Perlu Dibuat Kesatuan Tafsir Tentang Tari Rejang Renteng
Fenomena ibu-ibu di Bali yang keranjingan menari Rejang Renteng merupkan fenomena unik.
DENPASAR, NusaBali
Di satu sisi, ada nilai positif karena ibu-ibu jadi semakin getol ngayah ngigel (menari) di pura. Namun, di sisi lain fenomena ini juga dikhawatirkan akan kaburkan nilai kesakralan Tari Rejang Renteng. Karena itu, dipandang perlu dibuat kesatuan tafsir tentang Tari Rejang Renteng.
Hal ini terungkap dalam seminar dan workshop Tari Rejang Renteng yang digelar UPT Taman Budaya Provinsi Bali di Taman Budaya Art Centre Denpasar, Kamis (21/2). Peneliti dan pengembang Tari Rejang Renteng, Ida Ayu Diastini, yang dihadirkan sebagai narasumber dalam seminar kemarin, mengatakan sejauh ini tak ada yang tahu siapa pencipta Tari Rejang Renteng.
Namun, tarian sakral ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1930-an. Disebutkan, cikal bakal Tari Rejang Renteng terinspirasi dari Tari Renteng yang merupakan tarian sakral dan tua di Banjar Adat Saren, Desa Pakraman Mujaning Tembeling (Desa Batumadeg, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung) dan Banjar Saren Satu, Desa Nusa Gede (Kecamatan Nusa Penida).
Tari Rejang Renteng awalnya ditampilkan setiap piodalan di Pura Penataran Ped, Desa Pakraman Ped, Kecamatan Nusa Penida. Kini, Tari Rejang Renteng ditampilkan dalam piodalan di sebagian besar pura di Bali. Biasanya, tarian ini ditarikan kelompok ibu-ibu PKK, yang sejatinya tidak semua bisa menari, tapi mendadak jadi pragina (penari).
“Tiyang menyampaikan filosofi, kostum, dan tatanan geraknya. Tapi, yang kita lihat sekarang ini hanya senangnya ngayah. Itu bagus sebagai motivasi. Namun, mereka lupa apa yang mereka kenakan dan tarikan itu bukan sekadar show, hanya indah dan bagus. Ada filosofinya itu,” ujar Dayu Diastini.
Menurut Dayu Diastini, ini adalah workshop kesekian kalinya terkait Tari Rejang Renteng. Hasil dari workshop ini nantinya akan dijadikan acuan untuk merumuskan Tari Rejang Renteng sebagai tarian wali. “Tari Rejang Renteng ini saya ambil dari aslinya. Namun, belum ada kesatuan tafsir mengenai apakah ini tari wali, bebali, atau balih-balihan. Sehingga bila sudah ada itu, akan disebarkan ke desa pakraman,” katanya.
Pernyataan senada diungkapkan Kepala UPT Taman Budaya Provinsi Bali, I Made Suarja. Menurut Suarja, kegiatan workshop ini bertujuan untuk memberikan pemahaman terhadap kesenian Tari Rejang Renteng. “Saat ini masih banyak masyarakat kebingungan memahami munculnya Tari Rejang. Jadi, kita mengundang perwakilan kabupaten/kota se-Bali,” papar Suarja.
Sementara itu, budayawan Prof I Wayan Dibia juga setuju harus ada kesatuan tafsir dulu, agar memiliki pegangan. Menurut Prof Dibia, Tari Rejang Renteng yang tengah naik daun saat ini memiliki sisi positif yakni adanya energi baru. Ibu-ibu jadi semangat ngayah. Secara penampilan, Tari Rejang Renteng juga artistik.
“Secara penampilan, rejang ini dinilai artistik. Karena itu, selain ngayah, mereka juga mendapatkan kepuasan estetik. Kedua, Tari Rejang Renteng ini memang memberikan peluang untuk tampil dalam jumlah yang banyak. Gerakannya pun tidak terlalu sulit. Mereka yang tidak banyak memiliki kemampuan menari, tak terlalu takut untuk menarikan ini,” jelas Prof Dibia.
