Kartu Muspa di Pura Er Jeruk
INI kisah lama, tahun 2000 silam, terjadi ketika piodalan di Pura Luhur Uluwatu, Badung.
Tentang betapa sulit mengatur para pamedek yang berdesak-desak rebutan masuk ke pura untuk ngaturang bakti (muspa).
Alkisah, Mardika (berkemeja safari), dan kekasihnya, Astiti (berkebaya sutera dan kain endek), berdiri di depan gerbang Pura Luhur Uluwatu, antre berdesakan bersama ribuan pamedek hendak masuk ke jeroan hendak muspa. Setelah menunggu lebih setengah jam, sampai juga pasangan ini di depan pintu masuk. Dua orang pecalang berdiri di sisi kiri-kanan pintu mengatur arus pamedek.
Mardika berdiri persis di belakang Astiti, memegang pinggang pujaannya. Sekali-sekali Astiti menoleh ke belakang, beradu pandang dengan Mardika, tersenyum, seakan bimbang, jangan-jangan yang memegang pinggangnya laki-laki lain.
Tiba-tiba ada dorongan kuat dari belakang, Astiti nyaris tersungkur, kalau tidak Mardika mempererat pelukannya. “Alon-alon Pak, alon-alonnnn...,” teriak seorang pamedek wanita. “Aduhhh... aduuhhh... kaki saya terinjak,” jerit pamedek lain. Seorang bapak mengangkat anak lelakinya ke pundak, agar tidak terjepit desakan pamedek.
Ketika gerbang dibuka, para pamedek yang pegal berdiri itu menerobos masuk seperti air bah. Dorong-mendorong kian kencang karena pamedek yang usai mabakti hendak ke luar. Astiti melangkah pelan-pelan ke depan. “Ini perjuangan keras, As,” bisik Mardika di telinga pacarnya.
Tinggal selangkah lagi, Astiti akan melewati gerbang. Dan ia lolos masuk. Tapi Mardika tidak. “Stop... stop.... stop sekian, di jeroan sudah penuh,” teriak pecalang menghadang dengan badan dan merentangkan tangan.
Mardika melepas pegangan kekasihnya, Astiti menjerit. “Ayo Bli Mar... cepat masuk... Ayo...!” Tapi, Mardika dilarang masuk. Pecalang itu menutup pintu berjeruji besi itu. “Sabar Pak, di jeroan sudah penuh,” tegas pecalang. Mardika memelas, “Satu saja pak, pacar saya sudah terlanjur di dalam.”
Pecalang itu menggeleng kaku. “Tidak bisa.... tidak bisa.... Yang lain antre, bapak juga harus antre.”
Astiti menghampiri pecalang.”Mohon izinkan pacar saya masuk. Jangan pisahkan saya dengan pacar, Pak.” Wajah Astiti pucat, bibirnya yang disapu lipstik pink gemetar. Tapi pecalang itu tetap kukuh, tak mau membuka pintu. Mardika tetap tertahan di luar, Astiti di dalam. Mereka tatap pintu besi itu dengan galau.
“Sudah, kamu mabakti duluan, tunggu nanti aku di jabaan,” pinta Mardika pada Astiti.
Tapi, Astiti tak sudi. “Kalau begitu biar aku kembali ikut antre,” sahutnya. Matanya basah. Ia hampiri pecalang dengan langkah gontai, memohon agar dibukakan pintu untuk ke luar. Begitu pecalang membuka pintu, Astiti langsung menubruk dada Mardika, menggamit tangannya, membalikkan badan, dan kembali antre menghadap ke gerbang, persis di depan pintu.
Antrean pamedek ketika piodalan atau karya di pura sad kahyangan, pura kahyangan jagat atau pura kawitan, memang harus diurus dengan baik, karena pamedek datang berduyun-duyun, semua tak sabar ingin masuk duluan. Panitia Karya Pura Er Jeruk di Sukawati yang melangsungkan karya padudusan agung, segara kertih, tawur balik sumpah agung, dan mupuk pedagingan, Januari–Februari ini misalnya, mengatur pamedek dengan memberikan kartu muspa. Setiap pamedek yang hendak masuk ke jeroan, sebelum muspa, dipersilakan mengambil kartu muspa di meja khusus yang disediakan Panitia. Kartu diserahkan pamedek kepada pecalang di pintu masuk. Seperti nonton bioskop atau konser. Kalau di bioskop karcis disobek, kalau kartu muspa dipakai untuk pengantre shift selanjutnya.
