Parkir Denpasar. Padahal sebenarnya pungutan parkir tersebut dilakukan sesuai dengan perarem Desa Adat Sanur.
Pun demikian dengan kasus OTT di Pura Tirta Empul. Dari kasus ini, Tim Saber Pungli bergerak karena mendapat laporan petugas jaga menjual tiket yang berbeda. Tiket resmi yang diterbitkan Pemkab Gianyar dijual mulai pukul 07.00 Wita hingga pukul 15.00 Wita. Selanjutnya, tiket berlogo Desa Pakraman Manukaya Let dijual dari pukul 15.00 Wita-18.00 Wita. Pemkab Gianyar melalui Dinas Pariwisata melakukan pungutan karcis masuk ke Pura Tirta Empul sesuai Perda No 8 Tahun 2010 dengan harga tiket Rp 15.000/pengunjung. Dari hasil itu, Pemkab memperoleh 60 persen dan desa adat dapat 40 persen.
Di sisi lain, Desa Pakraman Manukaya Let melakukan pungutan karcis masuk berdasarkan Pararem No 4 Tahun 2013 sebesar Rp 7.500. Nah, penjualan tiket yang dilakukan oleh desa adat inilah yang dianggap pungli oleh polisi, padahal sebenarnya sudah ada perarem yang dilaksanakan bertahun-tahun.
Dari dua kasus OTT di atas, tentu sangat berpeluang besar akan terjadi lagi kasus serupa jika tidak ada kesepakatan dan pemahaman terhadap hukum positif dan hukum adat. Maka, langkah DPRD Bali yang sudah mempertemukan pihak-pihak terkait pasca hebohnya dua kasus OTT tersebut, perlu diapresiasi karena mampu meredakan suasana yang sempat memanaskan hubungan polisi dengan desa adat.
Dalam pertemuan di DPRD Bali, Selasa (13/11), yang dihadiri Dir Reskrimum Polda Bali Kombes Pol Andi Farhan bersama jajarannya, pejabat Pemprov Bali, Bendesa Agung (Ketua MUDP) Provinsi Bali Jro Gede Wayan Suwena Putus Upadesa, dan tokoh masyarakat Bali itu, disimpulkan bahwa polisi tidak akan masuk ke ranah adat, sepanjang menjalankan awig-awig, perarem, maupun keputusan desa adat. Ini tentu sangat melegakan desa adat dalam melaksanakan perarem.
Bukan hanya itu, Ranperda Desa Adat yang sudah diajukan Gubernur Bali Wayan Koster juga setidaknya akan membuat desa adat bisa bernapas lega, karena setidaknya ini akan menjawab segenap persoalan yang menimpa krama Bali baik kini dan ke depan. Ranperda Desa Adat sebagai pengganti Perda No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman ini, sebagai wujud nyata implementasi dari visi ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’. Ranperda desa Adat ini berisi 18 bab dan 99 pasal yang mengatur dan memberikan perlindungan krama Bali lebih lengkap dibandingkan Perda 3/2001.
Dengan Perda yang baru nanti, desa adat di Bali akan semakin jelas keberadaannya di mata hukum nasional, tentu juga menyangkut kewenangannya. Gubernur Koster menegaskan dalam Perda baru ini, desa adat di Bali akan memiliki kewenangan lebih luas dan sesuai dengan tingkat kebutuhan krama Bali. Desa adat di Bali merupakan lembaga yang sangat permanen karena selalu ada. Oleh karena itu, secara kesejarahan, sosial, dan budaya orang Bali, desa adat harus diperkuat dengan undang-undang, hingga dipertegas lewat Perda.
“Dengan Perda baru ini, tak akan lagi ada OTT oleh aparat yang menyasar prajuru dan pecalang desa adat,” tegas Gubernur Koster saat Paruman Agung Krama Bali yang disebut Deklarasi Samuan Tiga di Wantilan Pura Samuan Tiga, Desa Pakraman Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar pada Buda Umanis Julungwangi, Rabu (12/12) lalu. *
---PROYEKSI 2019 : Bidang HUKRIM
Gusti Putu Edi Sudarma
----------------------------------
Wartawan NusaBali
1
Komentar