Perayaan Imlek di Nyolo Diikuti Cicit dan Buyut
Warga etnis Tionghoa di Buleleng bukan hanya merayakan Tahun Baru Imlek 2570 di klenteng, sebagai tempat peribadatan umum.
Kapiten Liem Liang An, Warga Etnis Tionghoa ‘Pioner’ di Buleleng
SINGARAJA, NusaBali
Ada juga juga yang merayakan Imlek di nyolo, yakni tempat peribadatan keluarga. Salah satunya, di Nyolo Kapiten Liem Liang An, Jalan Surapati Singaraja. Perayaan Imlek di Nyolo Kapiten Liem Liang An dilakukan oleh keturunan Kapiten Liem Liang An, warga etnis Tionghoa yang sudah tinggal di Buleleng sejak pertengahan 1800-an.
Nyolo Kapiten Liem Liang An ini berlokasi di Jalan Surapati Singaraja kawasan Kelurahan Penarukan, Kecamatan Buleleng. Pantauan NusaBali, nyolo ini tampak ramai dipenuhi para keturunan Kapiten Liem Liang An saat perayaan Tahun Baru Imlek 2570, Selasa kemarin. Mereka adalah bara cicit dan buyut dari mendiang Kapiten Liem Liang An. Bukan hanya lukisan yang dipajang di dekat altar keluarga yang sudah meninggal, tapi juga sejumlah barang peninggalan yang diduga berumur ratusan tahun dan asli dari China.
Menurut Liem Tjong Hin, 70, salah satu ketunuran generasi keempat dari Kapiten Liem Liang An, pihaknya tidak memiliki catatan apa pun terkait kakek buyutnya yang sudah menetap di Buleleng sekitar tahun 1800-an. Liem Tjong Hin yang merupakan anak tertua dari generasi keempat Kapten Liem Liang An, mengaku hanya mewarisi cerita-cerita dari almarhum ayahnya, Liem Sing King.
Meski demikian, di sebelah altar pemujaan leluhur keluarga, tampak sejumlah foto Kapiten Liem Liang An, yang menandakan sebagai orang penting. Pada masa itu, Kapitan Liem Liang An sudah berfoto menggunakan mobil berjeruji kayu. Apa pula foto bersama Sultan dari Indonesia Timur yang sempat datang ke Buleleng.
Di Nyolo Kapiten Liem Liang An ini, masih terawat dengan baik kayu berukiran menyerupai gambar singa, sama seperti lambang di depan dada jubah yang dikenakan pada lukisan Kapiten Liem Liang An. Ada juga tempat dupa berwarna silver mengkilap dengan tulisan China yang sampai sekarang belum ada orang yang mampu membacanya.
Menurut Liem Tjong Hin, keturuanan Kapiten Liem Liang An masih mewariskan sebuah tombak dan beberapa benda menyerupai parang, serta kotak perhiasan, cangkir kuno, dan rantang dari kayu perukuran besar. Seluruh benda peninggalan itu dirawat keturunan Kapiten Liem Liang An dengan baik.
“Yang masih tersisa dan kami rawat sebaik-baiknya hanya tinggal ini saja. Sebab, dulu leluhur kami pada masa kakek saya sempat diusir oleh Jepang, sehingga catatan-catatan apa pun tidak ada. Kami hanya tahu dari cerita orangtua, selebihnya kami tidak tahu banyak,” kata Liem Tjong Hin yang ditemui NusaBali di sela-sela perayaan Imlek di Nyolo Kapiten Liem Liang An, Selasa kemarin.
Liem Tjong Hin mengisahkan, Kapiten Liem Liang An adalah etnis Tionghoa yang mendapat gelar tetinggi Tionghoa di Asia Tenggara. Kapitan sempat membangun rumah di Jalan Surapati Singaraja, sebelah barat Stadion Mayor Metra, di lokasi yang sekarang menjadi SMPN 3 Singaraja. Semasa kecil, ayah dari Liem Tjong Him yakni Liem Sing King pernah tinggal di sana bersana kakeknya yang bergelar Kapiten Liem Bing Sun.