Namun, lanjut dia, di sisi lain ada kekhawatiran akan kabur kesakralan Tari Rejang Renteng ini. Prof Dibia mencontohkan, di Karangasem dalam satu kecamatan saja ditemukan ada 27 jenis Tari Rejang, yang masing-masing memiliki kekhasan. Prof Dibia berharap Tari Rejang jangan diseragamkan, tapi yang sudah ada diperkuat. Sedangkan desa adat yang tidak memiliki Tari Rejang sama sekali, bisa memasukkan Tari Rejang Renteng yang sedang viral ini.
Menurut Prof Dibia, persoalan saat ini adalah bagaimana menempatkan Tari Rejang Renteng sesuai dengan peruntukan dan tatwanya. Harus ada formulasi baru, agar tidak mengubah tatanan spiritual. Jika diputuskan menjadi tari wali, maka menjalani proses sakralisasi yang cukup panjang.
“Nah, bagaimana dengan rejang yang baru? Bicara tari rejang sebagai tari wali, pasti ditarikan dengan proses ritual. Sedangkan sekarang kita melihat banyak tari rejang digunakan pada acara-acara di luar konteks ritual, seperti festival bahkan dipertontonkan untuk kepentingan politik. Setelah itu, tiba-tiba tari rejang disuguhkan di pura,” sesal mantan Rektor ISI Denpasar ini.
Sementara itu, Penyarikan Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali, Ketut Sumarta, menilai maraknya Tari Rejang Renteng saat ini menempatkan wanita Bali yang dulunya malu untuk ngayah ngigel di pura, sekarang justru berlomba-lomba ingin tampil. Cuma, perlu juga dikritis soal dandanan yang luar biasa. “Ini aspek positif bagi pembinaan adat, di mana ada kegairahan perempuan Bali ikut ambil bagian dalam kegiatan tradisi. Begitu pula aspek ekonomi dapat bergerak. Biasanya, ibu-ibu ngerumpi, sekarang mulai fokus membicarakan ngerejang. Ini positif bisa membangkitkan kesenian,” kata Sumarta.
Sumarta sependapat dengan Prof Dibia bahwa sajian Rejang Renteng kalau benar ditampilkan mengikuti proses ritual, harus melalui proses sakralisasi. “Kepada prajuru desa yang belum memiliki rejang, silakan dibuat. Tapi, bagi desa yang memiliki rejang dan sudah menjadi tari wali, jangan diutak-atik lagi,” tandas wartawan senior ini.
Menurut Sumarta, dari hasil seminar ini bisa direkomendasikan kepada Dinas Kebudayaan untuk menyamakan persepsi dengan pihak terkait, di antaranya MUDP, PHDI, Listibya, pemerintah, dan seniman untuk membuat kesatuan tafsir tentang rejang. “Tari Rejang Renteng ini harus ada aspek kesatuan tafsir. Kalau masuk tari wali, harus melalui proses sakralisasi, tatwanya jelas, sehingga masyarakat paham dan tidak bingung,” katanya. *ind
Hal ini terungkap dalam seminar dan workshop Tari Rejang Renteng yang digelar UPT Taman Budaya Provinsi Bali di Taman Budaya Art Centre Denpasar, Kamis (21/2). Peneliti dan pengembang Tari Rejang Renteng, Ida Ayu Diastini, yang dihadirkan sebagai narasumber dalam seminar kemarin, mengatakan sejauh ini tak ada yang tahu siapa pencipta Tari Rejang Renteng.
Namun, tarian sakral ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1930-an. Disebutkan, cikal bakal Tari Rejang Renteng terinspirasi dari Tari Renteng yang merupakan tarian sakral dan tua di Banjar Adat Saren, Desa Pakraman Mujaning Tembeling (Desa Batumadeg, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung) dan Banjar Saren Satu, Desa Nusa Gede (Kecamatan Nusa Penida).
Tari Rejang Renteng awalnya ditampilkan setiap piodalan di Pura Penataran Ped, Desa Pakraman Ped, Kecamatan Nusa Penida. Kini, Tari Rejang Renteng ditampilkan dalam piodalan di sebagian besar pura di Bali. Biasanya, tarian ini ditarikan kelompok ibu-ibu PKK, yang sejatinya tidak semua bisa menari, tapi mendadak jadi pragina (penari).
“Tiyang menyampaikan filosofi, kostum, dan tatanan geraknya. Tapi, yang kita lihat sekarang ini hanya senangnya ngayah. Itu bagus sebagai motivasi. Namun, mereka lupa apa yang mereka kenakan dan tarikan itu bukan sekadar show, hanya indah dan bagus. Ada filosofinya itu,” ujar Dayu Diastini.
