Kesakralan Upacara Pengerebongan di Desa Kesiman Bali
Parade penjor raksasa hingga ngurek atau menghujam keris ke anggota tubuh dengan membabi-buta menjadi daya tarik dari tradisi Pengerebongan.
DENPASAR, NusaBali.com
Sejak berpuluh atau beratus tahun lalu, masyarakat Desa Kesiman, Denpasar, selalu memperingati sebuah upacara agama bernama Pengerebongan, yang jatuh pada Redite Pon, Wuku Medangsia. Upacara sakral ini pun dilaksanakan setiap 210 hari sekali (6 bulan), kurang lebih seminggu setelah Hari Raya Kuningan, dengan rentetan upacara yang mencapai sebulan lamanya sebelum sampai di puncak, yakni Pengerebongan.
Bagi warga Kesiman dan sekitarnya, Pengerebongan ini mungkin sudah lumrah didengar atau disaksikan, namun kiranya upacara ini menjadi unik di mata orang-orang yang baru mengetahuinya dari desas-desus informasi di media sosial yang makin marak. Ciri khas dari Pengerebongan adalah diparadekannya penjor-penjor raksasa yang megah dan indah, serta tradisi ngurek yang identik dengan kerauhan (kerasukan), yang mana para keturunan pepatih dan orang-orang yang memiliki anugerah tersebut akan berteriak histeris, menari, hingga menusukkan keris atau tombak ke bagian tubuhnya.
Dilansir dari wawancara dengan Dwana, selaku Jro Mangku Gede Dalem Kesiman, bahwa Pengerebongan ini berasal dari kara ‘Rebu’ atau ‘Pengerebuan’ yang hanya menggunakan satu jenis banten (sesajen) yaitu Banten Pengerebu untuk penyucian alam semesta. Bantennya pun terbilang unik karena memakai ulam Guling Penyugjug (babi yang belum dikebiri dan diguling), namun guling ditusuk dari pantat tembus ke kepalanya. Cara yang terbalik dari biasanya.
“Namanya Pura Agung Petilan, karena di sana dilakukan upacara Pengerebongan, disebutlah dengan Pura Agung Petilan Pengerebongan. Pengerebongan berasal dari kata ‘rebu’ menjadi ‘pengerebuan,’ yang dimaksud begitu karena bantennya cuma satu saja, Banten Pengerebuan. Ngerebuin yaitu (penyucian alam semesta). Menggunakan Guling Penyugjug (gulingan babi yang belum dikebiri), tapi nusuk gulingnya dari pantat tembus ke kepalanya, jadi terbalik. Kalau ditanya mengapa begitu? Kacamata orang berbeda-beda, tapi kalau keyakinan saya karena dari dulu sudah begitu,” papar Jro Mangku Dwana.
Tidak ada yang tahu persis, kapan Pengerebogan pertama kali dilaksanakan dan siapa yang memulai. Diyakini, bahwa ini merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang yang sudah begitu adanya. Jro Mangku Dwana pun tidak berani berbicara banyak, takut salah katanya.
“Sejarahnya kita tidak tahu karena tidak ada Purana (kesusastraan Hindu yang memuat sejarah, mitologi dan legenda), orang bilang ada, tapi selama ini saya tidak pernah melihat apalagi membaca. Kalau dengar-dengar, yang kita lakukan sih sudah dari dulu, gitu saja,” lanjut pria yang telah menjadi pemangku sejak 1994 tersebut.
Pria asal Banjar Kedaton, Desa Kesiman Petilan itu pun turut memaparkan rentetan upacara yang menjadi bagian dari Pengerebongan ini.
Rentetan singkatnya dimulai dari Sugihan Jawa, mengadakan Petirtaan Ida Bhatara di pekoleman (persemayaman) yang berlangsung di Pura Luhur Dalem Pusering Jagat, Kesiman. Kemudian Ida Bhatara menerima Bhatara Manca dan Pengerob, lalu dikirim ke Pura Agung Petilan Pengerebongan. Setelah itu, Manis Galungan diadakan upacara Ngebekin/Pengebekan di pura yang sama, seperti upacara persembahyangan biasa namun lebih kecil cakupannya. Setelah itu, di Pahing Kuningan, ada acara yang disebut dengan Pemendakan (penjemputan). Kemuadian, puncaknya diadakan Pengerebongan.
Dalam upacara Pengerebongan terdapat dua tahap pengintaran (berkeliling), satu disebut Barong dan Rangda, yang kedua disebut Pemangku Prekulit yang dilakukan oleh pemangku (pendeta) yang menyungsung pura-pura di Kesiman. Prosesi tersebut juga termasuk atraksi ngurek yang dilakukan oleh para pepatih dan keturunannya. Anehnya, tubuh para pengayah tersebut kebal akan senjata.
Diketahui, ada sekitar 50 pura di Kesiman, dalam satu pura terdapat setidaknya 60 pemangku. Desa Kesiman terdiri dari 3 desa dinas, Desa Kesiman Kertalangu (timur), Desa Kesiman Petilan (tengah), Kelurahan Kesiman (barat). Satu desa adat terdiri dari 31 banjar dinas.
Terkait dengan parade penjor yang rutin digelar setiap Pengerebongan, Jro Mangku Dwana memberi penjelasan sebagai berikut.
“Penjor itu dulunya, kan di setiap upacara ada penjor, dulunya dipasang di wantilan. Karena zaman mulai berkembang, dari 31 banjar dinas yang ada di Desa Adat Kesiman, maka desa adat punya inisiatif untuk melombakan penjor-penjor tersebut, jadilah penjor besar-besar seperti itu. Pada prinsipnya sih itu penjor adat, hanya saja untuk menambah antusias para pemuda dan masyarakat, maka dibuatkan lomba. Karena penjornya besar-besar, maka dipasang di luar agar tidak membahayakan saat berlangsungnya upacara,” jelasnya.
Lalu, bagaimana jika Pengerebongan tidak dilaksanakan?
”Jika ditanya, jika pengerebongan tidak dilaksanakan apa yang akan terjadi? Saya tidak bisa jawab karena sejak saya lahir sudah ada. Saya malah nunas ica pada Ida Bhatara (meminta petunjuk) untuk mencari jawaban itu, pingin tahu bagaimana jadinya jika itu tidak dilaksanakan. Banyak juga anak-anak muda yang tanya begitu. Bahkan saat musim hujan pun, tidak ada hujan saat pengerebongan dilaksanakan. Masalah sekompleks apa pun, Pengerebongan akan tetap dlaksanakan,” tutup Jro Mangku yang juga berprofesi sampingan menjadi arsitek itu. *ph
Komentar