Janger, dari Corong Partai hingga Anti Terorisme
LENGGANG girang dan dendang ceria kini kembali membuncah pada tari Janger.
Jika dulu tari jenis pergaulan Bali ini lazimnya dibawakan oleh kalangan muda-mudi, belakangan kaum bapak-bapak dan ibu-ibu pun bergairah majangeran. Bahkan seperti dapat kita saksikan di arena Pesta Kesenian Bali (PKB) atau dalam tayangan televisi, beberapa grup Janger ada seluruh penarinya ibu-ibu (para penari kecak yang lazimnya dibawakan kaum pria juga diambil alih kaum perempuan). Sungguh mengherankan, semangat Janger ibu-ibu tak mau kalah gairah dengan sajian Janger kaum muda-mudi.
Janger biasanya dibawakan sekumpulan remaja pria dan wanita dalam jumlah yang seimbang banyaknya. Unsur utama yang disajikan dalam seni pertunjukan ini adalah tari dan nyanyi. Sebelum seluruh penari muncul di arena pentas, secara klasik diawali dengan nyanyian dan tari perkenalan oleh seluruh pemain dalam sebuah formasi menghadap penonton. Dalam perkembangannya, tari Janger tidak hanya menari dan melantunkan koor yang bersahut-sahutan namun juga ditambahkan dengan tampilan cerita yang dibawakan oleh pemain khusus. Janger yang disertai drama ini disebut Janger Malampahan alias Janger berkisah.
Tari Janger sempat mengalami trauma berat. Itu terjadi setelah peristiwa kelam G30S/PKI pada tahun 1965. Pementasan Janger yang saat itu didaulat untuk mengumandangkan jargon-jargon partai politik, terjerembab menjadi seni yang bergidik. Tak sedikit para pegiat Janger yang pentas sebagai corong politik PKI dibunuh atau dikucilkan dalam pergaulan sosial hingga bertahun-tahun. Namun seiring dengan perjalanan waktu, sekitar tahun 1970-an, Janger mulai berani menggeliat. Janger menunjukkan eksistensi sebagai seni pentas hiburan yang merakyat namun tak jarang diganduli pesan-pesan pembangunan pemerintah Orde Baru.
Adalah Bung Karno, presiden pertama RI, begitu gandrung dengan tari Janger. Keriangan dan penuh semangat yang menjadi karakter tari ini menggugah presiden berdarah Bali itu memberikan perhatian dan dorongan terhadap perkembangan seni pentas ini. Saat konfrontasi Indonesia dan Malaysia pada tahun 1963, sekaa-sekaa Janger yang marak di seluruh Bali dengan lantang memekikkan “Ganyang Malaysia!“, baik dalam bentuk lagu maupun dalam lakon yang melengkapinya. Janger sebagai ungkapan seni juga sering diusung Bung Karno ke Istana Tampaksiring sebagai seni pentas terhormat bagi tamu-tamu negara.
Diduga cikal bakal munculnya tari Janger berawal dari budaya agraris tradisional. Untuk mengibur diri dan menghilangkan penat saat bekerja atau panen, masyarakat petani di Bali suka bernyanyi-nyanyi, baik secara sendiri-sendiri maupun secara berkelompok saling berbalas. Adapun lagu-lagu yang banyak dikumandangkan adalah gending-gending dari ritual tari sakral Sanghyang yang merupakan ritus penolak bala. Pada tahun 1930-an Janger bermunculan dengan gending-gending kerakyatan yang dikembangkan dari koor para pelantun wanita dalam tari Sanghyang itu.
Kendati gending-gending-nya dikembangkan dari seni sakral, sejatinya kelahiran Janger adalah sebagai presentasi estetik semata, seni hiburan profan. Sebagi seni balih-balihan, tari Janger sering dipergelarkan untuk memeriahkan upacara keagamaan hingga tampil sebagai seni pertunjukan turistik. Namun ada pula komunitas-komunitas yang tak hanya memfungsikan Janger sebagai seni pentas hiburan semata melainkan juga menghormati dalam konteks sakral. Sebuah komunitas di Bangli misalnya memaknai secara takzim kesenian Janger-nya sebagai tari keramat yang disebut Janger Maborbor dengan ciri pentas kesurupan menginjak bara api.
Diusung tinggi sebagai tari sakral dan dalam perjalanannya dibujuk rayu sebagai juru kampanye partai politik, menjadi sebuah bukti bahwa Janger adalah ekspresi estetik yang fleksibel meniti riak-riak zaman dan perkembangan masyarakatnya. Tetapi ketika kini dinamika masyarakat Bali menjadi bagian dari era globalisasi, kesenian Janger rupanya masih gagap untuk berkiprah. Grup-grup Janger yang aktif menggeliat sesaat dan tiba-tiba hilang tak tentu sebabnya. Geloranya hanya meletup secara insidental-temporal. Mungkin, ia dibangun sekedar merayakan ulang tahun sekaa muda-mudi banjar/ desa dan menyongsong odalan.
Sebagai tari pergaulan mudi-mudi, gelora untuk majangeran semestinya menguak dari generasi muda Bali. Sebab, Janger sebagai media, selain merupakan arena untuk menumbuhkembangan nilai-nilai keindahan juga sekaligus dapat secara positif memuat aspirasi dan persoalan hidup dan kehidupan, baik dalam konteks spesifik tentang romantika anak muda maupun nilai-nilai moralitas masyarakat banyak. Parade Janger se-Bali, seperti di PKB, mungkin salah satu wahana yang patut lebih sering digagas bagi sumber insani masa depan bangsa kita sebagai jembatan pembentukan karakter diri lewat jagat seni.
Tari Janger adalah media yang cukup ideal dijadikan wahana pembentukan karakter generasi muda. Secara konsep artistik, seni pentas ini menumbuhkembangkan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong, baik lewat tata tarinya maupun dalam mengungkapan nyanyiannya. Secara tematik, pesan-pesan yang sodorkan tari Janger sarat dengan nilai-nilai moral yang kontekstual seperti bahaya narkoba hingga terorisme. Simaklah nanti, Jumat malam 20 Mei 2016 ini, para mahasiswa ISI Denpasar, bertempat di Taman Budaya Denpasar dalam acara Gelar Seni Nawa Natya, akan mementaskan Janger Sandiwara yang mengangkat pesan bahaya narkoba dan terorisme dalam sebuah bingkai lakon “Gerhana Bulan di Pulau Dewata“. Penonton akan dapat menyimak Janger yang digarap baru dalam lenggang tari nan ceria disertai dendang lagu membuncah girang. 7 (Kadek Suartaya)
Komentar