Perajin Tenun Tergencet Bahan Baku
Kalangan penekun industri kerajinan tenun mengaku permintaan produk tenun lumayan meningkat dalam beberapa waktu belakangan.
DENPASAR, NusaBali
Terutama permintaan dari pasar lokal. Pergub tentang kewajiban pemakaian busana adat (Pergub Bali Nomor 79 Tahun 2018), diakui jadi pendorong peningkatan permintaan di pasar lokal tersebut. Hanya saja sayangnya, peningkatan pasar tersebut juga dibarengi lonjakan harga bahan baku dan material kebutuhan industri kerajinan tenun. Sehingga relatif tidak ada peningkatan margin keuntungan yang dirasakan perajin. “Jadi hampir sama saja imbasnya,” ujar I Nyoman Sudira, seorang perajin tenun endek dari Desa Gelgel, Klungkung, Minggu (17/2).
Sudira menyebutkan harga benang dan material pewarna, dua bahan baku tenun endek. Kedua bahan baku tersebut harganya naik cukup signifikan sejak beberapa bulan lalu. Contohnya benang ukuran 64/2 dan benang ukuran 80/2. Untuk diketahui, kedua jenis benang merupakan baku utama industri kerajinan tenun.
Menurut Sudira, awalnya harga harga benang 64/2 Rp 625 ribu per pack dengan berat sekitar 5 kilogram. Kini harganya Rp 750 ribu setiap pack. Demikian juga benang ukuran 80/2, dari Rp 725 ribu per pack naik menjadi Rp 825 ribu per pak. Rata- rata naik Rp 100 ribu per pack. “Harga benang naik setelah sempat menghilang beberapa bulan lalu,” ungkap Sudira, pemilik kerajinan tenun Astiti ini.
Demikian juga pewarna. Harga pewarna malah meningkat 100 persen. Sudira menyebut salah satu merk pewarna, yang biasa dipakai sebagai mewarnai benang saat pencelupan. Dari Rp 100 ribu per gram, kini menjadi Rp 200 ribu per gram. “Karena merupakan kebutuhan dan tidak ada pengganti, mau tidak mau mesti dibeli,” ucap Sudira, menyebut warna tersebut adalah warna tangi (ungu tua) dan biru, yang lumrah pada kerajinan tenun endek.
Dibanding dengan kondisi pasaran sebelumnya, kini pasaran produk tenun tradional lebih baik. “Adalah dibanding sebelumnya,” ungkap Sudira. Hanya karena dibarengi kenaikan harga bahan baku, menjadikan peningkatan permintaan produk tenun tak berpengaruh pada peningkatan pendapatan perajin.
Perajin juga takut mengangkat harga ,khawatir konsumen/pasar malah lari. “Perajin seperti tidak punya nilai tawar,” ujar Sudira. Dia berharap kondisi tersebut menjadi perhatian pemerintah maupun stakeholder terkait.
Pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali, menyatakan belum tahu terkait informasi kenaikan harga bahan baku untuk industri kerajinan tenun. “Itu kami belum dapat informasi tersebut,” ujar Kabid Perindustrian Disperindag Bali I Gede Suamba. Yang jelas kata Suamba, terjadi peningkatan permintaan produk tenun belakangan ini. Suamba mengatakan, Pergub tentang busana adat diyakini mendorong perbaikan pasar kain tenun tradisional Bali. *k17
Terutama permintaan dari pasar lokal. Pergub tentang kewajiban pemakaian busana adat (Pergub Bali Nomor 79 Tahun 2018), diakui jadi pendorong peningkatan permintaan di pasar lokal tersebut. Hanya saja sayangnya, peningkatan pasar tersebut juga dibarengi lonjakan harga bahan baku dan material kebutuhan industri kerajinan tenun. Sehingga relatif tidak ada peningkatan margin keuntungan yang dirasakan perajin. “Jadi hampir sama saja imbasnya,” ujar I Nyoman Sudira, seorang perajin tenun endek dari Desa Gelgel, Klungkung, Minggu (17/2).
Sudira menyebutkan harga benang dan material pewarna, dua bahan baku tenun endek. Kedua bahan baku tersebut harganya naik cukup signifikan sejak beberapa bulan lalu. Contohnya benang ukuran 64/2 dan benang ukuran 80/2. Untuk diketahui, kedua jenis benang merupakan baku utama industri kerajinan tenun.
Menurut Sudira, awalnya harga harga benang 64/2 Rp 625 ribu per pack dengan berat sekitar 5 kilogram. Kini harganya Rp 750 ribu setiap pack. Demikian juga benang ukuran 80/2, dari Rp 725 ribu per pack naik menjadi Rp 825 ribu per pak. Rata- rata naik Rp 100 ribu per pack. “Harga benang naik setelah sempat menghilang beberapa bulan lalu,” ungkap Sudira, pemilik kerajinan tenun Astiti ini.
Demikian juga pewarna. Harga pewarna malah meningkat 100 persen. Sudira menyebut salah satu merk pewarna, yang biasa dipakai sebagai mewarnai benang saat pencelupan. Dari Rp 100 ribu per gram, kini menjadi Rp 200 ribu per gram. “Karena merupakan kebutuhan dan tidak ada pengganti, mau tidak mau mesti dibeli,” ucap Sudira, menyebut warna tersebut adalah warna tangi (ungu tua) dan biru, yang lumrah pada kerajinan tenun endek.
Dibanding dengan kondisi pasaran sebelumnya, kini pasaran produk tenun tradional lebih baik. “Adalah dibanding sebelumnya,” ungkap Sudira. Hanya karena dibarengi kenaikan harga bahan baku, menjadikan peningkatan permintaan produk tenun tak berpengaruh pada peningkatan pendapatan perajin.
Perajin juga takut mengangkat harga ,khawatir konsumen/pasar malah lari. “Perajin seperti tidak punya nilai tawar,” ujar Sudira. Dia berharap kondisi tersebut menjadi perhatian pemerintah maupun stakeholder terkait.
Pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali, menyatakan belum tahu terkait informasi kenaikan harga bahan baku untuk industri kerajinan tenun. “Itu kami belum dapat informasi tersebut,” ujar Kabid Perindustrian Disperindag Bali I Gede Suamba. Yang jelas kata Suamba, terjadi peningkatan permintaan produk tenun belakangan ini. Suamba mengatakan, Pergub tentang busana adat diyakini mendorong perbaikan pasar kain tenun tradisional Bali. *k17
Komentar