Momentum Baik Untuk Evaluasi Diri
Pertemuan hari suci Siwaratri dan Kuningan pada Saniscara Kliwon Kuningan, Sabtu (5/1) hari ini memiliki nilai yang sangat baik untuk mengevaluasi diri dan meningkatkan kualitas kesadaran spiritual umat Hindu.
Pertemuan Hari Suci Siwaratri dan Kuningan
DENPASAR, NusaBali
Bahkan, pertemuan dua hari suci ini dapat digunakan untuk memotivasi diri memunculkan spirit penciptaan. “Kuningan adalah rangkaian dari Galungan. Merujuk Lontar Usana Bali Pulina, Galungan adalah pemujaan kepada Durga, sakti Siwa untuk memohon kebaikan alam semesta. Siwaratri dalam Kakawin Siwaratrikalpa disebut sebagai malam Siwa beryoga, salah satu malam tergelap dalam rentang tahun Saka,” ujar salah seorang petugas Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana, Made Reland Udayanan Tangkas, Jumat (4/1).
Dijelaskan, dua momentum Kresnapaksa yang dirayakan adalah pada Sasih Kapitu melalui Siwaratri dan pada Sasih Kadasa dengan tawur agung sebelum perayaan Nyepi. Beberapa lontar wariga juga menyatakan bahwa saat Kresnapaksa atau paruh gelap itu adalah waktu yang baik melakukan puasa atau brata, mampu meminimalisir intensitas kemalaan (kekotoran). “Menurut saya, yang perlu kita pikirkan, dalam hal ini perlu petunjuk dari yang berwenang adalah bagaimana melakoni ketika hari suci itu jatuh bersamaan. Tradisinya Kuningan kita kan melakukan sebuah persembahan kepada leluhur, tapi di satu sisi Siwaratri dirayakan dengan brata,” katanya.
Secara umum ia menjelaskan, lontar Usana Bali Pulina yang menjadi salah satu teks rujukan perayaan Galungan selain lontar Sundarigama. Lontar Usana Bali Pulina mengisahkan kemalangan yang menimpa penguasa Bali sebelum Sri Jaya Kesunu memerintah. Raja-raja yang memerintah diceritakan tidak berumur panjang, rakyat pun sengsara akibat wabah. Melihat kondisi tersebut, Raja Sri Jaya Kesunu berinisiatif untuk beryoga di Setra Gandamayu.
Atas yoganya yang khusuk, Durga kemudian berkenan dan menyatakan bahwa kemalangan yang terjadi di Bali terjadi akibat warga Bali lupa memperingati hari Galungan sebagai rahinan jagat. Dalam sabda itu, konon Dewi Durga juga menyarankan untuk mendirikan penjor sebagai bentuk pemujaan pada Hyang Tohlangkir guna memohon kesejahteraan bumi. Penjor berisi berbagai jenis hasil bumi, baik berupa pala bungkah maupun pala gantung.
Sementara itu untuk landasan pelaksanaan Siwaratri di Nusantara adalah Kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung. Karya ini mengisahkan seorang pemburu bernama Lubdaka yang penuh dosa tanpa sengaja turut melakukan jagra (begadang) saat panglong ke-14 Sasih Kapitu, atau paruh gelap Kresnapaksa.
Aktivitas yang tanpa disengaja dilakoni itu kemudian mengantarkan kemulusan langkahnya di alam baka. Pasukan Siwa membawanya ke surga Siwa, menyelamatkan atma Lubdaka terjatuh ke alam Yama. Perlakuan ia peroleh sebagai berkah melakukan brata (jagra atau tidak tidur, monabrata atau tidak berbicara, dan upawasa atau berpuasa) saat panglong ke-14 Sasih Kapitu, malam Bhatara Siwa beryoga. *ind
DENPASAR, NusaBali
Bahkan, pertemuan dua hari suci ini dapat digunakan untuk memotivasi diri memunculkan spirit penciptaan. “Kuningan adalah rangkaian dari Galungan. Merujuk Lontar Usana Bali Pulina, Galungan adalah pemujaan kepada Durga, sakti Siwa untuk memohon kebaikan alam semesta. Siwaratri dalam Kakawin Siwaratrikalpa disebut sebagai malam Siwa beryoga, salah satu malam tergelap dalam rentang tahun Saka,” ujar salah seorang petugas Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana, Made Reland Udayanan Tangkas, Jumat (4/1).
Dijelaskan, dua momentum Kresnapaksa yang dirayakan adalah pada Sasih Kapitu melalui Siwaratri dan pada Sasih Kadasa dengan tawur agung sebelum perayaan Nyepi. Beberapa lontar wariga juga menyatakan bahwa saat Kresnapaksa atau paruh gelap itu adalah waktu yang baik melakukan puasa atau brata, mampu meminimalisir intensitas kemalaan (kekotoran). “Menurut saya, yang perlu kita pikirkan, dalam hal ini perlu petunjuk dari yang berwenang adalah bagaimana melakoni ketika hari suci itu jatuh bersamaan. Tradisinya Kuningan kita kan melakukan sebuah persembahan kepada leluhur, tapi di satu sisi Siwaratri dirayakan dengan brata,” katanya.
Secara umum ia menjelaskan, lontar Usana Bali Pulina yang menjadi salah satu teks rujukan perayaan Galungan selain lontar Sundarigama. Lontar Usana Bali Pulina mengisahkan kemalangan yang menimpa penguasa Bali sebelum Sri Jaya Kesunu memerintah. Raja-raja yang memerintah diceritakan tidak berumur panjang, rakyat pun sengsara akibat wabah. Melihat kondisi tersebut, Raja Sri Jaya Kesunu berinisiatif untuk beryoga di Setra Gandamayu.
Atas yoganya yang khusuk, Durga kemudian berkenan dan menyatakan bahwa kemalangan yang terjadi di Bali terjadi akibat warga Bali lupa memperingati hari Galungan sebagai rahinan jagat. Dalam sabda itu, konon Dewi Durga juga menyarankan untuk mendirikan penjor sebagai bentuk pemujaan pada Hyang Tohlangkir guna memohon kesejahteraan bumi. Penjor berisi berbagai jenis hasil bumi, baik berupa pala bungkah maupun pala gantung.
Sementara itu untuk landasan pelaksanaan Siwaratri di Nusantara adalah Kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung. Karya ini mengisahkan seorang pemburu bernama Lubdaka yang penuh dosa tanpa sengaja turut melakukan jagra (begadang) saat panglong ke-14 Sasih Kapitu, atau paruh gelap Kresnapaksa.
Aktivitas yang tanpa disengaja dilakoni itu kemudian mengantarkan kemulusan langkahnya di alam baka. Pasukan Siwa membawanya ke surga Siwa, menyelamatkan atma Lubdaka terjatuh ke alam Yama. Perlakuan ia peroleh sebagai berkah melakukan brata (jagra atau tidak tidur, monabrata atau tidak berbicara, dan upawasa atau berpuasa) saat panglong ke-14 Sasih Kapitu, malam Bhatara Siwa beryoga. *ind
Komentar