Badung Diminta Sikapi Perang Tarif
Kalangan pelaku pariwisata duduk satu meja dengan Bupati Nyoman Giri Prasta dalam acara Gathering Pariwisata yang digelar Pemkab Badung, Kamis (28/4) pagi.
Keberadaan 11 Desa Wisata Juga Jadi Pembahasan
MANGUPURA, NusaBali
Dalam pertemuan ini, kalangan pelaku pariwisata teriak minta pemerintah sikapi perang tarif hotel.
Banyak hal terkait tantangan dan perkembangan pariwisata di Gumi Keris Badung yang diungkap dalam pertemuan tahunan dengan kalangan pariwisata, Kamis pagi mulai pukul 10.00 Wita. Salah satunya, pertumbuhan akomodasi wisata yang berdampak ke perang tarif (banting harga kamar) hotel. Nasib 11 desa wisata di Badung yang kian miris perkembangannya, juga jadi pembahasan.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Pariwisata (FSP Par) Provinsi Bali, Putu Satya Wira Mahendra, terang-terangan menyampaikan kekhawatirannya terkait perang tarif hotel ini. Menurut Wira Mahendra, saat ini bukan hanya terjadi perang tarif hotel, namun juga biro perjalanan dan objek wisata.
Jika jual jasa dengan harga rendah, kata dia, ujung-ujungnya manajemen tak mampu memberikan kesejahteraan bagi karyawannya. Karena itu, Wira Mahendra meminta pemerintah untuk mengendalikan pertumbuhan akomodasi pariwisata. “Perizinan pariwisata agar dikeluarkan secara selektif, untuk mencegah terjadinya perang tarif,” pinta Wira Mahendra.
Kondisi desa wisata yang memprihatinkan, juga jadi perbincangan hangat dalam Gathering Pariswisata yang digelar Pemkab Badung, Kamis kemarin. Masalahnya, dari 11 desa wisata yang ada di Kabupaten badung, hanya tiga desa yang disebut-sebut masih eksis. Sedangkan 8 desa wisata lainnya, kian memprihatinkan dan tidak berkembang.
Ke-11 desa wisata di Badung tersebut masing-masing Desa Bongkasa Pertiwi (Kecamatan Abiansemal), Desa Sangeh (Kecamatan Abiansemal), Desa Pangsan (Kecamatan Petang), Desa Petang (Kecamatan Petang), Desa Pelaga (Kecamatan Petang), Desa Belok Sidan (Kecamatan Petang), Desa Carangsari (Kecamatan Petang), Desa Baha (Kecamatan Mengwi), Desa Kapal (Kecamatan Mengwi), Desa Mengwi (Kecamatan Mengwi), dan Desa Munggu (Kecamatan Mengwi).
Ketua BPC PHRI Badung, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, menyatakan desa wisata merupakan alternatif bagi wisatawan yang datang. Bila desa wisata dikembangkan dengan baik, wisatawan akan memperoleh banyak pilihan untuk berlibur di wilayah Badung. “Keberhasilan desa wisata harus didukung oleh sumber daya manusia (SDM) pengelolanya. Karenanya, SDM desa wisata harus disekolahkan terlebih dulu di sekolah pariwisata,” saran rai Suryawijaya.
Sedangkan Kadis Pariwisata Badung, Cokorda Raka Darmawan, tidak menyangkal fenomena perang tarif yang terjadi saat ini. Namun, kata dia, pemerintah tidak bisa serta merta memberikan standar untuk mecegah terjadinya perang tarif. Pemerintah sama sekali tidak memiliki kewenangan, karena hal itu sepenuhnya adalah mekanisme pasar.
“Harga itu kan ditentukan oleh pasar. Jadi, pemerintah tidak bisa membikin standar. Berbeda kalau kasusnya harga BBM, secara monopoli pemerintah bisa menetapkan harga. Tapi, kalau tarif hotel, pemerintah tidak bisa menetapkan seperti itu,” tandas Raka Darmawan.
Menurut Raka Darmawan, terjadinya perang tarif hotel ini tidak lepas dari pertumbuhan akomodasi wisata. Tapi, sebetulnya sudah diberlakukan aturan pembatasan lahan untuk pembangunan hotel sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bupati (Perbup) Badung Nomor 36 Tahun 2014 tentang Standar Minimal Luas Lahan, Ukuran Kamar, dan Fasilitas Penunjang Pembangunan Hotel dalam Rangka Penataan Sarana Pariwisata.
“Aturannya itu sudah jelas. Untuk akomodasi wisata di Kecamatan Kuta, wajib memiliki lahan minimal seluas 50 are. Sedangkan untuk akomodasi wisata di Kuta Utara wajib punya lahan minimal 75 are, dan kawasan Kuta Selatan wajib punya lahan minimal 100 are. Inilah upaya pemerintah untuk menekan pertumbuhan akomodasi wisata di Badung,” tegas Raka Darmawan dalam Gathering Pariwisata yang dihadiri pula Wakil Bupati Badung Ketut Suiasa, Sekda Badung Kompyang R Swandika, dan Pimpinan SKPD terkait itu.
Dia menyatakan, syarat yang telah ditetapkan pemerintah ini bersifat mutlak. “Ini cara pemerintah mengerem laju pertumbuhan akomodasi wisata. Tapi ingat, bukan moratorium ya. Kalau moratorium kan sama sekali tidak boleh. Kalau Perbup ini masih membuka kesempatan membangun akomodasi wisata, sepanjang memenuhi ketentuan itu,” katanya.
terkait kondisi desa-desa wisata, Raka Darmawan mengakui memang ada yang belum berkembang. Sebetulnya, pemerintah telah berupaya mengandeng stakeholder pariwisata maupun biro perjalanan untuk mengagendakan kunjungan ke desa wisata. “Ini sudah kami lakukan, memang ada hasilnya. Tapi, baru berjalan setahun,” ujar birokrat asal Giayar ini.
Raka Darmawan mengakui ada tiga desa wisata di Badung yang sudah cukup berkembang, yakni Desa Bongkase Pertiwi, Desa Pangsan, dan Desa Carangsari. Indikasinya, tingkat kunjung wisatawan di sana cukup tinggi. “Pokoknya sudah lebih baik dari 8 desa wisata lainnya.”
Menurut Raka Darmawan, ada persepsi yang harus diluruskan menyangkut penetapan desa wisata. Dalam hal ini, desa wisata tidak harus setiap saat ada tamu yang datang, beraktivitas, dan menginap. Memang ada model desa wisata seprti itu, tapi tidak semua disamakan.
Desa wisata ditetapkan pemerintah, didasarkan atas daya tarik tertentu. Misalnya, Desa Kapal andalkan daya tarik tradisi ritual Siat Tipat, sementara Desa Munggu dengan tradisi ritual Makotek-nya. “Ritual itu kan tidak setiap hari dapat dikunjungi wisatawa. Tapi, tujuan yang ingin pemerintah capai bagaimana tetap mempertahankan tradisi itu, sehingga ditetapkan sebagai desa adat,” katanya.
Ada juga desa wisata yang potensinya hanya jadi tempat transit. Misalnya, Desa Sangeh. “Desa wisata di mana wisatawan bermalam dan beraktivitas juga ada, contohnya Desa Pangsan. Tapi, memang belum berkembang,” jelas Raka Darmawan. 7 asa
Komentar