Torehan Sejarah Ini Jangan Sampai Menorehkan Luka
Sejarah baru dalam sistem demokrasi Indonesia akan ditorehkan lewat perhelatan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden-Wakil Presiden (Pilpres) yang digelar serentak pada, 17 April 2019 mendatang.
Hiruk pikuk pesta gong demokrasi ini pun sudah dimulai jauh-jauh hari. Apalagi, masa kampanye Pileg dan Pilpres 2019 melewati rentang waktu yang cukup panjang, yakni selama 6 bulan sejak 23 September 2018 hingga 13 April 2019.
Pileg dan Pilpres yang digelar serentak tentu saja akan menimbulkan banyak keruwetan. Daftar pemilih untuk Pemilu 2019 saja belum kelar setelah ditetapkan jadi Daftar Pemilih Tetap (DPT). Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menetapkan Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan (DPTHP) hingga dua tahap, baru bisa meredakan protes, saling curiga, dan kesalahan teknis.
Logistik Pemilu 2019 juga tak lepas dari polemik. Kotak suara dari bahan kardus (dengan spesifikasi tertentu) diutak-atik, padahal sebelumnya secara politik di DPR sudah disepakati oleh semua parpol. Ini beberapa keruwetan dari segi teknis penyelenggaraan.
Di tengah hubungan antar parpol dan internal parpol serta koalisi parpol pengusung Capres-Cawapres, juga terjadi banyak keruwetan, persinggungan, bahkan mengarah pada konflik. Maklum, di satu sisi, masing-masing parpol bersaing untuk memenangkan dirinya dan para calon anggota legislatif (caleg)-nya. Namun, di sisi lain parpol juga harus memenangkan Capres-Cawapres yang mereka usung.
Maka, parpol peserta Pemilu harus pandai-pandai menempatkan diri ketika harus bersinggungan dengan parpol lain yang merupakan teman koalisi pengusung Capres-Cawapres. Bagaimana pun, antar parpol harus bersaing sengit. Namun sebagai teman koalisi Pilpres 2019, juga harus menjaga soliditas.
Persinggungan-persinggungan kecil sudah kerap muncul saat ini. Misalnya, kasus Partai Demokrat yang salah ucap soal teman koalisinya yakni Gerindra sebagai partai paling diuntungkan dari figur Capres Prabowo Subianto. Juga dalam kasus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai teman koalisi Golkar. PSI kebablasan menyinggung soal kebobrokan sistem dan perilaku elite politik di era Orde Baru (Orba). Padahal, Golkar merupakan pelaku politik utama di era tersebut.
Dalam Pilpres 2019 ini, pasangan Jokowi-Ma’ruf diusung PDIP-Golkar-PKB-PPP-NasDem-Hanura-PKPI-Perindo-PSI. Sedangkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno diusung Gerindra-Demokrat-PAN-PKS-Partai Berkarya.
Konflik-konflik antar parpol juga sangat berpotensi muncul ketika masing-masing parpol harus merekrut saksi untuk ditempatkan di TPS dan saksi luar TPS, demi mengawal suara hingga di rekapitulasi penghitungan akhir. Masing-masing parpol akan berlomba mendapatkan saksi paling loyal dan paling berpengalaman.
Jumlah saksi yang harus direkrut parpol akan sangat banyak. Untuk di Bali saja, jika seluruh parpol peserta Pemilu 2019 (berjumlah 16 parpol) merekrut masing-masing 2 orang saksi per TPS (12.384 TPS), maka akan dibutuhkan 396.288 orang saksi. Jumlah ini didapatkan dari perhitungan 2 orang saksi dikalikan 12.384 TPS dan dikalikan 16 parpol.
Jumlah ini tentu sangat banyak, sementara jumlah pemilih untuk Pemilu 2019 di Bali sebanyak 3.130.288 orang. Ini baru saksi parpol. Saksi untuk Capres-Cawapres tentu juga akan ada tersendiri. Persaingan rekrutmen saksi dengan kriteria yang dimiliki oleh masing-masing parpol, menjadi persinggungan tersendiri.