Panitia menyediakan 250 kartu untuk setiap gelombang. Jumlah ini sesuai dengan daya tampung di jeroan. Kartu muspa seukuran dua kali kartu nama itu tersedia dalam lima warna: putih, biru, merah, kuning, dan hijau, dilaminating, digunakan berulang oleh Panitia. Tiap warna 250 kartu sesuai jumlah satu shift antrean. Jika warna biru sudah habis, misalnya, pamedek berikutnya akan menerima kartu warna lain, bisa jadi kuning. Setelah pemegang kartu biru ke luar, usai muspa, baru pemegang kartu kuning dipersilakan masuk. Begitu seterusnya dari satu warna kartu ke warna lain silih berganti. Panitia yang bertugas bergerak aktif, menyambut pamedek yang baru datang berduyun-duyun, dan langsung menyodorkan kartu muspa, agar mereka segera siap antre dengan tertib.
“Penggunaan kartu muspa, selain agar pamedek tidak berdesak-desak masuk, juga untuk menyesuaikan dengan daya tampung pura,” jelas Nyoman Arjana, pengayah yang bertugas di meja kartu muspa. Tentu hal seperti ini bagus dilakukan pura yang dikunjungi ribuan pamedek. Satu pamedek harus memegang satu kartu. Jika mereka datang berombongan, satu keluarga misalnya, masing-masing wajib memegang satu kartu muspa. Kalau mereka datang berpasangan, bersama pacar, seperti Mardika dan Astiti itu, harus memegang masing-masing kartu dengan wana sama. Jika warna kartu mereka beda, mereka dilarang masuk bersamaan.
Sistem penggunaan kartu muspa ini sederhana, namun manfaatnya sangat besar, agar pamedek sudi antre tertib, tidak berdesak-desak. Pelataran untuk muspa pun tidak sesak berjejal, karena diatur sesuai daya dukungnya. Semua akan berjalan lancar. Orang Bali menyebutnya dengan mamargi antar. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Alkisah, Mardika (berkemeja safari), dan kekasihnya, Astiti (berkebaya sutera dan kain endek), berdiri di depan gerbang Pura Luhur Uluwatu, antre berdesakan bersama ribuan pamedek hendak masuk ke jeroan hendak muspa. Setelah menunggu lebih setengah jam, sampai juga pasangan ini di depan pintu masuk. Dua orang pecalang berdiri di sisi kiri-kanan pintu mengatur arus pamedek.
Mardika berdiri persis di belakang Astiti, memegang pinggang pujaannya. Sekali-sekali Astiti menoleh ke belakang, beradu pandang dengan Mardika, tersenyum, seakan bimbang, jangan-jangan yang memegang pinggangnya laki-laki lain.
Tiba-tiba ada dorongan kuat dari belakang, Astiti nyaris tersungkur, kalau tidak Mardika mempererat pelukannya. “Alon-alon Pak, alon-alonnnn...,” teriak seorang pamedek wanita. “Aduhhh... aduuhhh... kaki saya terinjak,” jerit pamedek lain. Seorang bapak mengangkat anak lelakinya ke pundak, agar tidak terjepit desakan pamedek.
Ketika gerbang dibuka, para pamedek yang pegal berdiri itu menerobos masuk seperti air bah. Dorong-mendorong kian kencang karena pamedek yang usai mabakti hendak ke luar. Astiti melangkah pelan-pelan ke depan. “Ini perjuangan keras, As,” bisik Mardika di telinga pacarnya.
Tinggal selangkah lagi, Astiti akan melewati gerbang. Dan ia lolos masuk. Tapi Mardika tidak. “Stop... stop.... stop sekian, di jeroan sudah penuh,” teriak pecalang menghadang dengan badan dan merentangkan tangan.