Penjajah Jepang kemudian mengusir Liem Bing Sun dan anak-anaknya dari rumah di sbelah barat Stadion Mayor Metra Singaraja ini. “Saat dikeluarkan dari rumah itu, menurut cerita bapak saya, kakek tidak bisa bawa apa-apa karena sudah dikuasi Jepang,” cerita Liem Tjong Hin.
Singkat cerita, keluarga keturunan Kapiten Liem Liang An kemudian membangun rumah dan tempat ibadah keluarga di Jalan Surapati Singaraja kawasan Kelurahan Penarukan, beberapa kilometer arah timur dari Stadion Mayor Metra. Di belakang rumah ibadah keluarga ini ada lima kuburan, termasuk kuburan mendiang Kapitan Liem Liang An, mendiang Kapitan Lien Bing Sun dan istrinya. Sedangkan istri dari Kapiten Liem Liang An, Sing Liong Hu, dimakamkan di Kuburan China Lingga, Kelurahan Banyuasri, Kecamatan Buleleng, yang kemudian dikenal sebagai Kuburan China tertua di Gumi Panji Sakti.
Menurut Liem Tjong Hin, mendiang Kapiten Liem Liang An memiliki dua putra, yakni Kapitan Liem Bing Sun dan Liem Bing Shiang. Hanya saja, Liem Bing Shiang tidak memiliki keturunan laki-laku, melainkan hanya anak perempuan bernama Liem Gwan Cu yang tinggal di kawasan Gondol, Desa Penyabangan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng.
Sedangkan Kapiten Liem Bing Sun memiliki anak lelaki bernama Liem Sing King, yang notabene ayah dari Liem Tjong Hin. Mendiang Liem Sing King dan istrinya, Kwee Swannio, ikut dimakamkan di kuburan belakang Nyolo Kapitan Liem Liang An.
Menurut Liem Tjong Hin, keturuan Kapitan Liem Liang An di Buleleng saat ini sudah mencapai generasi ketujuh. Pihak keluarga tidak melakukan ritual khusus terhadap Kapitan Liem Liang An, selain upacara penghormatan kepada leluhur yang memang wajib dilakukan. “Hanya penghormatan kepada leluhur. Benda-benda yang kami warisi, berusaha kami rawat dengan baik. Kemudian, apa kesukaan beliau ketika masih hiudp, kalau mampu dihaturkan itu saja saat perayaan Imlek,” papar Liem Tjong Hin. *k23
SINGARAJA, NusaBali
Ada juga juga yang merayakan Imlek di nyolo, yakni tempat peribadatan keluarga. Salah satunya, di Nyolo Kapiten Liem Liang An, Jalan Surapati Singaraja. Perayaan Imlek di Nyolo Kapiten Liem Liang An dilakukan oleh keturunan Kapiten Liem Liang An, warga etnis Tionghoa yang sudah tinggal di Buleleng sejak pertengahan 1800-an.
Nyolo Kapiten Liem Liang An ini berlokasi di Jalan Surapati Singaraja kawasan Kelurahan Penarukan, Kecamatan Buleleng. Pantauan NusaBali, nyolo ini tampak ramai dipenuhi para keturunan Kapiten Liem Liang An saat perayaan Tahun Baru Imlek 2570, Selasa kemarin. Mereka adalah bara cicit dan buyut dari mendiang Kapiten Liem Liang An. Bukan hanya lukisan yang dipajang di dekat altar keluarga yang sudah meninggal, tapi juga sejumlah barang peninggalan yang diduga berumur ratusan tahun dan asli dari China.
Menurut Liem Tjong Hin, 70, salah satu ketunuran generasi keempat dari Kapiten Liem Liang An, pihaknya tidak memiliki catatan apa pun terkait kakek buyutnya yang sudah menetap di Buleleng sekitar tahun 1800-an. Liem Tjong Hin yang merupakan anak tertua dari generasi keempat Kapten Liem Liang An, mengaku hanya mewarisi cerita-cerita dari almarhum ayahnya, Liem Sing King.
Meski demikian, di sebelah altar pemujaan leluhur keluarga, tampak sejumlah foto Kapiten Liem Liang An, yang menandakan sebagai orang penting. Pada masa itu, Kapitan Liem Liang An sudah berfoto menggunakan mobil berjeruji kayu. Apa pula foto bersama Sultan dari Indonesia Timur yang sempat datang ke Buleleng.