Situasi panas dan saling tuding juga akan muncul di TPS antar saksi parpol koalisi pengusung Capres-Cawapres. Hal ini menunjukkan betapa sengitnya persaingan antar parpol untuk meraih hasil terbaik di Pileg 2019. Lalu bagaimana dengan persaingan antar caleg dan sistem penentuan jumlah kursi legislatif pada Pemilu 2019?
Persaingan antar caleg, baik internal parpol maupun eksternal parpol, masih sama, bahkan lebih ketat dibandingkan Pileg 2014 lalu. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka yang masih digunakan saat ini, memacu para caleg untuk bersaing meraih suara terbanyak.
Namun, ada perbedaan dalam sistem konversi suara menjadi kursi dalam Pileg 2019. Jika sebelumnya menggunakan metode bilangan pembagi pemilih (BPP), tapi kini memakai metode sainte lague di mana membagi jumlah suara dengan bilangan ganjil 1, 3, 5, 7, dan seterusnya.
Parpol harus menggenjot raihan suaranya, karena jumlah suara itulah yang akan menjadi acuan untuk mendapatkan alokasi kursi. Tak salah kemudian, parpol berlomba-lomba memasang caleg yang memiliki elektabilitas (tingkat keterpilihan) yang tinggi. Tujuannya, untuk mendongkrak raihan suara parpol.
Sistem penentuan ini, mau tak mau, membuat caleg dan partai harus bekerja sama dalam peraihan suara terbanyak. Menang secara individual untuk suara caleg, tapi suara partai tak terdongkrak, akan mempengaruhi proses duduknya calon di legislatif. Artinya, para caleg juga dituntut untuk memenangkan partainya. Kerja keras, loyalitas, dan dedikasi yang tinggi bagi para kader partai sangat ditekankan dalam Pemilu kali ini.
Tak hanya harus fight untuk memenangkan diri seorang caleg dan partai, tapi juga harus memenangkan pasangan Capres-Cawapres yang diusung. Partai pun sudah mewanti-wanti kadernya soal loyalitas ini. Bahkan, tak segan induk partai akan memberikan sanksi tegas kepada kader yang ketahuan ‘selingkuh’ atau diam-diam tandem dengan kader parpol lain.
Misalnya, PDIP sebagai partai terbesar saat ini dan pengusung Capres incumbent Jokowi sudah pasti tak ingin posisinya terganggu. Menang Pileg dan menang Pilpres, adalah keharusan. Untuk menjamin loyalitas kader, PDIP telah memberikan ancaman tegas, tidak akan melantik caleg yang terpilih, jika perolehan suaranya melampaui perolehan suara pasangan Capres-Cawapres Jokowi-Ma’ruf di Dapil masing-masing. Ini tentu peringatan keras. Tujuannya, agar para caleg PDIP tidak bekerja hanya untuk diri sendiri, tapi wajib untuk memenangkan Jokowi-Ma’ruf di Dapil masing-masing.
Aroma panasnya persaingan politik memang begitu terasa di tahun 2018 yang berjuluk ‘tahun politik’ ini. Di tahun 2019, panasnya diprediksi akan makin terasa kuat. Jelas, sebab di awal tahun pertarungan sudah makin mengerucut menjelang perhelatan final pesta gong demokrasi. Di arena Pilpres, debat Capres-Cawapres mulai digelar 17 Januari 2019. Seperti diketahui, debat publik Capres-Cawapres ini akan berpengaruh besar bagi opini-opini yang berkembang di masyarakat.
Riuh politik pun akan makin menjadi-jadi ketika masa kampanye memasuki tahap rapat umum (kampanye akbar) dan kampanye di media massa, 24 Maret hingga 13 April 2019.
