MUTIARA WEDA : Homa Yadnya
HOMA Yajna/Agni Hotra/Havan Yajna adalah pemujaan kepada Agni (api). Yadnya ini bukan merupakan ritus baru di Bali.
Dilihat dari aspek sejarah, Ritual Vedik ini sudah dilaksanakan dari era berkuasanya dinasti Singamadhawa (882-942 Masehi). Hal tersebut dapat dilacak dari beberapa temuan prasasti, yakni seperti prasasti Sukawana a dan b, dan prasasti Bebetin. Prasasti ini secara eksplisit menjelaskan bahwa raja memerintahkan beberapa orang biksu untuk membangun tempat pemujaan Hyang Api di wilayah Cintamani (sekarang Kintamani), sekaligus membebaskan wilayah itu dari pajak karena pemerintah melakukan subsidi atas wilayah tersebut untuk keperluan yadnya. Selanjutnya, Sri Ugrasena juga mengeluarkan beberapa prasasti Serokadan, Sembiran, Baturya, dan Dausa (915-942 Masehi) yang menjelaskan tentang peran pemujaan Hyang Api menjadi sangat penting ketika itu.
Pada tahun 916 Saka, Darmodayana Warmadewa mewajibkan rakyat Bali ketika itu untuk membayar iuran untuk pembangunan dan pemeliharaan pura Hyang Api. Selanjutnya, homa yajna terus dilaksanakan oleh masyarakat Bali, bahkan ketika berkuasanya raja-raja Jawa Timur di Bali. Bahkan banyak lontar menyebutkan tentang ritual homa ini yang harus dilakukan jika ada keanehan di alam Bali. Bahkan pada zaman Dalem Waturenggong, homa yajna mengalami perkembangan yang sangat pesat tetapi menurut Babad Dalem, kegiatan ritual ini terhenti karena musibah kebakaran besar di wilayah puri (Gelgel) akibat dari api homa menyambar atap puri. Selanjutnya, upacara tersebut diganti dengan Padipan atau pasepan yang umum digunakan pendeta Hindu di Bali. Belakangan, upacara ini sering dilakukan oleh berbagai kelompok, meskipun mendapatkan penolakan dari kalangan yang memiliki pandangan bahwa ritual ini akan mendistorsi tradisi ritual di Bali (Sandika, 2015).
Ritual ini sesungguhnya wajib dilakukan sebab banyak sumber sastra suci yang dapat dirujuk. Mulai dari kitab Sruti, Smerti, bahkan teks Siva Tattwa di Bali menjelaskan tentang homa yajna yang merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Rgveda sangat banyak menyebutkan pemujaan kepada Deva Agni, demikian juga Samaveda, Yajurveda, dan Atharvaveda Samhita. Dalam teks Ramayana juga menjelaskan tentang upacara homa ini. Selanjutnya homa yajna juga sangat banyak disebutkan dalam teks atau lontar Shiva Shidanta di Bali, seperti Lontar Agastya Parwa, Sarasamuccaya, Vrhaspati Tattva, lontar Silakrama, dan banyak lagi yang lainnya. Dijelaskan bahwa seseorang yang belajar Veda atau pengetahuan spiritual diwajibkan Mahoma untuk memuja Agni (Sandika, 2015).
Di Karangasem sendiri, khususnya di Desa Bebandem, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, oleh komunitas Bahung Teringan, kegiatan homa ini dikembangkan kembali dan disebarluaskan untuk kepentingan masyarakat. Jenis homa yang dikembangkan oleh komunitas ini dikenal dengan sebutan Homa Jnana. Komunitas secara rutin melakukan kegiatan ini di Griya Gaduh Bebandem dan di beberapa tempat di Bali dan bahkan di Jawa dan Lombok.
