MUTIARA WEDA : Penyederhanaan Yadnya, Mungkinkah?
Lakukanlah yadnya berdasarkan Widhi Drsta, tanpa mengharapkan keuntungan dan meyakini sepenuhnya bahwa yadnya ini adalah kewajiban yang bersifat sattva.
Aphalakan ksibhir yajna, vidhi drsto ya ijyate,
Yastavyame veti manah, samadhaya sa sattvikah.
(Bhagavad-gita, XVII: 11)
SECARA umum, rujukan utama yang dipedomani di dalam melaksanakan upacara yadnya ada empat (Catur Drsta). Yadnya dianggap benar hanya ketika dilakukan berdasarkan kitab suci (Sastra Drsta), warisan turun-menurun (Purwa Drsta), sesuai dengan kondisi sosial budaya pada wilayah tertentu (Desa Drsta), dan sesuai dengan upacara yang pernah dilakukan sebelumnya (Kuna Drsta). Sementara teks di atas menekankan pada kitab suci. Artinya, mungkin, di antara semua jenis rujukan, kitab suci merupakan yang tertinggi. Bisa saja ketiga lainnya dipakai sepanjang hal tersebut diperlukan, tetapi tetap tanpa harus menyimpang dari kitab suci.
Sementara itu, belakangan, wacana yang muncul di masyarakat adalah adanya maksud untuk menyederhanakan banten upacara yadnya. Hal ini tentu menimbulkan pro dan kontra. Mereka yang pro memandang bahwa banten yang rumit di samping membuang-buang waktu dan materi, juga disinyalir tidak memberikan dampak yang signifikan, bahkan yang terjadi malah keributan, utang, dan ketegangan pikiran. Sementara bagi yang kontra memandang bahwa upacara yadnya merupakan warisan nenek moyang yang telah dilaksanakan secara turun-menurun dan bentuknya sudah diatur di dalam sastra. Jika hal tersebut disederhanakan, tentu akan bertentangan dengan keempat Drsta tersebut. Hal buruk pun dibayangkan akan terjadi jika upacara tersebut dilakukan tidak sesuai dengan panduan tersebut.
Masalah penyederhanaan itu sendiri berujung pada pandangan yang berbeda-beda di masyarakat. Pertama, ada yang memandang bahwa upacara yang dilakukan saat ini sudah tidak relevan dengan zamannya, sebab memakan waktu dan materi yang banyak dan yang terpenting tidak membawa manfaat maksimal. Dengan cara pandang ini, mereka ingin upacara yang telah ada di Bali mesti diganti dengan bentuk upacara lain yang bersifat universal dan hal tersebut telah dinyatakan di dalam Veda. Kedua, ada yang memandang bahwa upacara di Bali sudah memiliki tingkatannya masing-masing, yakni Nista, Madya, Utama. Penyederhanaan yang dimaksud mestinya mengacu pada ketiga hal ini. Jika memang seseorang tidak mampu secara ekonomi, Hindu tidak pernah memaksa melakukan upacara besar. Ada pilihan kanista yang bentuknya sangat sederhana. Apabila diyakini dengan sungguh-sungguh, yang nista ini pun tidak berbeda kualitas dan maknanya dibandingkan upacara besar. Ketiga, ada yang memandang bahwa penyederhanaan yang dimaksudkan adalah dengan menguran
gi elemen atau unsur pembentuknya. Seperti misalnya, jika mesti menggunakan ayam, sementara ayam memiliki fungsi dan makna yang sejenis, maka tidak perlu menggunakan ayam yang banyak. Menggunakan 1 ekor akan sama maknanya dengan 100 ekor sepanjang makna ayam sebagai concern. Jadi tidak perlu menggunakan seratus, cukup satu saja. Demikian juga bahan-bahan lainnya seperti itu.
Ketiga interpretasi inilah yang berkembang di masyarakat yang menyangkut dengan upaya penyederhanaan banten upacara yadnya itu. Jika demikian adanya, berkaca pada teks di atas, apakah memungkinkan upacara yadnya tersebut disederhanakan sesuai dengan kategori ketiga pandangan tersebut. Jika memungkinkan, pandangan mana yang paling tepat dari definisi tentang penyederhanaan itu? Jika tidak bisa disederhanakan oleh karena Catur Drsta sudah mengaturnya demikian, lalu mengapa ada yang berupaya menyederhanakannya? Apakah mereka tidak pernah paham dengan ajaran agama sehingga punya pemikiran yang fragmatis (artinya upacara dilaksanakan disesuaikan dengan kebutuhan saat ini)?