Namun, panggung besar demokrasi ini tetap harus mengakhiri pestanya. Hasil Pilpres/Pileg 2019 diharapkan tak membuat negeri ini tercerai berai atau saling berprasangka buruk terhadap sesama warga bangsa. Di balik harapan akan munculnya pemimpin terbaik dan wakil rakyat teraspiratif, pesta politik ini agar semakin menumbuhkan kedewasaan demokrasi. Penyelenggara Pemilu harus jalankan peran seadil dan sebaik mungkin. Para kontestan tak ngotot harus menang, tapi tak siap kalah. Demikian juga para tokoh negeri agar menjadi payung peneduh di tengah panasnya arena pertarungan. Ini torehan sejarah, jangan sampai menorehkan luka. *
Pileg dan Pilpres yang digelar serentak tentu saja akan menimbulkan banyak keruwetan. Daftar pemilih untuk Pemilu 2019 saja belum kelar setelah ditetapkan jadi Daftar Pemilih Tetap (DPT). Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menetapkan Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan (DPTHP) hingga dua tahap, baru bisa meredakan protes, saling curiga, dan kesalahan teknis.
Logistik Pemilu 2019 juga tak lepas dari polemik. Kotak suara dari bahan kardus (dengan spesifikasi tertentu) diutak-atik, padahal sebelumnya secara politik di DPR sudah disepakati oleh semua parpol. Ini beberapa keruwetan dari segi teknis penyelenggaraan.
Di tengah hubungan antar parpol dan internal parpol serta koalisi parpol pengusung Capres-Cawapres, juga terjadi banyak keruwetan, persinggungan, bahkan mengarah pada konflik. Maklum, di satu sisi, masing-masing parpol bersaing untuk memenangkan dirinya dan para calon anggota legislatif (caleg)-nya. Namun, di sisi lain parpol juga harus memenangkan Capres-Cawapres yang mereka usung.
Maka, parpol peserta Pemilu harus pandai-pandai menempatkan diri ketika harus bersinggungan dengan parpol lain yang merupakan teman koalisi pengusung Capres-Cawapres. Bagaimana pun, antar parpol harus bersaing sengit. Namun sebagai teman koalisi Pilpres 2019, juga harus menjaga soliditas.
Persinggungan-persinggungan kecil sudah kerap muncul saat ini. Misalnya, kasus Partai Demokrat yang salah ucap soal teman koalisinya yakni Gerindra sebagai partai paling diuntungkan dari figur Capres Prabowo Subianto. Juga dalam kasus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai teman koalisi Golkar. PSI kebablasan menyinggung soal kebobrokan sistem dan perilaku elite politik di era Orde Baru (Orba). Padahal, Golkar merupakan pelaku politik utama di era tersebut.
Dalam Pilpres 2019 ini, pasangan Jokowi-Ma’ruf diusung PDIP-Golkar-PKB-PPP-NasDem-Hanura-PKPI-Perindo-PSI. Sedangkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno diusung Gerindra-Demokrat-PAN-PKS-Partai Berkarya.
Konflik-konflik antar parpol juga sangat berpotensi muncul ketika masing-masing parpol harus merekrut saksi untuk ditempatkan di TPS dan saksi luar TPS, demi mengawal suara hingga di rekapitulasi penghitungan akhir. Masing-masing parpol akan berlomba mendapatkan saksi paling loyal dan paling berpengalaman.
Jumlah saksi yang harus direkrut parpol akan sangat banyak. Untuk di Bali saja, jika seluruh parpol peserta Pemilu 2019 (berjumlah 16 parpol) merekrut masing-masing 2 orang saksi per TPS (12.384 TPS), maka akan dibutuhkan 396.288 orang saksi. Jumlah ini didapatkan dari perhitungan 2 orang saksi dikalikan 12.384 TPS dan dikalikan 16 parpol.
Jumlah ini tentu sangat banyak, sementara jumlah pemilih untuk Pemilu 2019 di Bali sebanyak 3.130.288 orang. Ini baru saksi parpol. Saksi untuk Capres-Cawapres tentu juga akan ada tersendiri. Persaingan rekrutmen saksi dengan kriteria yang dimiliki oleh masing-masing parpol, menjadi persinggungan tersendiri.
Situasi panas dan saling tuding juga akan muncul di TPS antar saksi parpol koalisi pengusung Capres-Cawapres. Hal ini menunjukkan betapa sengitnya persaingan antar parpol untuk meraih hasil terbaik di Pileg 2019. Lalu bagaimana dengan persaingan antar caleg dan sistem penentuan jumlah kursi legislatif pada Pemilu 2019?
