MUDP Dukung Pelarangan Pemakaian Sound System saat Pengarakan Ogoh-ogoh
Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali mendukung adanya kesepakatan bersama MMDP Kota Denpasar dengan Sabha Upadesa yang memutuskan untuk melarang penggunaan sound system sebagai alat pendukung saat mengarak Ogoh-ogoh.
DENPASAR, NusaBali
Ketua MUDP Provinsi Bali, Jero Gede Suwena Putus Upadesha, Senin (11/2) menjelaskan, berkaitan dengan pelarangan pemakaian sound system saat pengarakan Ogoh-ogoh pihaknya mengembalikan kewenangan pada masing-masing wilayah di Bali. Jika memang ada pelarangan seperti Kota Denpasar, itu dikatakan bagus untuk mempertahankan seni, tradisi dan budaya yang selama ini sudah diwariskan oleh leluhur di Bali.
Namun pihaknya tidak akan mencampuri urusan tersebut, karena kewenangan sepenuhnya ada pada masing-masing kabupaten/kota terkait dengan teknis dan tata cara saat hari raya pangerupukan apalagi sudah ada kesepakatan bersama. “Tentu itu ada kajiannya, dan kami tidak akan mencampuri kesepakatan bersama pelarangan sound system yang dilaksanakan di Kota Denpasar, karena permasalahan setiap kabupaten/kota kan berbeda,” jelasnya.
Dikatakannya, pelarangan penggunaan sound system di Kota Denpasar sudah melalui pertimbangan banyak pihak. Keputusan tersebut dilaksanakan dengan melihat pengalaman dan kejadian tahin-tahun sebelumnya, dimana ketika diberikan kelonggaran justru penggunaan sound system malah disalahgunakan dengan membunyikan musik yang tidak sesuai dengan situasi. “Mungkin tahun sebelumnya ketika diberikan kelonggaran justru banyak yang masih menghidupkan house musik, dan mungkin juga ini yang menjadi alasan pelarangannya,” ujarnya.
Sementara, Kadis Kebudayaa Kota Denpasar, IGN Bagus Mataram mengatakan bahwa pemberian kelonggaran penggunaan sound system saat pengerupukan sudah pernah dilakukan. Dimana setiap sekaa ogoh-ogoh bisa menggunakan sound system dengan hanya membunyikan musik baleganjur dan gambelan.
Namun, dalam pelaksanaannya beberapa kelompok pemuda justru mengganti musik gong dengan musik modern yakni house musik. “Dulu memang pernah seperti itu, dan sebagai evaluasi kami sepakati untuk melarang penggunaan sound system di Kota Denpasar,” ujarnya.
Pihaknya juga menekankan, pengunaan sound system selain tidak tepat secara sastra dan keliru dari sisi logika, juga mengaburkan kebudayaan Bali. Dimana dengan adanya suara sound yang begitu kerasnya justu membuat suara baleganjur tidak terdengar. “Semoga masyarakat dapat mendukung dan memahami, bagaimana pengerupukan itu wajib dimaknai sebagai hari suci yang sakral dengan menggunakan alat-alat yang sesuai dengan tattwa agama,” katanya. *mi
Namun pihaknya tidak akan mencampuri urusan tersebut, karena kewenangan sepenuhnya ada pada masing-masing kabupaten/kota terkait dengan teknis dan tata cara saat hari raya pangerupukan apalagi sudah ada kesepakatan bersama. “Tentu itu ada kajiannya, dan kami tidak akan mencampuri kesepakatan bersama pelarangan sound system yang dilaksanakan di Kota Denpasar, karena permasalahan setiap kabupaten/kota kan berbeda,” jelasnya.
Dikatakannya, pelarangan penggunaan sound system di Kota Denpasar sudah melalui pertimbangan banyak pihak. Keputusan tersebut dilaksanakan dengan melihat pengalaman dan kejadian tahin-tahun sebelumnya, dimana ketika diberikan kelonggaran justru penggunaan sound system malah disalahgunakan dengan membunyikan musik yang tidak sesuai dengan situasi. “Mungkin tahun sebelumnya ketika diberikan kelonggaran justru banyak yang masih menghidupkan house musik, dan mungkin juga ini yang menjadi alasan pelarangannya,” ujarnya.
Sementara, Kadis Kebudayaa Kota Denpasar, IGN Bagus Mataram mengatakan bahwa pemberian kelonggaran penggunaan sound system saat pengerupukan sudah pernah dilakukan. Dimana setiap sekaa ogoh-ogoh bisa menggunakan sound system dengan hanya membunyikan musik baleganjur dan gambelan.
Namun, dalam pelaksanaannya beberapa kelompok pemuda justru mengganti musik gong dengan musik modern yakni house musik. “Dulu memang pernah seperti itu, dan sebagai evaluasi kami sepakati untuk melarang penggunaan sound system di Kota Denpasar,” ujarnya.
Pihaknya juga menekankan, pengunaan sound system selain tidak tepat secara sastra dan keliru dari sisi logika, juga mengaburkan kebudayaan Bali. Dimana dengan adanya suara sound yang begitu kerasnya justu membuat suara baleganjur tidak terdengar. “Semoga masyarakat dapat mendukung dan memahami, bagaimana pengerupukan itu wajib dimaknai sebagai hari suci yang sakral dengan menggunakan alat-alat yang sesuai dengan tattwa agama,” katanya. *mi
Komentar