Teks di atas menyajikan tiga hal tentang yadnya. Pertama, yadnya mesti dilaksanakan berdasarkan Vidhi Drsta; Kedua, yadnya mesti dilakukan dengan tanpa mengharapkan keuntungan; dan ketiga, yadnya yang dilakukan mesti diyakini sebagai bentuk kewajiban yang bersifat sattvik. Jika mengacu pada Vidhi Drsta saja, kemungkinan upaya penyederhanaan tidak mungkin terjadi, atau kalaupun bisa, makna penyederhanaan itu hanya pada tiga kategori (nista, madya, dan utama) itu saja. Dalam kategori nista, madya, dan utama sebenarnya tidak ada unsur penyederhanaan, sebab memang telah dinyatakan di dalam kitab suci seperti itu. Tetapi, jika mengacu pada hal kedua dan ketiga dari teks di atas, rasanya penyederhanaan itu memungkinkan, sebab, apapun bentuk upacara tersebut, sepanjang itu dilaksanakan dengan tanpa mengharapkan keuntungan dan dilakukan sebagai bentuk kewajiban, maka upacara tersebut benar. *
I Gede Suwantana
(Bhagavad-gita, XVII: 11)
SECARA umum, rujukan utama yang dipedomani di dalam melaksanakan upacara yadnya ada empat (Catur Drsta). Yadnya dianggap benar hanya ketika dilakukan berdasarkan kitab suci (Sastra Drsta), warisan turun-menurun (Purwa Drsta), sesuai dengan kondisi sosial budaya pada wilayah tertentu (Desa Drsta), dan sesuai dengan upacara yang pernah dilakukan sebelumnya (Kuna Drsta). Sementara teks di atas menekankan pada kitab suci. Artinya, mungkin, di antara semua jenis rujukan, kitab suci merupakan yang tertinggi. Bisa saja ketiga lainnya dipakai sepanjang hal tersebut diperlukan, tetapi tetap tanpa harus menyimpang dari kitab suci.
Sementara itu, belakangan, wacana yang muncul di masyarakat adalah adanya maksud untuk menyederhanakan banten upacara yadnya. Hal ini tentu menimbulkan pro dan kontra. Mereka yang pro memandang bahwa banten yang rumit di samping membuang-buang waktu dan materi, juga disinyalir tidak memberikan dampak yang signifikan, bahkan yang terjadi malah keributan, utang, dan ketegangan pikiran. Sementara bagi yang kontra memandang bahwa upacara yadnya merupakan warisan nenek moyang yang telah dilaksanakan secara turun-menurun dan bentuknya sudah diatur di dalam sastra. Jika hal tersebut disederhanakan, tentu akan bertentangan dengan keempat Drsta tersebut. Hal buruk pun dibayangkan akan terjadi jika upacara tersebut dilakukan tidak sesuai dengan panduan tersebut.
Masalah penyederhanaan itu sendiri berujung pada pandangan yang berbeda-beda di masyarakat. Pertama, ada yang memandang bahwa upacara yang dilakukan saat ini sudah tidak relevan dengan zamannya, sebab memakan waktu dan materi yang banyak dan yang terpenting tidak membawa manfaat maksimal. Dengan cara pandang ini, mereka ingin upacara yang telah ada di Bali mesti diganti dengan bentuk upacara lain yang bersifat universal dan hal tersebut telah dinyatakan di dalam Veda. Kedua, ada yang memandang bahwa upacara di Bali sudah memiliki tingkatannya masing-masing, yakni Nista, Madya, Utama. Penyederhanaan yang dimaksud mestinya mengacu pada ketiga hal ini. Jika memang seseorang tidak mampu secara ekonomi, Hindu tidak pernah memaksa melakukan upacara besar. Ada pilihan kanista yang bentuknya sangat sederhana. Apabila diyakini dengan sungguh-sungguh, yang nista ini pun tidak berbeda kualitas dan maknanya dibandingkan upacara besar. Ketiga, ada yang memandang bahwa penyederhanaan yang dimaksudkan adalah dengan menguran
gi elemen atau unsur pembentuknya. Seperti misalnya, jika mesti menggunakan ayam, sementara ayam memiliki fungsi dan makna yang sejenis, maka tidak perlu menggunakan ayam yang banyak. Menggunakan 1 ekor akan sama maknanya dengan 100 ekor sepanjang makna ayam sebagai concern. Jadi tidak perlu menggunakan seratus, cukup satu saja. Demikian juga bahan-bahan lainnya seperti itu.
Ketiga interpretasi inilah yang berkembang di masyarakat yang menyangkut dengan upaya penyederhanaan banten upacara yadnya itu. Jika demikian adanya, berkaca pada teks di atas, apakah memungkinkan upacara yadnya tersebut disederhanakan sesuai dengan kategori ketiga pandangan tersebut. Jika memungkinkan, pandangan mana yang paling tepat dari definisi tentang penyederhanaan itu? Jika tidak bisa disederhanakan oleh karena Catur Drsta sudah mengaturnya demikian, lalu mengapa ada yang berupaya menyederhanakannya? Apakah mereka tidak pernah paham dengan ajaran agama sehingga punya pemikiran yang fragmatis (artinya upacara dilaksanakan disesuaikan dengan kebutuhan saat ini)?
Teks di atas menyajikan tiga hal tentang yadnya. Pertama, yadnya mesti dilaksanakan berdasarkan Vidhi Drsta; Kedua, yadnya mesti dilakukan dengan tanpa mengharapkan keuntungan; dan ketiga, yadnya yang dilakukan mesti diyakini sebagai bentuk kewajiban yang bersifat sattvik. Jika mengacu pada Vidhi Drsta saja, kemungkinan upaya penyederhanaan tidak mungkin terjadi, atau kalaupun bisa, makna penyederhanaan itu hanya pada tiga kategori (nista, madya, dan utama) itu saja. Dalam kategori nista, madya, dan utama sebenarnya tidak ada unsur penyederhanaan, sebab memang telah dinyatakan di dalam kitab suci seperti itu. Tetapi, jika mengacu pada hal kedua dan ketiga dari teks di atas, rasanya penyederhanaan itu memungkinkan, sebab, apapun bentuk upacara tersebut, sepanjang itu dilaksanakan dengan tanpa mengharapkan keuntungan dan dilakukan sebagai bentuk kewajiban, maka upacara tersebut benar. *
I Gede Suwantana
1
Komentar