Persaingan antar caleg, baik internal parpol maupun eksternal parpol, masih sama, bahkan lebih ketat dibandingkan Pileg 2014 lalu. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka yang masih digunakan saat ini, memacu para caleg untuk bersaing meraih suara terbanyak.
Namun, ada perbedaan dalam sistem konversi suara menjadi kursi dalam Pileg 2019. Jika sebelumnya menggunakan metode bilangan pembagi pemilih (BPP), tapi kini memakai metode sainte lague di mana membagi jumlah suara dengan bilangan ganjil 1, 3, 5, 7, dan seterusnya.
Parpol harus menggenjot raihan suaranya, karena jumlah suara itulah yang akan menjadi acuan untuk mendapatkan alokasi kursi. Tak salah kemudian, parpol berlomba-lomba memasang caleg yang memiliki elektabilitas (tingkat keterpilihan) yang tinggi. Tujuannya, untuk mendongkrak raihan suara parpol.
Sistem penentuan ini, mau tak mau, membuat caleg dan partai harus bekerja sama dalam peraihan suara terbanyak. Menang secara individual untuk suara caleg, tapi suara partai tak terdongkrak, akan mempengaruhi proses duduknya calon di legislatif. Artinya, para caleg juga dituntut untuk memenangkan partainya. Kerja keras, loyalitas, dan dedikasi yang tinggi bagi para kader partai sangat ditekankan dalam Pemilu kali ini.
Tak hanya harus fight untuk memenangkan diri seorang caleg dan partai, tapi juga harus memenangkan pasangan Capres-Cawapres yang diusung. Partai pun sudah mewanti-wanti kadernya soal loyalitas ini. Bahkan, tak segan induk partai akan memberikan sanksi tegas kepada kader yang ketahuan ‘selingkuh’ atau diam-diam tandem dengan kader parpol lain.
Misalnya, PDIP sebagai partai terbesar saat ini dan pengusung Capres incumbent Jokowi sudah pasti tak ingin posisinya terganggu. Menang Pileg dan menang Pilpres, adalah keharusan. Untuk menjamin loyalitas kader, PDIP telah memberikan ancaman tegas, tidak akan melantik caleg yang terpilih, jika perolehan suaranya melampaui perolehan suara pasangan Capres-Cawapres Jokowi-Ma’ruf di Dapil masing-masing. Ini tentu peringatan keras. Tujuannya, agar para caleg PDIP tidak bekerja hanya untuk diri sendiri, tapi wajib untuk memenangkan Jokowi-Ma’ruf di Dapil masing-masing.
Aroma panasnya persaingan politik memang begitu terasa di tahun 2018 yang berjuluk ‘tahun politik’ ini. Di tahun 2019, panasnya diprediksi akan makin terasa kuat. Jelas, sebab di awal tahun pertarungan sudah makin mengerucut menjelang perhelatan final pesta gong demokrasi. Di arena Pilpres, debat Capres-Cawapres mulai digelar 17 Januari 2019. Seperti diketahui, debat publik Capres-Cawapres ini akan berpengaruh besar bagi opini-opini yang berkembang di masyarakat.
Riuh politik pun akan makin menjadi-jadi ketika masa kampanye memasuki tahap rapat umum (kampanye akbar) dan kampanye di media massa, 24 Maret hingga 13 April 2019.
Namun, panggung besar demokrasi ini tetap harus mengakhiri pestanya. Hasil Pilpres/Pileg 2019 diharapkan tak membuat negeri ini tercerai berai atau saling berprasangka buruk terhadap sesama warga bangsa. Di balik harapan akan munculnya pemimpin terbaik dan wakil rakyat teraspiratif, pesta politik ini agar semakin menumbuhkan kedewasaan demokrasi. Penyelenggara Pemilu harus jalankan peran seadil dan sebaik mungkin. Para kontestan tak ngotot harus menang, tapi tak siap kalah. Demikian juga para tokoh negeri agar menjadi payung peneduh di tengah panasnya arena pertarungan. Ini torehan sejarah, jangan sampai menorehkan luka. *
I Ketut Suardana
-----------------------------
Wartawan NusaBali
1
Komentar