Tradisi Unik Komunitas Sastra Bali Utara, Luncurkan Buku Saat Pernikahan
Tradisi itu digagas oleh Made Adnyana Ole, Pendiri Tatkala.co, dimulai dari pernikahan Gede Gita dan Candra Puspita, di Desa Tua, Marga, Tabanan.
TABANAN, NusaBali.com
Diawali dari peluncuran buku saat pernikahannya beberapa tahun silam bersama Penulis, Kadek Sonia Piscayanti, Made Adnyana Ole, yang juga seorang Mantan Wartawan, Sastrawan, dan Pendiri media informasi Tatkala.co asal Buleleng itu kembali menghidupkan angannya pada hari pernikahan anak-anak didiknya di Komunitas Mahima.
Wujud Buku Gita Candra Nyanyian Bulan - Dok. NusaBali.com
“Saya pernah punya cita-cita membuat tradisi untuk mahasiswa yang bergaul di Komunitas Mahima dan komunitas sejenis lainnya yang saya akrabi. Yakni, tradisi membuat buku menjelang atau setelah mereka wisuda S1, entah buku kumpulan puisi, cerpen, novel, esai, kumpulan makalah, atau buku serius semacam buku penelitian. Dengan begitu, saat mereka tamat mereka akan mengantongi dua ‘bukti tamat.’ Satu ijazah sebagai bukti tamat, dan satu buku sebagai bukti berpikir,” kelakar Ole dilansir dari laman Facebook pribadinya.
Namun, karena ada yang molor tamat atau belum tamat-tamat hingga sekarang, tradisi itu pun diubah sedikit. Lalu, tradisi itu berdenyut kembali pada Kamis (20/12) di Banjar Cau, Desa Tua, Marga, Tabanan, tepatnya di hari resepsi pernikahan I Gede Gita Wiastra dan IGA Ayu Candra Puspita Dewi. Sebuah antologi puisi bersama bertajuk ‘Gita Candra Nyanyian Bulan’ lahir sebagai penerus tradisi literasi sekaligus kado manis bagi kedua mempelai, yang juga berarti anak-anak tersebut ‘diprovokasi’ agar meluncurkan bukunya saat mereka menikah.
Tercatat sebanyak 74 penulis (atau bukan penulis) ‘ditodong’ oleh Ole untuk membuat sebuah puisi cinta untuk sahabat mereka yang berbahagia. Ke-74 orang itu pun berasal dari berbagai komunitas sastra, yakni, Komunitas Mahima, Teater Kalangan, Komunitas Cemara Angin, Teater Kampus Seribu Jendela Undiksha, Teater Selem Putih, Komunitas Kertas Budaya, Komunitas Senja, Ruang Singgah, Kelompok Sekali Pentas, Teater Limas, teater Orok, Teater 108, yang mengenal, yang dikenal, dan masih banyak lagi, tentunya dari yang mencintai pasangan ini.
Tanpa bermaksud mengacaukan dunia persilatan literasi, Ole menyebut antologi tersebut sebagai sebuah perayaan bagi sebuah kebahagiaan. Tentu, tidak ada yang buruk jika seseorang mau menulis, apalagi beramai-ramai menulis.
“Ah, saya tidak berpikir sejauh itu. Ini hanya perayaan kreativitas sekaligus perayaan kebahagiaan. Jika ia punya dampak bagus, ya baguslah. Jika kemudian ada yang menganggap dampaknya buruk, ya masak sih gak ada bagus-bagusnya jika orang mau menulis,” sambung Mantan Wartawan NusaBali kontributor Jakarta itu.
Dari eksperimen gila-gilaan yang digagas Ole, rupanya cita-cita mulia diselipkannya dari tradisi yang baru saja dimulai dan akan dilanjutkan lagi ini. Bahwa, harapannya akan terlahir penyair-penyair baru yang berkualitas di kemudian hari, meski hanya diawali dengan menulis untuk perayaan cinta dan pernikahan sahabat. *ph
1
Komentar