Temukan Lontar Berusia 241 Tahun
Made Kajeng, 47, selaku pemilik lontar mengaku lontar itu didapat turun temurun dari leluhurnya.
Digitalisasi 50 Lebih Manuskrip Kuno
DENPASAR, NusaBali
Untuk menyelamatkan manuskrip kuno Bali dari kepunahan, sebuah program digitalisasi naskah dilakukan oleh Dreamsea, sebuah program digitalisasi naskah-naskah kuno se-Asia Tenggara di bawah naungan Centre for the Study of Manuscript Cultures (CSMC) Universitas Hamburg, Jerman dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kegiatan yang dilakukan selama 5 hari sejak Senin (11/2) hingga Jumat (15/2) tersebut mengambil tempat di salah satu rumah di kawasan Banjar Alangkajeng, Jalan Hasanuddin, Pemecutan, Denpasar, yang juga merupakan rumah pemilik lontar kuno. Ada lebih dari 50 manuskrip yang didigitalisasi dengan melalui beberapa proses terlebih dulu, seperti pembersihan, pemotretan, serta pendeskripsian ulang dengan diketik. Yang mengejutkan adalah, ditemukan lontar berumur 241 tahun.
“Jadi, program ini merupakan program pertama di tahun kedua. Ini merupakan proyek jangka panjang selama 5 tahun sejak 2018 hingga 2023. Kami punya misi untuk menyelamatkan naskah-naskah yang dalam kondisi rentan, baik secara fisik menuju kehancuran,” jelas Aditya Gunawan, 36, selaku Ketua Tim Program Digitalisasi Naskah se-Asia Tenggara (Dreamsea) saat ditemui NusaBali di lokasi, Rabu (13/2).
Dreamsea memang memprioritaskan koleksi perorangan untuk didigitalisasikan karena banyak masyarakat yang kurang paham tentang cara melestarikan naskah. Dikhawatirkan naskah akan semakin rusak karena minim perawatan. Setelah program berjalan, masyarakat diharapkan mulai sadar untuk merawat fisik lontar.
“Sudah tersalin sebanyak 27 manuskrip, hipotesis kita itu masih ada 23 lagi, tapi itu kemungkinan bertambah. Saya tidak yakin itu 50. Itu untuk naskah, tapi untuk teksnya jauh lebih banyak dan lebih dari 2.000 foto atau halaman,” tambah pria yang konsen di bidang Filologi tersebut.
Dalam proses digitalisasi ini, ternyata ditemukan sebuah naskah berjudul Arjuna Wiwaha, disalin oleh Ida Pedanda Ketut Paketan, Sulinggih asal Klungkung, yang memiliki tahun masehi 1778, yang artinya berumur 241 tahun. “Selama tiang hidup dalam dunia pernaskahan, ini salah satu naskah tertua yang pernah kita jumpai dengan kondisi yang 90 persen bagus dan sangat tua, tahun masehinya 1778 yakni naskah Arjuna Wiwaha. Tertua kedua, naskah Sang Hyang Aji Saraswati jenis tutur dengan usia 100 tahun lebih, tahun pembuatan 1908,” sambung Bayu Gita, 33, selaku Aliansi Masyarakat Peduli Bahasa Bali (local expert).
Menurut penuturan Bayu, ini merupakan salah satu pemilik naskah yang terbuka karena tidak semua pemilik mau naskahnya didigitalisasi. “Yang ditawari banyak, yang menolak juga banyak karena sudah ke berbagai kabupaten melakukan pendataan lontar sejak 2 tahun lalu, dan Dinas Kebudayaan Denpasar ternyata sangat responsif terhadap kegiatan seperti ini. Makanya, tiang prioritaskan Denpasar sebagai pilot project untuk Bali,” tutur pria yang juga Dosen Bahasa Bali di Universitas Udayana itu.
Sementara, Made Kajeng, 47, selaku pemilik lontar mengaku lontar itu didapat turun temurun dari leluhurnya. Selain dirinya, ada 3 orang keluarga lainnya yang dimandatkan untuk menjaga lontar-lontar tersebut. Namun, karena ia dan keluarganya yang lain tidak terlalu mengerti cara merawat lontar, jadilah lontar tersebut hanya disimpan seadanya.
“Kalau tiang, satu karena tiang pingin tahu isi tentang lontar itu. Jadi, tiang sendiri satu keluarga niki kurang paham tentang baca sastra Bali. Kemudian, cara merawat lontar supaya awet dan teknik penyimpanannya, informasi itu yang tiang cari dari mereka,” ungkap pria yang juga menyimpan beberapa keris dan tombak warisan leluhurnya.
Selain dari pihak Dreamsea, proses digitalisasi naskah kuno yang telah mendigitalisasi 29 naskah di 29 daerah di Indonesia ini juga dibantu beberapa komunitas juga instansi, di antaranya, Aliansi Masyarakat Peduli Bahasa Bali, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manasa), Penyuluh Bahasa Bali, Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, Perpusnas, perwakilan UPI Bandung, dan Universitas Andalas.
