Kisah Pembatik asal Pasuruan Kembangkan Batik Warna Alam
PPK Sampoerna
Sampoerna Entrepreneurship Training Center (SETC)
Alam Batik
Batik Warna Alam
PT HM Sampoerna Tbk
Ferry Sugeng Santoso (Ki Joyo), seorang Pengerajin dan Pemangku Padepokan Batik Alam Pasuruan berkisah tentang awal ia mengenal batik yang sempat dibenci, hingga menjadi pengusaha batik yang meraup omset ratusan juta rupiah per bulan.
DENPASAR, NusaBali.com
Pepatah ‘benci jadi cinta’ ternyata bukan guyonan semata. Kali ini, Ferry Sugeng Santoso atau akrab disapa Ki Joyo yang punya cerita tentang dirinya dan membatik yang awalnya dibenci. Pria asal Pasuruan, Jatim, ini tidak pernah menyangka bahwa kini ia malah bersahabat baik dengan warisan budaya non-benda dari Indonesia yang ditetapkan UNESCO tersebut.
Terhitung, pria kelahiran 13 April 1980 itu telah kurang lebih 12 tahun tekun berkecimpung dengan dunia batik, ia juga dipercaya menjadi Pemangku Padepokan Batik Warna Alam di daerahnya, Dusun Pajaran, No.99, Desa Gunting, Sukorejo, Pasuruan, Jawa Timur. Hal itu berawal ketika tahun 2006, dirinya ditugaskan ibunya untuk ikut pelatihan Pewarnaan Alam untuk Batik di Yogyakarta. Sementara, ibunya yang juga seorang pembatik telah jauh memulai usaha batiknya sejak 1999 di Kota Pasuruan. Ia pun meyakini, bahwa tradisi membatik turun dari buyutnya yang telah lama terputus dan turun kembali di generasi ibunya.
“Tahun 2006 dapat panggilan untuk pelatihan pewarnaan alam di Jogja untuk mewakili Jatim, kebetulan pesertanya tidak bisa berangkat. Akhirnya saya disuruh untuk berangkat oleh ibu. Sampai di sana, panitianya bilang harus bisa membatik, padahal saya sendiri tidak pernah pegang canting dan tidak pernah belajar batik. Mulai saat itu jadi pegang batik,” ungkap Ferry saat ditemui di stan PPK Sampoerna (15/12) di Gong Perdamaian, Kertalangu, Denpasar.
Mau tidak mau, Ferry terpaksa belajar membatik secara instan saat itu juga. Berbekal pemandangan sehari-hari yang dilihatnya dari sang ibu, akhirnya Ferry menggoreskan cantingnya hingga kini bertransformasi menjadi pengusaha batik warna alam yang sukses. Terbukti, ia pernah ditugaskan oleh Kementerian Pariwisata untuk melatih membatik dengan warna alam ke Magelang, Yogyakarta. Selain itu, ia juga melatih hingga ke Gowa, Makassar untuk hal yang sama.
Tahun 2007 Ferry didaulat menjadi mentor batik pewarnaan alam di PPK Sampoerna, hingga di tahun 2016 bergabung menjadi binaan Sampoerna. Banyak ilmu yang kemudia didapatkannya dari pelatihan-pelatihan yang digelar oleh PT HM Sampoerna Tbk., terutama masalah manajemen barang dan pemasaran. Ia juga mengaku, sebelum bergabung di PPK Sampoerna, jaringannya belum terlalu luas. Setelah bergabung, pelanggan dan jaringan justru didapatkannya ketika mengikuti pameran-pameran yang diadakan Sampoerna. Seperti contoh, ia dipercaya untuk mengerjakan seragam pengurus pusat AMTI (Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia).
“Kalau pelatihan-pelatihan di Sampoerna saya rasa sangat bagus sekali kerana apa pun yang terjadi, UKM itu tidak bisa dilepas, apalagi yang baru berdiri. Dia harus dibina, termasuk dari sisi manajemen dan pemasarannya. Seperti contoh, pameran. Teman-teman yang baru sangat-sangat beruntung sekali mendapat kesempatan yang seperti ini karena mereka difasilitasi penuh. Ini sangat-sangat luar biasa dukungan Sampoerna,” pungkas Ferry.
