Bahasa dan Busana, Dasar Kepribadian Orang Bali
Para tetua Bali sejak lampau punya cara sederhana untuk mengetahui kepribadian dasar seseorang.
Caranya, dingehang raosne (simak tutur katanya, Red) dan tolih panganggonne (perhatikan pakaiannya). Jika dua hal ini terkesan soleh (aneh), maka dapat disimpulkan seseorang itu belum memiliki landasan dasar ke-pribadian.
Keanehan dimaksud telah ditangkap oleh para pemerhati budaya dan adat Bali. Maka, amat pantas dan patut Gubernur Bali Wayan Koster menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 80 Tahun 2018 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Bali. Satu lagi, Pergub Nomor 78 Tahun 2018 tentang Berbusana Bali. Fungsi inti dua Pergub ini tiada lain untuk menyelamatkan tatanan kehidupan orang Bali dari sisi berbahasa, sastra, aksara, dan berbusana Bali secara baik dan benar.
Penguatan kepribadian manusia, termasuk bangsa, melalui bahasa, tentu bukan hal baru. Antroplog kondang Koentjaraningrat menempatkan bahasa menjadi salah salah satu dari tujuh unsur pokok kebudayaan nasional. Sedangkan busana atau pakaian, masuk dalam sub unsur kesenian. Sebab, busana berada dalam tataran seni menampilkan keindahan pembalut tubuh, berikut aksesorisnya.
Sedemikian pentingnya bahasa dan busana, maka amat wajar pelbagai kalangan di Bali, termasuk Gubernur sekalipun, mencurahkan perhatian untuk penyelamatan unsur budaya tersebut. Karena posisi bahasa, termasuk sastra dan aksara, serta busana Bali makin mengalami perusakan secara masif. Bidang bahasa dan aksara Bali nyaris kehilangan benteng pertahanan.
Hal ini risiko dari pulau terbuka. Bali pun rentan kehilangan bahasa dan aksara Balinya, karena makin menguatnya tuturan bahasa asing dan bahasa non Bali. Melubernya penutur bahasa asing itu sebagai akibat dari kuatnya hasrat pemenuhan kebutuhan. Artinya, bagi orang Bali yang makin ‘mendewakan’ pariwisata, fungi bahasa tak sekadar manual yakni sebagai alat komunikasi. Tapi, alat utama untuk memenuhi kebutuhan hidup, dalam bentuk menjaring turis asing dan mengeruk dolar. Bahasa asing terutama Inggris, juga terbukti menjadi jembatan singkat untuk mengenali dunia lebih luas dan kompetitif.
Seiring itu pula, Bahasa Bali makin kehilangan gengsi. Tempat bertutur dan penuturnya makin berkurang. Hal ini karena penguasaan Bahasa Bali dianggap tanpa prospek, bahkan dalam prakteknya cenderung feodal. Tempat tuturan Bahasa Bali yang baik dan benar hanya di ruang eksklusif, seperti pesantian, mareraosan anten (percakapan peminangan pengantin), paruman (rapat adat), atau di panggung-panggung kesenian Bali. Sedangkan sekolah-sekolah dan beberapa kampus di Bali yang membuka pengajaran Bahasa Bali, belum terbukti afdol untuk menguatkan tradisi kebahasaan dan keberaksaraan Bali.
Praktek berbusana Bali juga makin menjauh dari pakemnya. Hal ini akibat dari trend fesyen modern tak luput menyasar busana Bali. Akibatnya, mode busana mutakhir lebih banyak mendegradasi pakem busana Bali, ketimbang menguatkan pakem itu sendiri. Kamben gantut (ujung bawah setinggi lutut) dan kebaya kain brokat jala ikan, adalah dua contoh mencolok dari gaya mode busana modern. Alih-alih, perempuan Bali ingin tampil well groomed (rapi, cantik dan menarik, harmonis dan serasi), malah berbalik memancarkan keseksian aurat.
Pada busana laki-laki, terutama anak muda, juga tak jarang tampak aneh. Karena alasan tampil modis dan kekinian, busana Bali kerap dilengkapi aksesoris berlebihan, seperti pada destar atau udeng dan baju yang cenderung norak. Trend busana pria Bali seperti ini tentu tak lagi mencerminkan kepolosan, apalagi disebut kharismatik.
Menyimak persoalan itu, niat baik Pemerintah Provinsi Bali di basah Gubernur Koster untuk memuliakan bahasa/aksara dan busana Bali ke pakemnya, patut didukung semua pihak. Karena selama ini penguatan berbahasa dan aksara Bali baru sebatas di plang-plang nama kantor-kantor milik pemerintah dan swasta. Demikian juga penerapan busana Bali masih berkutat di kantor pemerintah dan kantor swasta.
Dalam hal basaha/aksara Bali, pemerintah dan lembaga terkait tentu penting menghidupkan kembali kesadaran tradisi bertutur Bahasa Bali, mulai dari rumah tangga, ruang rapat, ruang seminar, hingga kegiatan penting lainnya. Berbahasa Bali yang baik dan benar tentu tak sebatas di paruman banjar/desa, mareraosan, dan sejenisnya. Demikian juga, pakem busana Bali mesti kembali ditradisikan sejak dini pada anak-anak.