Di Nyolo Kapiten Liem Liang An ini, masih terawat dengan baik kayu berukiran menyerupai gambar singa, sama seperti lambang di depan dada jubah yang dikenakan pada lukisan Kapiten Liem Liang An. Ada juga tempat dupa berwarna silver mengkilap dengan tulisan China yang sampai sekarang belum ada orang yang mampu membacanya.
Menurut Liem Tjong Hin, keturuanan Kapiten Liem Liang An masih mewariskan sebuah tombak dan beberapa benda menyerupai parang, serta kotak perhiasan, cangkir kuno, dan rantang dari kayu perukuran besar. Seluruh benda peninggalan itu dirawat keturunan Kapiten Liem Liang An dengan baik.
“Yang masih tersisa dan kami rawat sebaik-baiknya hanya tinggal ini saja. Sebab, dulu leluhur kami pada masa kakek saya sempat diusir oleh Jepang, sehingga catatan-catatan apa pun tidak ada. Kami hanya tahu dari cerita orangtua, selebihnya kami tidak tahu banyak,” kata Liem Tjong Hin yang ditemui NusaBali di sela-sela perayaan Imlek di Nyolo Kapiten Liem Liang An, Selasa kemarin.
Liem Tjong Hin mengisahkan, Kapiten Liem Liang An adalah etnis Tionghoa yang mendapat gelar tetinggi Tionghoa di Asia Tenggara. Kapitan sempat membangun rumah di Jalan Surapati Singaraja, sebelah barat Stadion Mayor Metra, di lokasi yang sekarang menjadi SMPN 3 Singaraja. Semasa kecil, ayah dari Liem Tjong Him yakni Liem Sing King pernah tinggal di sana bersana kakeknya yang bergelar Kapiten Liem Bing Sun.
Penjajah Jepang kemudian mengusir Liem Bing Sun dan anak-anaknya dari rumah di sbelah barat Stadion Mayor Metra Singaraja ini. “Saat dikeluarkan dari rumah itu, menurut cerita bapak saya, kakek tidak bisa bawa apa-apa karena sudah dikuasi Jepang,” cerita Liem Tjong Hin.
Singkat cerita, keluarga keturunan Kapiten Liem Liang An kemudian membangun rumah dan tempat ibadah keluarga di Jalan Surapati Singaraja kawasan Kelurahan Penarukan, beberapa kilometer arah timur dari Stadion Mayor Metra. Di belakang rumah ibadah keluarga ini ada lima kuburan, termasuk kuburan mendiang Kapitan Liem Liang An, mendiang Kapitan Lien Bing Sun dan istrinya. Sedangkan istri dari Kapiten Liem Liang An, Sing Liong Hu, dimakamkan di Kuburan China Lingga, Kelurahan Banyuasri, Kecamatan Buleleng, yang kemudian dikenal sebagai Kuburan China tertua di Gumi Panji Sakti.
Menurut Liem Tjong Hin, mendiang Kapiten Liem Liang An memiliki dua putra, yakni Kapitan Liem Bing Sun dan Liem Bing Shiang. Hanya saja, Liem Bing Shiang tidak memiliki keturunan laki-laku, melainkan hanya anak perempuan bernama Liem Gwan Cu yang tinggal di kawasan Gondol, Desa Penyabangan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng.
Sedangkan Kapiten Liem Bing Sun memiliki anak lelaki bernama Liem Sing King, yang notabene ayah dari Liem Tjong Hin. Mendiang Liem Sing King dan istrinya, Kwee Swannio, ikut dimakamkan di kuburan belakang Nyolo Kapitan Liem Liang An.
Menurut Liem Tjong Hin, keturuan Kapitan Liem Liang An di Buleleng saat ini sudah mencapai generasi ketujuh. Pihak keluarga tidak melakukan ritual khusus terhadap Kapitan Liem Liang An, selain upacara penghormatan kepada leluhur yang memang wajib dilakukan. “Hanya penghormatan kepada leluhur. Benda-benda yang kami warisi, berusaha kami rawat dengan baik. Kemudian, apa kesukaan beliau ketika masih hiudp, kalau mampu dihaturkan itu saja saat perayaan Imlek,” papar Liem Tjong Hin. *k23
Komentar