MUTIARA WEDA : Yang Manakah Yadnya Utama?
Karena makanan makhluk bisa hidup, karena hujan makanan bisa dihasilkan, karena yadnya hujan turun dan yadnya lahir oleh karena kerja.
Annād bhavanti bhutāni parjanyād annasambhavah,
Yajnād bhavati parjanyo yajnah karma samudbhavah.
(Bhagavad-gita III: 14)
KITA harus sepakat bahwa apa yang disampaikan oleh kitab suci memiliki kebenaran mutlak. Apa yang disampaikan oleh teks di atas adalah sebuah kebenaran yang tidak boleh diragukan sedikit pun. Itulah mengapa Adi Shankaracharya menekankan bahwa kitab suci adalah rujukan tertinggi untuk menentukan kebenaran. Pratyaksa pramana bisa saja salah karena alat pengamatan kita terbatas. Demikian juga anumana pramana bisa keliru karena kecerdasan kita mengurai sebuah masalah sering meleset. Tetapi, agama pramana tidak pernah meleset sedikit pun oleh karena itu adalah sruti, sabda yang langsung disampaikan oleh kebenaran itu sendiri.
Namun, di dalam proses menemukan kebenaran tersebut, Hindu memberikan ruang untuk mendiskusikannya secara luas, sebab kebenaran tidak hanya sebatas untuk dipercayai, tetapi mesti ditemukan. Sehingga, tidak masalah jika teks itu dipertanyakan kebenarannya, tetapi bukan dalam rangka mempertanyakan kontennya, melainkan terhadap pemahaman kita atas kebenaran itu. Mempertanyakan, meragukan atau yang sejenisnya adalah sebuah upaya untuk menolong kecerdasan kita dalam meneliti sehingga sampai pada kebenaran itu. Dengan demikian, kita boleh mempertanyakan bagaimana kebenaran tersebut bisa dijelaskan dan dirumuskan, sehingga perjalanan ke arah kebenaran itu terus berlangsung.
Seperti halnya teks di atas, ada empat kebenaran yang disampaikan. Pertama, semua makhluk bisa hidup oleh karena makanan. Kedua, makanan menjadi ada oleh karena ada hujan. Ketiga, hujan turun oleh karena upacara yadnya. Keempat, yadnya bisa berjalan oleh karena ada aktivitas/kerja. Dari keempat hal yang disampaikan tersebut, tiga di antaranya langsung bisa diterima oleh akal sehat, oleh karena kesehariannya bisa dilihat dan dirasakan. Kebenaran ketiga sepertinya memerlukan penjelasan yang lebih panjang sebelum akhirnya pernyataan tersebut menjadi sebuah kesimpulan. Pertanyaannya, apa hubungan antara yadnya dengan hujan? Masalah ‘yadnya’ inilah yang memberikan ruang debat. Apakah yadnya yang dimaksudkan adalah ritual keagamaan yang biasanya umat Hindu laksanakan dengan sarana bebantenannya tersebut? Apa hubungan yadnya tersebut dengan hujan?
Jika memang benar demikian adanya, apakah kemudian hanya di wilayah tempat dilangsungkannya yadnya itu saja terjadi hujan? Oleh karena kitab suci mengatakannya demikian, itu dipastikan mengandung kebenaran yang tidak bisa dibantah. Tetapi, jika kemudian, rasanya, ‘yadnya’ yang dimaksudkan tidak saja hanya ritual keagamaan itu saja. Mengapa? Karena susah dicari pembenarannya. Mengapa susah? Banyak di belahan dunia lain yang tidak melaksanakan yadnya itu juga tetap mendapat hujan. Jika evident tidak bisa membuktikannya, tentu pernyataan itu mesti diragukan kebenarannya. Tetapi, oleh karena pernyataan tersebut mengandung kebenaran mutlak, maka celah yang masih bisa ditemukan untuk mendiskusikannya adalah masalah ‘makna’ dari ‘yadnya’ itu.
Jika toh ada di belahan dunia yang tidak melakukan ritual seperti itu, ternyata hujannya juga tetap datang, maka yadnya yang dimaksudkan bukan sekadar ritual itu. Ada makna yang lebih luas dan mungkin lebih signifikan. Maknanya mungkin bisa ditemukan dalam kronologinya. Mari kita lihat pernyataan keempat di atas, ‘yadnya bisa dilangsungkan oleh karena karma’. Karma artinya sebuah aktivitas. Alam tidak pernah terlepas dari aktivitas. Tidak sedetik pun alam semesta ini berhenti untuk bekerja. Setiap saat dunia ini bertindak/bekerja. Di dalam tindakan tersebut ada berbagai kejadian yang didedikasikan untuk karma atau tindakan itu sendiri. Dedikasi di dalam proses tindakan terhadap tindakan itu sendirilah harus diterjemahkan sebagai ‘yadnya’. Oleh karena ada hujan, tentu ada tindakan yang mendahuluinya, yakni siklus musim. Siklus inilah yadnya. Maka dari itu, agar hujan turun tepat pada waktunya, yang diperlukan adalah menjaga agar siklus musim tersebut tetap stabil. Proses bagaimana agar siklus musim tersebut tetap terjaga inilah yang harus dimaknai sebagai yadnya. Dengan yadnya ini, tentu hujan akan turun tepat waktu. Jika ada hujan, maka tumbuhan akan tetap bisa tumbuh. Jika tumbuhan tumbuh, makanan tersedia, dan konsekuensinya makhluk akan tetap bisa hidup. Jika hal itu bisa berjalan, maka inilah yadnya utama. *
I Gede Suwantana
(Bhagavad-gita III: 14)
KITA harus sepakat bahwa apa yang disampaikan oleh kitab suci memiliki kebenaran mutlak. Apa yang disampaikan oleh teks di atas adalah sebuah kebenaran yang tidak boleh diragukan sedikit pun. Itulah mengapa Adi Shankaracharya menekankan bahwa kitab suci adalah rujukan tertinggi untuk menentukan kebenaran. Pratyaksa pramana bisa saja salah karena alat pengamatan kita terbatas. Demikian juga anumana pramana bisa keliru karena kecerdasan kita mengurai sebuah masalah sering meleset. Tetapi, agama pramana tidak pernah meleset sedikit pun oleh karena itu adalah sruti, sabda yang langsung disampaikan oleh kebenaran itu sendiri.