Bagi masyarakat Bali ke depan, pemuliaan itu amat penting. Karena, jika cara bertutur dan berpenampilan tak sesuai pakem, maka lambat laun orang Bali tak hanya kehilangan identitas, namun juga kehilangan integritas (kepribadian). Ciri kepribadian orang Bali sebagaimana ditanamkan para tetua, umumnya santun, ramah, menghargai orang lain, dan sahaja. *
---PROYEKSI 2019 : Bidang BUDAYA
Keanehan dimaksud telah ditangkap oleh para pemerhati budaya dan adat Bali. Maka, amat pantas dan patut Gubernur Bali Wayan Koster menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 80 Tahun 2018 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Bali. Satu lagi, Pergub Nomor 78 Tahun 2018 tentang Berbusana Bali. Fungsi inti dua Pergub ini tiada lain untuk menyelamatkan tatanan kehidupan orang Bali dari sisi berbahasa, sastra, aksara, dan berbusana Bali secara baik dan benar.
Penguatan kepribadian manusia, termasuk bangsa, melalui bahasa, tentu bukan hal baru. Antroplog kondang Koentjaraningrat menempatkan bahasa menjadi salah salah satu dari tujuh unsur pokok kebudayaan nasional. Sedangkan busana atau pakaian, masuk dalam sub unsur kesenian. Sebab, busana berada dalam tataran seni menampilkan keindahan pembalut tubuh, berikut aksesorisnya.
Sedemikian pentingnya bahasa dan busana, maka amat wajar pelbagai kalangan di Bali, termasuk Gubernur sekalipun, mencurahkan perhatian untuk penyelamatan unsur budaya tersebut. Karena posisi bahasa, termasuk sastra dan aksara, serta busana Bali makin mengalami perusakan secara masif. Bidang bahasa dan aksara Bali nyaris kehilangan benteng pertahanan.
Hal ini risiko dari pulau terbuka. Bali pun rentan kehilangan bahasa dan aksara Balinya, karena makin menguatnya tuturan bahasa asing dan bahasa non Bali. Melubernya penutur bahasa asing itu sebagai akibat dari kuatnya hasrat pemenuhan kebutuhan. Artinya, bagi orang Bali yang makin ‘mendewakan’ pariwisata, fungi bahasa tak sekadar manual yakni sebagai alat komunikasi. Tapi, alat utama untuk memenuhi kebutuhan hidup, dalam bentuk menjaring turis asing dan mengeruk dolar. Bahasa asing terutama Inggris, juga terbukti menjadi jembatan singkat untuk mengenali dunia lebih luas dan kompetitif.
Seiring itu pula, Bahasa Bali makin kehilangan gengsi. Tempat bertutur dan penuturnya makin berkurang. Hal ini karena penguasaan Bahasa Bali dianggap tanpa prospek, bahkan dalam prakteknya cenderung feodal. Tempat tuturan Bahasa Bali yang baik dan benar hanya di ruang eksklusif, seperti pesantian, mareraosan anten (percakapan peminangan pengantin), paruman (rapat adat), atau di panggung-panggung kesenian Bali. Sedangkan sekolah-sekolah dan beberapa kampus di Bali yang membuka pengajaran Bahasa Bali, belum terbukti afdol untuk menguatkan tradisi kebahasaan dan keberaksaraan Bali.
Praktek berbusana Bali juga makin menjauh dari pakemnya. Hal ini akibat dari trend fesyen modern tak luput menyasar busana Bali. Akibatnya, mode busana mutakhir lebih banyak mendegradasi pakem busana Bali, ketimbang menguatkan pakem itu sendiri. Kamben gantut (ujung bawah setinggi lutut) dan kebaya kain brokat jala ikan, adalah dua contoh mencolok dari gaya mode busana modern. Alih-alih, perempuan Bali ingin tampil well groomed (rapi, cantik dan menarik, harmonis dan serasi), malah berbalik memancarkan keseksian aurat.
Pada busana laki-laki, terutama anak muda, juga tak jarang tampak aneh. Karena alasan tampil modis dan kekinian, busana Bali kerap dilengkapi aksesoris berlebihan, seperti pada destar atau udeng dan baju yang cenderung norak. Trend busana pria Bali seperti ini tentu tak lagi mencerminkan kepolosan, apalagi disebut kharismatik.
Menyimak persoalan itu, niat baik Pemerintah Provinsi Bali di basah Gubernur Koster untuk memuliakan bahasa/aksara dan busana Bali ke pakemnya, patut didukung semua pihak. Karena selama ini penguatan berbahasa dan aksara Bali baru sebatas di plang-plang nama kantor-kantor milik pemerintah dan swasta. Demikian juga penerapan busana Bali masih berkutat di kantor pemerintah dan kantor swasta.
Dalam hal basaha/aksara Bali, pemerintah dan lembaga terkait tentu penting menghidupkan kembali kesadaran tradisi bertutur Bahasa Bali, mulai dari rumah tangga, ruang rapat, ruang seminar, hingga kegiatan penting lainnya. Berbahasa Bali yang baik dan benar tentu tak sebatas di paruman banjar/desa, mareraosan, dan sejenisnya. Demikian juga, pakem busana Bali mesti kembali ditradisikan sejak dini pada anak-anak.
Bagi masyarakat Bali ke depan, pemuliaan itu amat penting. Karena, jika cara bertutur dan berpenampilan tak sesuai pakem, maka lambat laun orang Bali tak hanya kehilangan identitas, namun juga kehilangan integritas (kepribadian). Ciri kepribadian orang Bali sebagaimana ditanamkan para tetua, umumnya santun, ramah, menghargai orang lain, dan sahaja. *
---PROYEKSI 2019 : Bidang BUDAYA
I Nyoman Wilasa
---------------------------
Wartawan NusaBali
Komentar