Sejak mulai menekuni dunia batik warna alam, sudah ratusan jenis warna alam pernah dicoba bapak 3 anak ini. Namun, ada beberapa pewarna yang sering dipakai lantaran bahannya mudah didapatkan dan berlimpah, antara lain, biji bixa orellana penghasil warna oranye, kayu tegeran penghasil warna kuning, kulit buah jalawe penghasil warna kuning kecokelatan, kulit kayu mangrove penghasil warna merah maroon, limbah tembakau (daun/batang) penghasil warna emas, kulit kayu mahoni, kulit kayu matoa, daun matoa (penghasil warna cokelat, kuning, emas), dan masih banyak lagi.
Dalam proses pewarnaannya, Ferry mengaku harus melakukan pencelupan sebanyak 30 – 60 kali. Ada pula proses pengikatan agar warna batik tidak mudah luntur dengan mencelupkan kain pada larutan batu tawas, kapur, atau batu tunjung. Celupan di batu tawas menghasilkan warna muda, kapur menghasilkan warna lebih tua, dan batu tunjung menghasilkan warna gelap.
Saking lama dan rumitnya, tidak jarang Ferry harus menyelesaikan selembar batik dengan panjang 2.5 meter selama 1.5 tahun, termasuk melukis motif-motif yang detail dengan malam. Tidak heran, harga batiknya berkisar dari 450 ribu – 250 juta, menurut bahan dan tingkat kerumitan motif batik itu. Bahkan, batik-batiknya telah banyak terbang ke Roma, Melbourne, Korea, Malaysia, Singapore, Kanada, Brazil, juga Indonesia.
“Kalau misalkan harga 400 ribu dalam 1 bulan bisa menghasilkan 100 lembar batik, 1 bulan bisa 40 juta. Rata-rata minimal per bulan 400 juta masih bisa lah,” papar pria yang pernah menjuarai perlombaan Batik Pewarnaan Alam Tingkat Nasional 2018 itu sambil tertawa.
Untuk motifnya sendiri, Ferry lebih sering melukis motif daun, bunga kenanga, buah matoa, krisan, sedap malam, tembakau, kantil, hingga kupu-kupu. Menurutnya, motif-motif tersebut memiliki arti yang sangat dalam, terutama motif daun, kenanga, kupu-kupu, dan kenanga.
“Mengapa saya lebih banyak mengangkat simbol daun? Daun bagi saya adalah hal yang sangat istimewa karena dia bekerja siang malam tanpa mengeluh. Kenapa manusia tidak bisa seperti daun? Kenapa manusia hanya bisa mengeluh? Jadi, hal seperti itulah yang saya jadikan motif,” tutur pria yang pernah mendapat penghargaan Nayaka Pariwisata Berkelanjutan 2018 dari Kementerian Pariwisata RI, atas dedikasi melestarikan sumber daya pariwisata secara berkelanjutan.
Dalam karier usahanya yang telah berkembang pesat, tentu tidak terlepas dari tantangan yang mesti dipecahkan. Ferry mengungkap tantangan yang dihadapinya adalah perihal jumlah tenaga kerja yang terbatas. Kebutuhan batik yang banyak dengan tenggat waktu yang terbatas membuat ia kewalahan dengan hanya bermodalkan 15 orang pembatik di padepokannya.
Namun, meski demikian, ia tetap berharap agar batik tulis selalu jadi pilihan terutama bagi masyarakat Indonesia. Begitu pula dengan Sampoerna, yang harapannya terus memberdayakan UKM-UKM tradisional Indonesia agar makin dikenal dunia. Kini, Ferry yang awalnya membenci batik, malah mendapatkan pelajaran berharga dari batik itu sendiri. *ph
1
Komentar