Dipercaya sebagai Griya Niskala, Pantang Dilewati Calon Pengantin
Bendesa Pakraman Penarukan, Nengah Reken, sempat membuktikan kebenaran bahwa kawasan Patirtan Alas Metapa merupakan griya niskala. Suatu malam saat rahina Tilem, Nengah Reken bersama istrinya mendengar suara genta ketika melintas di sana
Kawasan Petirtan Alas Metapa di Banjar Penarukan, Desa Peninjoan, Kecamatan Tembuku, Bangli
BANGLI, NusaBali
Kawasan Petirtan Alas Metapa di wilayah Banjar Penarukan, Desa Peninjoan, Kecamatan Tembuku, Bangli termasuk salah satu tempat suci yang sangat dikeramatkan. Tempat ini dipercaya sebagai areal griya (rumah sulinggih) niskala. Krama sekitar pun pantang membawa jenazah melewati kawasan ini. Calon pengatin juga dilarang melintas di jalur griya niskala yang diberi nama Tukad Blubud ini.
Selain jadi lokasi malukat (mandi untuk menyucikan diri secara niskala), di kawasan Petirtan Alas Metapa juga terdapat Pura Ulun Suwi (Pura Subak). Di sini juga ada sumber air suci (tirta) matunggang, yang airnya muncul dari dua sisi.
“Tirta matunggang ini salah satu sumber airnya muncul dari bawah batu. Sedangkan sumber air lainnya lagi muncul dari atas batu, sehingga disebut matunggang. Tirta matunggang merupakan simbol perkawinan,” jelas Bendesa Pakraman Penarukan, I Nengah Reken, saat ditemui NusaBali di kawasan Patirtan Alas Metapa, Senin (28/1) lalu.
Mnurut Nengah Reken, berdasarkan kepercayaan yang diwarisi warga setempat secara turun temurun, calon pengatin pantang untuk melintas di jalur Patirtan Alas Metapa ini. Kendati jalur yang disebut Tukad Blubud tersebut jarak tempuhnya lebih singkat, namun calon pengantin beserta krama pengiringnya lebih memilih melalui jalur Desa Bangbang, Kecamatan Tembuku.
Jika pantangan tersebut dilanggar, calon pengatin bisa kena musibah, seperti terancam perceraian, bahkan meninggal. Nengah Reken menyebutkan, sudah pernah terjadi beberapa peristiwa sebelumnya, di mana calon pengantin nekat melewati areal Patirtan Alas Petapa. Akibatnya, umur pernikahan berlangsung singkat. “Ada yang cerai, bahkan ada juga yang meninggal. Kami tidak tahu persis sejarah pantangan ini. Yang jelas, tirta matunggal ada kaitannya dengan perkawinan,” beber Nengah Reken.
Kawasan Patirtan Alas Metapa juga dipercaya sebagai areal griya niskala, sehingga dijaga betul kesucianya. Karena keyakinan ini, kata Nengah Reken, krama dilarang membawa jenazah atau abu jenazah untuk upacara ngayut melalui jalur Tukad Blubud tersebut.
“Ketika akan dilaksanakan penguburan atau ngayut, maka warga harus melewati jalur alternatif berupa jalan setapak. Contohnya, warga Kebon yang notabene berada di bagian utara jika hendak ngayut, mereka mesti melewati jalan setapak tersebut,” katanya.
Menurut Nengah Reken, jika nekat membawa jenazah atau abu jenazah untuk nganyut melewati kawasan patirtan Alas Metapa, bisa terjadi musibah. Biasanya, ganjaran bagi mereka yang melanggar pantangan akan terungkap setelah dilakukan ritual nunas baos (minta petunjuk niskala melalui jero balian).
“Ketika nunas baos, diperoleh petunjuk bahwa arwah yang meninggal masih terikat karena melintas di kawasan Patirtan Alas Metapa,” papar Nengah Reken yang juga kader Golkar. Bagi yang melanggar pantangan, kata Nengah Reken, mereka dikenakan denda berupa banten yang dihaturkan pihak keluarha di areal Patirtan Alas Metapa, dengan dipimpin jro mangku.
Nengah Reken sendiri sempat membuktikan langsung kalau kawasan Patirtan Alas Metapa merupakan griya niskala. Ketika itu rahina Tilem, malam sekitar pukul 20.00 Wita, Nengah Reken bersama istrinya hendak pulang melalui jalur Tukad Blubud. Tiba-tiba, dia mendengar suara genta seperti sulinggih yang sedang muput upacara.
“Saat itu, saya bertanya dalam hari, di mana ada upacara, mengingat terdengar suara genta? Sepengetahuan saya, saat itu di wilayah kami tidak sedang berlangsung upacara apa pun. Saya akhirnya percaya itu suara genta dari griya niskala,” kenang Nengah Reken.
Paparan serupa juga diungkapkan Perbekel Peninjoan, Dewa Nyoman Tagel. Menurut Dewa Tagel, kawasan Patirtan Alas Metapa amat disucikan oleh krama setempat. Karena jalur Tukad Blubud pantang dilalui jenazah, maka pihak desa membuka jalan baru. Saat ini, sedang berlangsung pembuatan jalan yang menghubungkan Banjar Tampuagan menuju wilayah Dukuh---yang ditempati warga Karang Suung Kaja, Karang Suung Kelod, Penarukan, dan Tampuagan. Jalan yang sedang dibuat ini panjangnya mencapai 1,5 kilometer.
“Dibuatnya jalan tersebut untuk mempermudah akses masyarakat ketika membawa jenazah ke setra saat penguburan. Selama itu, jalur alternatif yang sudah ada sebelumnya hanya berupa jalan setepak. Jalan baru dibuat juga untuk memperlancar aktivitas warga, seperti membawa hasil pertanian,” jelas Dewa Tagel yang dikonfirmasi NusaBali secara terpisah.
Dewa Tagel menyebutkan, semula jalur alternatif berupa jalan setapak dari tanah lebarnya hanya sekitar 2 meter. Namun, jalan baru yang dibuat sekarang di lokasi yang sama, lebarnya ditambah menjadi 5 meter. Nantinya, jalan baru ini akan diaspal selebar 3 meter dan sisanya 2 meter lagi untuk saluran drainase.
Menurut Dewa Tagel, pembuatan jalan baru ini menggunakan dana yang bersumber dari program Gerbang Gita Santi (GGS) Pemkab Bangli senilai Rp 1 miliar. Pembukaan jalan dilaksanakan Kondim 1626/Bangli bersama warga dalam program Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD). “Saat ini, baru pra TMMD. Jika sudah dibuka, maka warga bersama TNI mengejerkannya bersama, di amana aparat desa ikut serta dalam pengawasan,” tandas Dewa Tagel. *es
Komentar