Pedagang Pungut Kelapa untuk Diolah Jadi Minyak
Sampah Kiriman yang Meluber di Pantai Kuta, Badung
MANGUPURA, NusaBali
Sampah kiriman berupa ranting, batang ohon, dan buah kelapa yang membanjiri pesisir Pantai Kuta, di satu sisi sangat menganggu kenyamanan wisatawan. Tetapi di sisi lain, sampah tersebut juga membawa berkah bagi pedagang yang mangkal di Pantai Kuta. Ada pedagang mengumpulkan buah kelapa yang kampih (terdampar) untuk diolah dijadikan minyak.
Seperti yang dilakukan oleh seorang pedagang manik-manik, Ni Made Asri, 59. Wanita paruh baya yang sudah 30 tahun lebih berjualan di Pantai Kuta ini mengaku dirinya terpaksa memungut sampah buah kelapa karena kondisi ekonominya belakangan ini mulai tidak stabil. Dampak dari sebaran sampah yang nyaris merata di sepanjang pantai itu membuat pemasukan wanita yang dikarunia dua orang anak dan tujuh cucu juga berkurang. Diakui wanita yang tinggal di Banjar Kajang, Suwung Kauh, Denpasar Selatan, ini biasanya dia bisa mengumpulkan uang Rp 100.000 hingga Rp 200.000 dalam sehari dari menjual manik-manik di kawasan pantai. Namun, karena situasi tidak menentu, dalam seminggu ini dagangannya belum ada yang laku. “Biasanya kalau pulang jualan (dari Pantai Kuta) bawa uang. Tapi, seminggu ini sama sekali belum ada yang laku. Makanya pilih kumpulkan kelapa yang dibawa ombak,” ujarnya saat ditemui di Pantai Kuta, Rabu (23/1) siang.
Dibeberkan wanita asal Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, ini aktivitasnya memilah sampah kelapa ini dilakukan sejak dua hari belakangan ini. Kelapa yang tercecer sepanjang pantai diperiksa satu per satu dengan cara menggoyangkannya. Apabila terasa berat dan air kelapa masih utuh, berarti kelapa tersebut masih bagus dan siap untuk diolah untuk dijadikan minyak. Dalam sehari, Ni Made Asri bisa mengumpulkan 10 kelapa utuh untuk diolah. Kelapa yang dikumpulkan di Pantai Kuta tersebut bisa mengurangi biaya produksi. Pasalnya, biaya untuk beli satu kelapa di pasar seharga Rp 7.000. Sementara, untuk biaya jual minyak kelapa hasil olahannya mencapai Rp 16.000 per botol. Dia berharap, dengan mengolah kelapa yang terbawa ombak bisa menutupi biaya kebutuhan hidup sehari-hari. “Saya ambil (kelapa) ini untuk diolah jadi minyak. Kalau beli lagi kan keluar uang, makanya dengan mengambil sampah kelapa ini bisa menekan biaya. Apalagi penghasilan dari jualan juga tidak menentu setelah kejadian (cuaca ekstrem) seperti ini,” urainya.
Dilanjutkan Ni Made Ari, dia sebenarnya tidak mengharapkan adanya tumpukan sampah di kawasan Pantai Kuta. Selain mengganggu pemandangan, tentu juga menjadi penyebab berkurangnya pemasukan. “Biasanya, penanganan sampah di sini (Pantai Kuta) sangat cepat. Begitu ada sampah, pasti petugas sudah bersihkan dengan alat berat (loader). Tapi, karena kondisi hujan dan gelombang, akhirnya petugas tidak bisa bekerja dan mengumpulkan sampah-sampah ini di STO. Kalau tidak ada sampah dan jualan laris, memang berkah. Tapi kalau memang seperti ini (sampah) kita anggap saja berkah juga,” ungkapnya. *dar
Seperti yang dilakukan oleh seorang pedagang manik-manik, Ni Made Asri, 59. Wanita paruh baya yang sudah 30 tahun lebih berjualan di Pantai Kuta ini mengaku dirinya terpaksa memungut sampah buah kelapa karena kondisi ekonominya belakangan ini mulai tidak stabil. Dampak dari sebaran sampah yang nyaris merata di sepanjang pantai itu membuat pemasukan wanita yang dikarunia dua orang anak dan tujuh cucu juga berkurang. Diakui wanita yang tinggal di Banjar Kajang, Suwung Kauh, Denpasar Selatan, ini biasanya dia bisa mengumpulkan uang Rp 100.000 hingga Rp 200.000 dalam sehari dari menjual manik-manik di kawasan pantai. Namun, karena situasi tidak menentu, dalam seminggu ini dagangannya belum ada yang laku. “Biasanya kalau pulang jualan (dari Pantai Kuta) bawa uang. Tapi, seminggu ini sama sekali belum ada yang laku. Makanya pilih kumpulkan kelapa yang dibawa ombak,” ujarnya saat ditemui di Pantai Kuta, Rabu (23/1) siang.
Dibeberkan wanita asal Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, ini aktivitasnya memilah sampah kelapa ini dilakukan sejak dua hari belakangan ini. Kelapa yang tercecer sepanjang pantai diperiksa satu per satu dengan cara menggoyangkannya. Apabila terasa berat dan air kelapa masih utuh, berarti kelapa tersebut masih bagus dan siap untuk diolah untuk dijadikan minyak. Dalam sehari, Ni Made Asri bisa mengumpulkan 10 kelapa utuh untuk diolah. Kelapa yang dikumpulkan di Pantai Kuta tersebut bisa mengurangi biaya produksi. Pasalnya, biaya untuk beli satu kelapa di pasar seharga Rp 7.000. Sementara, untuk biaya jual minyak kelapa hasil olahannya mencapai Rp 16.000 per botol. Dia berharap, dengan mengolah kelapa yang terbawa ombak bisa menutupi biaya kebutuhan hidup sehari-hari. “Saya ambil (kelapa) ini untuk diolah jadi minyak. Kalau beli lagi kan keluar uang, makanya dengan mengambil sampah kelapa ini bisa menekan biaya. Apalagi penghasilan dari jualan juga tidak menentu setelah kejadian (cuaca ekstrem) seperti ini,” urainya.
Dilanjutkan Ni Made Ari, dia sebenarnya tidak mengharapkan adanya tumpukan sampah di kawasan Pantai Kuta. Selain mengganggu pemandangan, tentu juga menjadi penyebab berkurangnya pemasukan. “Biasanya, penanganan sampah di sini (Pantai Kuta) sangat cepat. Begitu ada sampah, pasti petugas sudah bersihkan dengan alat berat (loader). Tapi, karena kondisi hujan dan gelombang, akhirnya petugas tidak bisa bekerja dan mengumpulkan sampah-sampah ini di STO. Kalau tidak ada sampah dan jualan laris, memang berkah. Tapi kalau memang seperti ini (sampah) kita anggap saja berkah juga,” ungkapnya. *dar
1
Komentar