Namun, di dalam proses menemukan kebenaran tersebut, Hindu memberikan ruang untuk mendiskusikannya secara luas, sebab kebenaran tidak hanya sebatas untuk dipercayai, tetapi mesti ditemukan. Sehingga, tidak masalah jika teks itu dipertanyakan kebenarannya, tetapi bukan dalam rangka mempertanyakan kontennya, melainkan terhadap pemahaman kita atas kebenaran itu. Mempertanyakan, meragukan atau yang sejenisnya adalah sebuah upaya untuk menolong kecerdasan kita dalam meneliti sehingga sampai pada kebenaran itu. Dengan demikian, kita boleh mempertanyakan bagaimana kebenaran tersebut bisa dijelaskan dan dirumuskan, sehingga perjalanan ke arah kebenaran itu terus berlangsung.
Seperti halnya teks di atas, ada empat kebenaran yang disampaikan. Pertama, semua makhluk bisa hidup oleh karena makanan. Kedua, makanan menjadi ada oleh karena ada hujan. Ketiga, hujan turun oleh karena upacara yadnya. Keempat, yadnya bisa berjalan oleh karena ada aktivitas/kerja. Dari keempat hal yang disampaikan tersebut, tiga di antaranya langsung bisa diterima oleh akal sehat, oleh karena kesehariannya bisa dilihat dan dirasakan. Kebenaran ketiga sepertinya memerlukan penjelasan yang lebih panjang sebelum akhirnya pernyataan tersebut menjadi sebuah kesimpulan. Pertanyaannya, apa hubungan antara yadnya dengan hujan? Masalah ‘yadnya’ inilah yang memberikan ruang debat. Apakah yadnya yang dimaksudkan adalah ritual keagamaan yang biasanya umat Hindu laksanakan dengan sarana bebantenannya tersebut? Apa hubungan yadnya tersebut dengan hujan?
Jika memang benar demikian adanya, apakah kemudian hanya di wilayah tempat dilangsungkannya yadnya itu saja terjadi hujan? Oleh karena kitab suci mengatakannya demikian, itu dipastikan mengandung kebenaran yang tidak bisa dibantah. Tetapi, jika kemudian, rasanya, ‘yadnya’ yang dimaksudkan tidak saja hanya ritual keagamaan itu saja. Mengapa? Karena susah dicari pembenarannya. Mengapa susah? Banyak di belahan dunia lain yang tidak melaksanakan yadnya itu juga tetap mendapat hujan. Jika evident tidak bisa membuktikannya, tentu pernyataan itu mesti diragukan kebenarannya. Tetapi, oleh karena pernyataan tersebut mengandung kebenaran mutlak, maka celah yang masih bisa ditemukan untuk mendiskusikannya adalah masalah ‘makna’ dari ‘yadnya’ itu.
Jika toh ada di belahan dunia yang tidak melakukan ritual seperti itu, ternyata hujannya juga tetap datang, maka yadnya yang dimaksudkan bukan sekadar ritual itu. Ada makna yang lebih luas dan mungkin lebih signifikan. Maknanya mungkin bisa ditemukan dalam kronologinya. Mari kita lihat pernyataan keempat di atas, ‘yadnya bisa dilangsungkan oleh karena karma’. Karma artinya sebuah aktivitas. Alam tidak pernah terlepas dari aktivitas. Tidak sedetik pun alam semesta ini berhenti untuk bekerja. Setiap saat dunia ini bertindak/bekerja. Di dalam tindakan tersebut ada berbagai kejadian yang didedikasikan untuk karma atau tindakan itu sendiri. Dedikasi di dalam proses tindakan terhadap tindakan itu sendirilah harus diterjemahkan sebagai ‘yadnya’. Oleh karena ada hujan, tentu ada tindakan yang mendahuluinya, yakni siklus musim. Siklus inilah yadnya. Maka dari itu, agar hujan turun tepat pada waktunya, yang diperlukan adalah menjaga agar siklus musim tersebut tetap stabil. Proses bagaimana agar siklus musim tersebut tetap terjaga inilah yang harus dimaknai sebagai yadnya. Dengan yadnya ini, tentu hujan akan turun tepat waktu. Jika ada hujan, maka tumbuhan akan tetap bisa tumbuh. Jika tumbuhan tumbuh, makanan tersedia, dan konsekuensinya makhluk akan tetap bisa hidup. Jika hal itu bisa berjalan, maka inilah yadnya utama. *
I Gede Suwantana
1
Komentar