Mardika melepas pegangan kekasihnya, Astiti menjerit. “Ayo Bli Mar... cepat masuk... Ayo...!” Tapi, Mardika dilarang masuk. Pecalang itu menutup pintu berjeruji besi itu. “Sabar Pak, di jeroan sudah penuh,” tegas pecalang. Mardika memelas, “Satu saja pak, pacar saya sudah terlanjur di dalam.”
Pecalang itu menggeleng kaku. “Tidak bisa.... tidak bisa.... Yang lain antre, bapak juga harus antre.”
Astiti menghampiri pecalang.”Mohon izinkan pacar saya masuk. Jangan pisahkan saya dengan pacar, Pak.” Wajah Astiti pucat, bibirnya yang disapu lipstik pink gemetar. Tapi pecalang itu tetap kukuh, tak mau membuka pintu. Mardika tetap tertahan di luar, Astiti di dalam. Mereka tatap pintu besi itu dengan galau.
“Sudah, kamu mabakti duluan, tunggu nanti aku di jabaan,” pinta Mardika pada Astiti.
Tapi, Astiti tak sudi. “Kalau begitu biar aku kembali ikut antre,” sahutnya. Matanya basah. Ia hampiri pecalang dengan langkah gontai, memohon agar dibukakan pintu untuk ke luar. Begitu pecalang membuka pintu, Astiti langsung menubruk dada Mardika, menggamit tangannya, membalikkan badan, dan kembali antre menghadap ke gerbang, persis di depan pintu.
Antrean pamedek ketika piodalan atau karya di pura sad kahyangan, pura kahyangan jagat atau pura kawitan, memang harus diurus dengan baik, karena pamedek datang berduyun-duyun, semua tak sabar ingin masuk duluan. Panitia Karya Pura Er Jeruk di Sukawati yang melangsungkan karya padudusan agung, segara kertih, tawur balik sumpah agung, dan mupuk pedagingan, Januari–Februari ini misalnya, mengatur pamedek dengan memberikan kartu muspa. Setiap pamedek yang hendak masuk ke jeroan, sebelum muspa, dipersilakan mengambil kartu muspa di meja khusus yang disediakan Panitia. Kartu diserahkan pamedek kepada pecalang di pintu masuk. Seperti nonton bioskop atau konser. Kalau di bioskop karcis disobek, kalau kartu muspa dipakai untuk pengantre shift selanjutnya.
Panitia menyediakan 250 kartu untuk setiap gelombang. Jumlah ini sesuai dengan daya tampung di jeroan. Kartu muspa seukuran dua kali kartu nama itu tersedia dalam lima warna: putih, biru, merah, kuning, dan hijau, dilaminating, digunakan berulang oleh Panitia. Tiap warna 250 kartu sesuai jumlah satu shift antrean. Jika warna biru sudah habis, misalnya, pamedek berikutnya akan menerima kartu warna lain, bisa jadi kuning. Setelah pemegang kartu biru ke luar, usai muspa, baru pemegang kartu kuning dipersilakan masuk. Begitu seterusnya dari satu warna kartu ke warna lain silih berganti. Panitia yang bertugas bergerak aktif, menyambut pamedek yang baru datang berduyun-duyun, dan langsung menyodorkan kartu muspa, agar mereka segera siap antre dengan tertib.
“Penggunaan kartu muspa, selain agar pamedek tidak berdesak-desak masuk, juga untuk menyesuaikan dengan daya tampung pura,” jelas Nyoman Arjana, pengayah yang bertugas di meja kartu muspa. Tentu hal seperti ini bagus dilakukan pura yang dikunjungi ribuan pamedek. Satu pamedek harus memegang satu kartu. Jika mereka datang berombongan, satu keluarga misalnya, masing-masing wajib memegang satu kartu muspa. Kalau mereka datang berpasangan, bersama pacar, seperti Mardika dan Astiti itu, harus memegang masing-masing kartu dengan wana sama. Jika warna kartu mereka beda, mereka dilarang masuk bersamaan.
Sistem penggunaan kartu muspa ini sederhana, namun manfaatnya sangat besar, agar pamedek sudi antre tertib, tidak berdesak-desak. Pelataran untuk muspa pun tidak sesak berjejal, karena diatur sesuai daya dukungnya. Semua akan berjalan lancar. Orang Bali menyebutnya dengan mamargi antar. *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar