Dicari, Cara Ampuh untuk Membuat Jera Koruptor
BUPATI Cianjur Irvan Rivano Muchtar menjadi kepala daerah ke-29 yang dijerat KPK dalam kasus dugaan korupsi sepanjang 2018.
Sebelum Bupati Irvan, ada 28 kepala daerah lainnya yang terjerat kasus serupa, termasuk Bupati Jepara Ahmad Marzuki (6 Desember 2018), Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolando Berutu (yang ditangkap KPK pada 18 November 2018), dan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra (yang ditangkap KPK, 24 Oktober 2018).
Secara total, KPK menangani 178 kasus korupsi selama 2018. Dari jumlah itu, 152 di antaranya kasus penyuapan, diikuti korupsi pengadaan barang atau jasa sebanyak 17 perkara, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) 6 perkara.
Dari total perkara yang ditangani KPK, 91 di antaranya melibatkan anggota DPR RI dan DPRD, 50 perkara melibatkan swasta, 31 perkara melibatkan kepala daerah aktif dan non aktif, serta 20 perkara yang melibatkan pejabat Eselon I hingga Eselon IV.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan penanganan kejahatan korupsi di Indonesia masih perlu perhatian serius dari banyak pihak. “Kasus-kasus yang ditangani KPK menunjukkan korupsi masih terjadi dan jadi gejala di banyak institusi,” jelas Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Jakarta Selatan, 28 November 2018 lalu.
Korupsi memang menggurita di berbagai lini dan sejumlah institusi. Ibarat penyakit, untuk penyembuhannya tak sekadar dengan obat atau melalui terapi, namun yang paling mendasar adalah mencegah sebelum benar-benar jatuh sakit. Demikian juga dengan korupsi. Pemberatasan korupsi memang bukan sekadar penangkapan, yang paling utama adalah pencegahan, serta pemberian efek jera bagi pelakuya.
Untuk efek jera itu, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, menilai pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih kembali bagi kepala daerah atau wakil rakyat yang terbukti korupsi, sudah tepat dan perlu dilakukan. Pencabutan hak untuk dipilih kembali, diharapkan agar masyarakat memiliki pemimpin dan wakil rakyat yang berintegritas serta lebih mengutamakan kepentingan publik.
“Yang menjadi pejabat publik benar-benar mengabdi kepada kepentingan publik, bukan mengambil atau mencuri yang bukan haknya,” kata Syamsuddin sebagaimana dilansir kompas.com, Rabu (19/9/2018). Menurut Syamsuddin, perlu ada jeda dalam jangka waktu tertentu bagi terpidana kasus korupsi agar hak dipilih bisa pulih kembali. Jeda waktu bisa 5-10 tahun sesuai dengan masa hukuman bagi yang bersangkutan. Jika misalnya dipidana 20 tahun, maka hak dipilih yang bersangkutan bisa pulih setelah jeda waktu 10 tahun.
Pencabutan hak politik itu telah dilakukan KPK. Sebagaimana dituturkan Febri Diansyah, sepanjang tahun 2013-2017, pengadilan Tipikor telah mencabut hak politik 26 koruptor yang terbukti terlibat dalam kasus korupsi. Dari 26 koruptor tersebut, ada yang menjabat sebagai ketua umum parpol dan pengurus parpol, anggota DPR RI dan DPRD, kepala daerah, serta jabatan lain yang memiliki risiko publik besar jika menjadi pemimpin politik.
Febri menjelaskan, KPK memiliki kewenangan mengajukan tuntutan berupa pencabutan hak politik terhadap politisi yang terjerat dalam kasus korupsi. KPK memandang politisi yang terlibat dalam kasus korupsi sudah mencederai kepercayaan publik.
Cara lain yang diusulkan untuk memberi efek jera para koruptor adalah dengan memiskinkan pelakunya. Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter, instrumen yang paling ampuh untuk menjerakan koruptor adalah dengan cara memiskinkan pelaku korupsi.
“Kalau aparat penegak hukum mau konsisten, cobalah terapkan pasal pencucian uang. Hampir setiap pidana korupsi sebetulnya diteruskan sebagai tindak pidana pencucian uang, seperti mengkonversi ke dalam usaha baru,” papar Lalola.
Senada dengan Lalola, mantan Hakim Agung, Artidjo Alkostar, juga mengatakan cara membuat jera para koruptor adalah memiskinnya. Hal ini karena kebanyakan koruptor sudah menyiapkan korporasi untuk mengalihkan uang tersebut. “Pelaku korupsi banyak yang sudah membuat perusahaan dulu untuk menampung. Cara agar memiskinkan koruptor supaya dia tidak berlindung di bawah perusahaan adalah mereka yang telah diseret tentu korporasinya juga diseret,” tegas Artidjo.
Dari uraian tersebut, setidaknya ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk memberi efek jera koruptor: mencabut hak politiknya, memiskinkan koruptor, dan menjerat korporasinya. Meski begitu, cara-cara dimaksud tidak serta merta bisa memberi efek jera pelaku korupsi.
Dalam hal pencegahan korupsi, barangkali kita mesti mencontoh Selandia Baru, yang oleh Transparency International disebut sebagai negara terbersih dari korupsi. Sebagaimana dilansir akutahu.com, Transparency International pada 2017 merilis indeks persepsi korupsi dunia dengan skala 0 (terkorup) hingga 100 (terbersih). Selandia Baru menduduki peringkat pertama pertama dari 180 negara dengan nilai 89. Kemudian, Denmark di posisi kedua dengan nilai 88, disusul Finlandia dengan nilai 85. Indonesia sendiri berada di urutan 96 dengan nilai 37, sama dengan Thailand, Kolombia, Brasil, Panama, Peru, dan Zambia.
Inilah yang dilakukan pemerintah Selandia Baru hingga dinyatakan sebagai negara terbersih dari korupsi: menanamkan kebiasaan berlaku adil dan jujur sejak di jenjang sekolah, tranparansi data yang bisa diakses publik, petugas pelayanan publik diwajibkan melaporkan seluruh kegiatannya dan harta kekayaan.
Sedangkan di Denmark, semangat anti korupsi telah membudaya. Setiap instansi memiliki lembaga antikorupsi sendiri, dan publik dapat melaporkan dugaan korupsi di hotline yang tersedia selama 24 jam tanpa birokrasi yang rumit. Pejabat publik wajib mengikuti pelatihan antikorupsi.
Sementara di Finlandia, diberlakukan sistem birokrasi yang tidak rumit, sehingga menghindari upaya penyuapan. Selain itu, juga pemeriksaan latar belakang kepada pegawai yang akan ditempatkan di posisi strategis, diberikan pendidikan antikorupsi, sementara penghasilan pegawai hanya cukup untuk hidup dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. *
---PROYEKSI 2019 :Bidang HUKRIM
Ana Bintarti
-----------------------------
Wartawan NusaBali
Komentar