Ritual Siat Api, Krama Desa Pakraman Duda Berperang dengan Senjata Prakpak
Krama Desa Pakraman Duda, Kecamatan Selat, Karangasem kembali menggelar ritual Siat Api pada Soma Kliwon Krulut, Senin (4/2) malam.
AMLAPURA, NusaBali
Ritual yang dilaksanakan di Jembatan Tukad Sangsang, tepat di perbatasan Desa Duda dan Desa Duda Timur, ini bermakna sebagai upaya memerangi beragam musih dalam diri.
Ritual Siat Api ini melibatkan krama adat dari dua desa dinas bertetangga, yakni Desa Duda dan Desa Duda Timur. Sebab, Desa Pakraman Duda menaungi kedua desa dinas tersebut. Maka, ritual Siat Api pun dilaksanakan di jembatan yang jadi perbatasan kedua desa, mulai petang pukul 18.10 Wita hingga malam pukul 19.30 Wita.
Sesuai namanya, Siat Api adalah berberang menggunakan senjata api. Dan, senjata api itu berupa nyala prakpak (obor dari daun kelapa kering yang dibakar). Krama yang terlibat dalam ritual Siat Api ini semuanya kaum lanang (laki-laki). Mereka tanpa menggunakan busana atas, tapi memakai kamben, saput, dan udeng. Semuanya menggunakan senjata berupa obor prakpak.
Ritual Siat Api malam itu dikoordinasikan langsung Bendesa Pakraman Duda, I Komang Sujana. Sedangkan krama dari Desa Duda Timur dikoordinasikan Perbekel I Gede Pawana, sementara krama dari Desa Duda di bawah kendali Perbekel I Gusti Agung Ngurah Putra.
Seluruh krama dari 27 banjar di Desa Pakraman Duda terbagi menjadi dua kelomok: barat dan timur. Kedua belah pihak disemangati dengan iringan tabuh baleganur, lalu mereka berhadap-hadapan dalam jarak 1 meter. Selanjutnya, mereka saling pukul dan saling lempar menggunakan prakpak menyala, hingga nyalanya padam.
Semua krama yang terlibat perang, rata-rata bagian punggung meninggalkan noda hitam, kena mangsi (arang dari prakpak).
Bendesa Pakraman Duda, I Komang Sujana, mengatakan ritual Siat Api dilaksanakan setelah seluruh krama tuntas menggelar upacara ngulah kala (menghalau bhuta kala) menggunakan prakpak dan simbuh dari daun sirih di sekeliling rumah masing-masing. Selanjutnya, prakpak yang masih menyala ditempatkan di depan rumah. Setelah diyakini seluruh unsur bhuta kala keluar dari pekarangan rumah, selanjutnya disomiakan (dinetralisasi) di perbatasan desa melalui ritual Siat Api.
Menurut Komang Sujana, ritual Siat Api ini baru empat kali digelar selama 56 tahun terakhir. Pertama kali digelar pada 1963. Sempat jeda selama 54 tahun, ritual ini akhirnya digelar untuk kedua kalinya para 2017. Itu dilanjut ritual ketiga tahun 2018 dan keempat pada 2019 ini. “Ke depan, ritual ini akan digelar rutin setahun sekali,” jelas Sujana.
Sujana menyebutkan, ritual Siat Api ini bermakna untuk memerangi segala musuh dalam diri atau yang menguasai Bhuana Alit, yakni Tri Mala (tiga kotoran jiwa), Catur Ma (empat kemabukan), Panca Wisaya (lima jenis racun), Panca Ma (madat, mabuk-mabukan, judi, dan madon), Sad Ripu (enam musuh dalam diri), Sad Atatayi (enam pembunuh), Sapta Timira (tujuh kegelapan), hingga Asta Duta (delapan pembunuh). *k16
Ritual yang dilaksanakan di Jembatan Tukad Sangsang, tepat di perbatasan Desa Duda dan Desa Duda Timur, ini bermakna sebagai upaya memerangi beragam musih dalam diri.
Ritual Siat Api ini melibatkan krama adat dari dua desa dinas bertetangga, yakni Desa Duda dan Desa Duda Timur. Sebab, Desa Pakraman Duda menaungi kedua desa dinas tersebut. Maka, ritual Siat Api pun dilaksanakan di jembatan yang jadi perbatasan kedua desa, mulai petang pukul 18.10 Wita hingga malam pukul 19.30 Wita.
Sesuai namanya, Siat Api adalah berberang menggunakan senjata api. Dan, senjata api itu berupa nyala prakpak (obor dari daun kelapa kering yang dibakar). Krama yang terlibat dalam ritual Siat Api ini semuanya kaum lanang (laki-laki). Mereka tanpa menggunakan busana atas, tapi memakai kamben, saput, dan udeng. Semuanya menggunakan senjata berupa obor prakpak.
Ritual Siat Api malam itu dikoordinasikan langsung Bendesa Pakraman Duda, I Komang Sujana. Sedangkan krama dari Desa Duda Timur dikoordinasikan Perbekel I Gede Pawana, sementara krama dari Desa Duda di bawah kendali Perbekel I Gusti Agung Ngurah Putra.
Seluruh krama dari 27 banjar di Desa Pakraman Duda terbagi menjadi dua kelomok: barat dan timur. Kedua belah pihak disemangati dengan iringan tabuh baleganur, lalu mereka berhadap-hadapan dalam jarak 1 meter. Selanjutnya, mereka saling pukul dan saling lempar menggunakan prakpak menyala, hingga nyalanya padam.
Semua krama yang terlibat perang, rata-rata bagian punggung meninggalkan noda hitam, kena mangsi (arang dari prakpak).
Bendesa Pakraman Duda, I Komang Sujana, mengatakan ritual Siat Api dilaksanakan setelah seluruh krama tuntas menggelar upacara ngulah kala (menghalau bhuta kala) menggunakan prakpak dan simbuh dari daun sirih di sekeliling rumah masing-masing. Selanjutnya, prakpak yang masih menyala ditempatkan di depan rumah. Setelah diyakini seluruh unsur bhuta kala keluar dari pekarangan rumah, selanjutnya disomiakan (dinetralisasi) di perbatasan desa melalui ritual Siat Api.
Menurut Komang Sujana, ritual Siat Api ini baru empat kali digelar selama 56 tahun terakhir. Pertama kali digelar pada 1963. Sempat jeda selama 54 tahun, ritual ini akhirnya digelar untuk kedua kalinya para 2017. Itu dilanjut ritual ketiga tahun 2018 dan keempat pada 2019 ini. “Ke depan, ritual ini akan digelar rutin setahun sekali,” jelas Sujana.
Sujana menyebutkan, ritual Siat Api ini bermakna untuk memerangi segala musuh dalam diri atau yang menguasai Bhuana Alit, yakni Tri Mala (tiga kotoran jiwa), Catur Ma (empat kemabukan), Panca Wisaya (lima jenis racun), Panca Ma (madat, mabuk-mabukan, judi, dan madon), Sad Ripu (enam musuh dalam diri), Sad Atatayi (enam pembunuh), Sapta Timira (tujuh kegelapan), hingga Asta Duta (delapan pembunuh). *k16
1
Komentar