MUTIARA WEDA : Sekali Lagi Hari Raya
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, sebagai momentum menuju jnana Samadhi supaya mendapatkan pandangan yang terang dalam melenyapkan segala bentuk kekacauan pikiran.
Budha kliwon dungulan ngaran galungan patitis ikang jnana Samadhi,
Galang apadang maryakena sarwa byapaning idep.
(Lontar Sunarigama)
Pada prinsipnya Hari Raya Galungan merupakan sebuah momentum untuk mengingatkan kita terus-menerus agar segera melakoni kewajiban yang sebenarnya, yakni olah rohani sebagai upaya untuk membangkitkan jnana sehingga Samadhi, puncak kesadaran bisa diraih. Momentum itu berarti banyak. Pertama, bisa berarti sebagai hitungan umur, yakni ternyata kehidupan yang kita lalui telah melewati beberapa jangka waktu tertentu, dan hari raya ini menjadi pengingat bahwa umur telah semakin mendekati akhir, sehingga tidak ada waktu lagi berleha-leha. Kedua, bisa juga berarti sebagai momentum evaluasi, artinya, ketika merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan kita mencoba memberikan penilaian terhadap perkembangan diri kita apakah telah berada dalam standar lulus atau belum. Evaluasi diri ini penting dilakukan sebagai upaya untuk menentukan langkah apa yang harus diambil kedepannya.
Jika perayaan ini adalah sebuah mementum, lalu kemeriahan perayaan tersebut baik dalam bentuk upacara maupun dalam bentuk pesta makanan untuk apa? Selama ini, kalau kita membaca lontar yang berhubungan dengan tradisi agama, esensinya selalu mengarah ke dalam diri, olah bathin, kontemplasi ke dalam, tetapi ketika membaca tentang praktiknya, sepenuhnya keluar diri, yakni tindakan religius yang mesti dilakukan untuk pemujaan sebagai wujud bhakti kehadapan para Dewata.
Rasa bhakti tersebut diwujudkan dalam bentuk upacara yang beragam, yang menurut para praktisi, setiap bentuk banten upacara mengandung simbol tertentu yang memberikan gugusan makna tertentu.
Mengapa mesti ada jurang yang demikian lebar antara sisi esensi dan sisi praktisnya dalam perayaan tersebut? Jika memang esensi dari Hari Raya Galungan adalah momentum dari perkembangan jnana guna meraih Samadhi, lalu mengapa perayaan yang dilakukan tidak langsung pada upaya itu, yakni perenungan diri? Mengapa perayaannya justru ditujukan untuk Dewa-dewi? Apa korelasinya antara kesadaran diri dengan Dewa-Dewi?
Secara metodik kedua ini tidak memiliki korelasi sama sekali karena memang jalan dan arah yang dituju sepenuhnya berlawanan. Maka dari itu, tidak dipungkiri bahwa berbicara Hari Haya Galungan dan Kuningan secara esensi sebenarnya tidak banyak memiliki manfaat, oleh karena praktiknya sama sekali tidak ada. Sehingga dengan demikian, berbicara mengenai Hari Raya semestinya dari segi praktis saja, dan jika memang sepenuhnya bersifat practical, maka, semua itu tidak perlu dibicarakan, melainkan dilaksanakan. Disinilah, mengapa orang Bali tidak pernah mendiskusikan sebuah Hari Raya, melainkan mereka langsung pada praktek bagaimana Hari Raya itu dirayakan.
Secara praktis, Hari Raya tidak penting didiskusikan, dan setiap diskusi pasti tidak mendatangkan manfaat apa-apa, karena nilainya idak terletak pada pemikiran, melainkan pada pelaksanaannya. Lalu, apakah akan mengena pada esensinya? Tentu tidak sama sekali. Jika tidak sama sekali, lalu untuk apa dirayakan? Tentu sangat penting dan bahkan lebih penting perayaan itu dirayakan dari sisi praktisnya ketimbang dari segi esensi.
Mengapa? Esensi tidak perlu merayakan momentum, melainkan merayakankan hidup. Sehingga dari segi esensi Galungan dan Kuningan datangnya tidak setiap 6 bulan sekali, melainkan setiap saat. Dharma harus dirayakan setiap saat sehingga kehidupan sepenuhnya berada di dalam dharma. Secara esensi tidak ada bentuk yang khusus untuk merayakannya.
Jika secara praktis tidak ada hubungannya dengan esensi, lalu mengapa momentum Hari Raya Galungan dan Kuningan penting dirayakan? Ini merupakan bentuk hentakan-hentakan rohani bagi mereka yang masih berada dalam tahap bawah. Secara awam, esensi tidak akan bisa dipahami, sehingga secara otomatis tidak bisa dipraktikkan. Secara awam, perkembangan rohani selalu muncul dari luar, yakni dari anugerah Dewa-Dewi. Dari sini sraddha secara bertahap dibangun. Semakin lama semakin kuat sraddha tersebut, sehingga dalam tahap tertentu, sraddha inilah yang mengubah arah perayaan tersebut dari sepenuhnya keluar menjadi ke dalam diri. Jadi, Galungan dan Kuningan ini akan memiliki makna secara esensi hanya ketika kesadaran seseorang telah mengalami turning point, dari keluar menuju ke dalam diri. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar