2018 Tahun Musibah, Waspada di Negeri Bencana
DI pengujung tahun 2018 mestinya kita berharap bisa menutup cerita dengan happy end. Tapi, Tuhan ternyata punya rencana lain yang tidak terduga.
Tidak ada gempa, namun bencana tsunami tiba-tiba menerjang pesisir Anyer Pandeglang (Banten) dan Lampung Selatan (Lampung), 22 Desember 2018 malam, hingga merenggut lebih dari 430 nyawa. Ini menjadi catatan pilu, mengakhiri tahun 2018 dengan penuh keprihatinan.
Harus diakui, tahun 2018 merupakan tahun musibah bagi bangsa Indonesia. Berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2018 ada 2.426 kejadian bencana di negeri ini. Jumlah korban tewas dan hilang mencapai 4.231 orang, selain 6.948 korban luka-luka, 9.956.410 korban mengungsi, dan 341.226 unit rumah rusak berat. Jumlah itu belum termasuk bencana tsunami Selat Sunda kemarin.
"Tingginya bahaya bencana, seperti gempa, tsunami, erupsi gunung api, banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, puting beliung, dan cuaca ekstrem, juga masih tingginya kerentanan dan masih rendahnya kapasitas, menyebabkan tingginya risiko bencana," ungkap Kepala Pusat Data, Informasi, Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, belum lama ini.
Anehnya, meski sering terjadi bencana, bangsa ini belum juga mau belajar dari ‘alam’. Dahsyatnya gelombang tsunami Aceh setelah daerah itu diguncang gempa tektonik dengan kekuatan di atas 9 SR, 26 Desember 2004, dengan korban tewas mencapai 170.000 jiwa, harusnya menjadi pelajaran mahal bagi bangsa kita untuk ke depannya.
Namun, apa yang terjadi? Gempa disertai tsunami yang menerjang Palu dan Donggala, beberapa bulan lalu, lagi-lagi mencatat korban nyawa yang tidak sedikit. Tercatat ada 2.113 orang kehilangan nyawa, 1.309 orang hilang, dan 4.612 korban luka dalam bencana di Sulawesi Tengah tersebut.
Mengapa masyarakat kita terus menjadi korban setiap terjadi gempa? Menurut Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dr Daryono, semua itu terjadi karena tidak adanya semacam juklak bagaimana membangun bangunan tahan gempa yang diedukasikan secara masif, agar masyarakat kita benar-benar memahami dan kemudian mindsetnya berubah.
Sebetulnya, kata Daryono, pemerintah sudah melakukan berbagai cara untuk mengantisipasi bencana alam, termasuk dengan menggunakan teknologi tinggi. "Sistem monitoring gempa bumi, sistem processing dan diseminasi penyebaran itu sudah sangat bagus, menggunakan teknologi yang dalam waktu kurang dari tiga menit sudah bisa mendapatkan informasi parameter gempa, waktu gempa, kekuatan, kedalaman, dan lokasinya. Kita juga bisa mengeluarkan peringatan dini tsunami dengan cepat," kata Daryono.
Namun, mengapa masyarakat tetap menjadi korban setiapkali terjadi gempa? "Karena masih jauh urusan awareness, urusan pemahaman. Mereka belum siap. Kenapa mereka belum siap, ya karena tidak tahu informasinya. Sangat sedikit masyarakat yang tahu tentang itu wilayah gempa atau tahu di situ ada ancaman gempa. Mereka juga tidak tahu bagaimana cara menanggulangi kalau itu terjadi," ungkap Hening Parlan, dari Lembaga Lingkungan Hidup dan Bencana.
Coba bandingkan dengan Jepang. Warga Jepang juga tahu bagaimana rasanya kehilangan anggota keluarga dan harta benda akibat gempa. Namun bedanya, warga negeri Sakura memilih tetap tenang dan bertindak efektif. Mereka juga saling membantu dan menenangkan korban lain yang selamat.
Menurut Jeffrey Kingston, akademisi dari Temple University, kepribadian warga Jepang mengagumkan, layak ditiru dalam situasi bencana agar tidak terjadi kekacauan. "Jepang selalu belajar mendahulukan kepentingan kelompok, serta tak ingin terlihat mencolok di komunitasnya. Selain aturan yang tegas, dua karakter ini membantu efektivitas penanganan bencana," kata Jeffrey.
Soal penguasaan teknologi terkait gempa, Indonesia juga harus mengakui masih ‘kedodoran’ dibanding Jepang. Badan Meteorologi Jepang atau Japan Meteorological Agency (JMA) memiliki data yang sangat lengkap mengenai sejarah gempa dan tsunami yang sering menghampiri negara tersebut. Semua data bisa diakses oleh siapa pun. Sistem peringatan dini tsunami dan gempa pun tercatat jelas dalam situs tersebut, termasuk teknologi dan langkah apa saja yang dilakukan oleh negara matahari terbit tersebut.
Materi mitigasi gempa tsunami bahkan masuk ke dalam pembelajaran anak-anak di Jepang sejak bangku SD. Dari kecil, pendidikan mengenai tsunami dan gempa telah diberikan, seperti langkah penyelamatan diri.
Karena itu, keputusan Presiden Jokowi memasukkan pendidikan kebencanaan dalam kurikulum pendidikan perlu mendapat dukungan penuh. Sebab, dengan begitu masyarakat mendapatkan pengetahuan sejak dini terkait kebencanaan, sehingga nantinya dapat meminimalkan jumlah korban.
Sementara itu, di luar bencana alam, tragedi kemanusiaan yang juga mengundang duka mendalam di tahun 2018 ini adalah musibah jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 di Tanjungpakis, Karawang, Jawa Barat, hingga menewaskan seluruh 189 orang penumpangnya termasuk kru pesawat. Tragedi di dunia penerbangan ini jelas membuat Indonesia terpukul. Apalagi, musibah ini terjadi saat peringkat keselamatan penerbangan Indonesia baru melesat naik ke posisi 55 (tahun 2017) dari semula posisi ke-151 (tahun 2014).
Tarif penerbangan murah sebagai efek dari persaingan sengit di bisnis penerbangan serta kualitas SDM pilotnya, benar-benar harus menjadi evaluasi bersama para stakeholder ke depan. Meskipun dapat dikatakan terlambat, namun untuk urusan nyawa, mengejar ketertinggalan masih lebih baik daripada tidak melakukan perbaikan. Banyaknya musibah di tahun 2018, semoga membuat bangsa ini semakin kuat, mampu belajar cepat dari alam, dan yang terpenting….tetap semangat! *
---PROYEKSI 2019 : Bidang Sosial
Hardinah Sistri Ani
------------------------------
Wartawan NusaBali
1
Komentar