Nantinya, naskah-naskah yang telah didigitalkan bisa segera dinikmati hasilnya oleh masyarakat Bali bahkan dunia, terutama generasi muda, dan para peneliti. Diharapkan juga untuk para pemilik akan muncul kesadaran tentang naskah kuno dan tata cara perawatannya. Pemerintah Bali diharapkan bisa terbantu untuk melestarikan naskah-naskah kuno agar tidak punah. *cr41
DENPASAR, NusaBali
Untuk menyelamatkan manuskrip kuno Bali dari kepunahan, sebuah program digitalisasi naskah dilakukan oleh Dreamsea, sebuah program digitalisasi naskah-naskah kuno se-Asia Tenggara di bawah naungan Centre for the Study of Manuscript Cultures (CSMC) Universitas Hamburg, Jerman dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kegiatan yang dilakukan selama 5 hari sejak Senin (11/2) hingga Jumat (15/2) tersebut mengambil tempat di salah satu rumah di kawasan Banjar Alangkajeng, Jalan Hasanuddin, Pemecutan, Denpasar, yang juga merupakan rumah pemilik lontar kuno. Ada lebih dari 50 manuskrip yang didigitalisasi dengan melalui beberapa proses terlebih dulu, seperti pembersihan, pemotretan, serta pendeskripsian ulang dengan diketik. Yang mengejutkan adalah, ditemukan lontar berumur 241 tahun.
“Jadi, program ini merupakan program pertama di tahun kedua. Ini merupakan proyek jangka panjang selama 5 tahun sejak 2018 hingga 2023. Kami punya misi untuk menyelamatkan naskah-naskah yang dalam kondisi rentan, baik secara fisik menuju kehancuran,” jelas Aditya Gunawan, 36, selaku Ketua Tim Program Digitalisasi Naskah se-Asia Tenggara (Dreamsea) saat ditemui NusaBali di lokasi, Rabu (13/2).
Dreamsea memang memprioritaskan koleksi perorangan untuk didigitalisasikan karena banyak masyarakat yang kurang paham tentang cara melestarikan naskah. Dikhawatirkan naskah akan semakin rusak karena minim perawatan. Setelah program berjalan, masyarakat diharapkan mulai sadar untuk merawat fisik lontar.
“Sudah tersalin sebanyak 27 manuskrip, hipotesis kita itu masih ada 23 lagi, tapi itu kemungkinan bertambah. Saya tidak yakin itu 50. Itu untuk naskah, tapi untuk teksnya jauh lebih banyak dan lebih dari 2.000 foto atau halaman,” tambah pria yang konsen di bidang Filologi tersebut.
Dalam proses digitalisasi ini, ternyata ditemukan sebuah naskah berjudul Arjuna Wiwaha, disalin oleh Ida Pedanda Ketut Paketan, Sulinggih asal Klungkung, yang memiliki tahun masehi 1778, yang artinya berumur 241 tahun. “Selama tiang hidup dalam dunia pernaskahan, ini salah satu naskah tertua yang pernah kita jumpai dengan kondisi yang 90 persen bagus dan sangat tua, tahun masehinya 1778 yakni naskah Arjuna Wiwaha. Tertua kedua, naskah Sang Hyang Aji Saraswati jenis tutur dengan usia 100 tahun lebih, tahun pembuatan 1908,” sambung Bayu Gita, 33, selaku Aliansi Masyarakat Peduli Bahasa Bali (local expert).
Menurut penuturan Bayu, ini merupakan salah satu pemilik naskah yang terbuka karena tidak semua pemilik mau naskahnya didigitalisasi. “Yang ditawari banyak, yang menolak juga banyak karena sudah ke berbagai kabupaten melakukan pendataan lontar sejak 2 tahun lalu, dan Dinas Kebudayaan Denpasar ternyata sangat responsif terhadap kegiatan seperti ini. Makanya, tiang prioritaskan Denpasar sebagai pilot project untuk Bali,” tutur pria yang juga Dosen Bahasa Bali di Universitas Udayana itu.
Sementara, Made Kajeng, 47, selaku pemilik lontar mengaku lontar itu didapat turun temurun dari leluhurnya. Selain dirinya, ada 3 orang keluarga lainnya yang dimandatkan untuk menjaga lontar-lontar tersebut. Namun, karena ia dan keluarganya yang lain tidak terlalu mengerti cara merawat lontar, jadilah lontar tersebut hanya disimpan seadanya.
“Kalau tiang, satu karena tiang pingin tahu isi tentang lontar itu. Jadi, tiang sendiri satu keluarga niki kurang paham tentang baca sastra Bali. Kemudian, cara merawat lontar supaya awet dan teknik penyimpanannya, informasi itu yang tiang cari dari mereka,” ungkap pria yang juga menyimpan beberapa keris dan tombak warisan leluhurnya.
Selain dari pihak Dreamsea, proses digitalisasi naskah kuno yang telah mendigitalisasi 29 naskah di 29 daerah di Indonesia ini juga dibantu beberapa komunitas juga instansi, di antaranya, Aliansi Masyarakat Peduli Bahasa Bali, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manasa), Penyuluh Bahasa Bali, Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, Perpusnas, perwakilan UPI Bandung, dan Universitas Andalas.
Nantinya, naskah-naskah yang telah didigitalkan bisa segera dinikmati hasilnya oleh masyarakat Bali bahkan dunia, terutama generasi muda, dan para peneliti. Diharapkan juga untuk para pemilik akan muncul kesadaran tentang naskah kuno dan tata cara perawatannya. Pemerintah Bali diharapkan bisa terbantu untuk melestarikan naskah-naskah kuno agar tidak punah. *cr41
1
Komentar