Kegiatan ini tentu menimbulkan berbagai pertanyaan di masyarakat, mengingat kegiatan ritual ini bagi mereka masih tampak baru meskipun secara kesejarahan sebagaimana dinyatakan di atas, ritual ini telah dilakukan sejak zaman dulu kala. Meskipun semakin banyak masyarakat yang mulai melaksanakan, namun banyak juga yang mempertanyakan keberadaan Homa Jnana yang diperkenalkan kembali oleh Komunitas Bahung Teringan ini. Kondisi ini tentu menjadi dialektika di kalangan masyarakat yang menjadikan masyarakat semakin mapan di dalam berpikir sehingga mampu mengambil sebuah keputusan yang tepat atas apa yang baik dan menguntungkan dan mana yang memberatkan. Khususnya mengenai kegiatan ritual, di tengah-tengah perubahan yang demikian deras, mereka diharapkan mampu dengan bijak menentukan ritual mana yang cocok dan tepat dilaksanakan dan mana yang tidak dengan tanpa mengesampingkan nilai-nilai luhur budaya Bali itu sendiri. *
I Gede Suwantana
Pada tahun 916 Saka, Darmodayana Warmadewa mewajibkan rakyat Bali ketika itu untuk membayar iuran untuk pembangunan dan pemeliharaan pura Hyang Api. Selanjutnya, homa yajna terus dilaksanakan oleh masyarakat Bali, bahkan ketika berkuasanya raja-raja Jawa Timur di Bali. Bahkan banyak lontar menyebutkan tentang ritual homa ini yang harus dilakukan jika ada keanehan di alam Bali. Bahkan pada zaman Dalem Waturenggong, homa yajna mengalami perkembangan yang sangat pesat tetapi menurut Babad Dalem, kegiatan ritual ini terhenti karena musibah kebakaran besar di wilayah puri (Gelgel) akibat dari api homa menyambar atap puri. Selanjutnya, upacara tersebut diganti dengan Padipan atau pasepan yang umum digunakan pendeta Hindu di Bali. Belakangan, upacara ini sering dilakukan oleh berbagai kelompok, meskipun mendapatkan penolakan dari kalangan yang memiliki pandangan bahwa ritual ini akan mendistorsi tradisi ritual di Bali (Sandika, 2015).
Ritual ini sesungguhnya wajib dilakukan sebab banyak sumber sastra suci yang dapat dirujuk. Mulai dari kitab Sruti, Smerti, bahkan teks Siva Tattwa di Bali menjelaskan tentang homa yajna yang merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Rgveda sangat banyak menyebutkan pemujaan kepada Deva Agni, demikian juga Samaveda, Yajurveda, dan Atharvaveda Samhita. Dalam teks Ramayana juga menjelaskan tentang upacara homa ini. Selanjutnya homa yajna juga sangat banyak disebutkan dalam teks atau lontar Shiva Shidanta di Bali, seperti Lontar Agastya Parwa, Sarasamuccaya, Vrhaspati Tattva, lontar Silakrama, dan banyak lagi yang lainnya. Dijelaskan bahwa seseorang yang belajar Veda atau pengetahuan spiritual diwajibkan Mahoma untuk memuja Agni (Sandika, 2015).
Di Karangasem sendiri, khususnya di Desa Bebandem, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, oleh komunitas Bahung Teringan, kegiatan homa ini dikembangkan kembali dan disebarluaskan untuk kepentingan masyarakat. Jenis homa yang dikembangkan oleh komunitas ini dikenal dengan sebutan Homa Jnana. Komunitas secara rutin melakukan kegiatan ini di Griya Gaduh Bebandem dan di beberapa tempat di Bali dan bahkan di Jawa dan Lombok.
Kegiatan ini tentu menimbulkan berbagai pertanyaan di masyarakat, mengingat kegiatan ritual ini bagi mereka masih tampak baru meskipun secara kesejarahan sebagaimana dinyatakan di atas, ritual ini telah dilakukan sejak zaman dulu kala. Meskipun semakin banyak masyarakat yang mulai melaksanakan, namun banyak juga yang mempertanyakan keberadaan Homa Jnana yang diperkenalkan kembali oleh Komunitas Bahung Teringan ini. Kondisi ini tentu menjadi dialektika di kalangan masyarakat yang menjadikan masyarakat semakin mapan di dalam berpikir sehingga mampu mengambil sebuah keputusan yang tepat atas apa yang baik dan menguntungkan dan mana yang memberatkan. Khususnya mengenai kegiatan ritual, di tengah-tengah perubahan yang demikian deras, mereka diharapkan mampu dengan bijak menentukan ritual mana yang cocok dan tepat dilaksanakan dan mana yang tidak dengan tanpa mengesampingkan nilai-nilai luhur budaya Bali itu sendiri. *
I Gede Suwantana
1
Komentar