Menurut Dayu Diastini, ini adalah workshop kesekian kalinya terkait Tari Rejang Renteng. Hasil dari workshop ini nantinya akan dijadikan acuan untuk merumuskan Tari Rejang Renteng sebagai tarian wali. “Tari Rejang Renteng ini saya ambil dari aslinya. Namun, belum ada kesatuan tafsir mengenai apakah ini tari wali, bebali, atau balih-balihan. Sehingga bila sudah ada itu, akan disebarkan ke desa pakraman,” katanya.
Pernyataan senada diungkapkan Kepala UPT Taman Budaya Provinsi Bali, I Made Suarja. Menurut Suarja, kegiatan workshop ini bertujuan untuk memberikan pemahaman terhadap kesenian Tari Rejang Renteng. “Saat ini masih banyak masyarakat kebingungan memahami munculnya Tari Rejang. Jadi, kita mengundang perwakilan kabupaten/kota se-Bali,” papar Suarja.
Sementara itu, budayawan Prof I Wayan Dibia juga setuju harus ada kesatuan tafsir dulu, agar memiliki pegangan. Menurut Prof Dibia, Tari Rejang Renteng yang tengah naik daun saat ini memiliki sisi positif yakni adanya energi baru. Ibu-ibu jadi semangat ngayah. Secara penampilan, Tari Rejang Renteng juga artistik.
“Secara penampilan, rejang ini dinilai artistik. Karena itu, selain ngayah, mereka juga mendapatkan kepuasan estetik. Kedua, Tari Rejang Renteng ini memang memberikan peluang untuk tampil dalam jumlah yang banyak. Gerakannya pun tidak terlalu sulit. Mereka yang tidak banyak memiliki kemampuan menari, tak terlalu takut untuk menarikan ini,” jelas Prof Dibia.
Namun, lanjut dia, di sisi lain ada kekhawatiran akan kabur kesakralan Tari Rejang Renteng ini. Prof Dibia mencontohkan, di Karangasem dalam satu kecamatan saja ditemukan ada 27 jenis Tari Rejang, yang masing-masing memiliki kekhasan. Prof Dibia berharap Tari Rejang jangan diseragamkan, tapi yang sudah ada diperkuat. Sedangkan desa adat yang tidak memiliki Tari Rejang sama sekali, bisa memasukkan Tari Rejang Renteng yang sedang viral ini.
Menurut Prof Dibia, persoalan saat ini adalah bagaimana menempatkan Tari Rejang Renteng sesuai dengan peruntukan dan tatwanya. Harus ada formulasi baru, agar tidak mengubah tatanan spiritual. Jika diputuskan menjadi tari wali, maka menjalani proses sakralisasi yang cukup panjang.
“Nah, bagaimana dengan rejang yang baru? Bicara tari rejang sebagai tari wali, pasti ditarikan dengan proses ritual. Sedangkan sekarang kita melihat banyak tari rejang digunakan pada acara-acara di luar konteks ritual, seperti festival bahkan dipertontonkan untuk kepentingan politik. Setelah itu, tiba-tiba tari rejang disuguhkan di pura,” sesal mantan Rektor ISI Denpasar ini.
Sementara itu, Penyarikan Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali, Ketut Sumarta, menilai maraknya Tari Rejang Renteng saat ini menempatkan wanita Bali yang dulunya malu untuk ngayah ngigel di pura, sekarang justru berlomba-lomba ingin tampil. Cuma, perlu juga dikritis soal dandanan yang luar biasa. “Ini aspek positif bagi pembinaan adat, di mana ada kegairahan perempuan Bali ikut ambil bagian dalam kegiatan tradisi. Begitu pula aspek ekonomi dapat bergerak. Biasanya, ibu-ibu ngerumpi, sekarang mulai fokus membicarakan ngerejang. Ini positif bisa membangkitkan kesenian,” kata Sumarta.
Sumarta sependapat dengan Prof Dibia bahwa sajian Rejang Renteng kalau benar ditampilkan mengikuti proses ritual, harus melalui proses sakralisasi. “Kepada prajuru desa yang belum memiliki rejang, silakan dibuat. Tapi, bagi desa yang memiliki rejang dan sudah menjadi tari wali, jangan diutak-atik lagi,” tandas wartawan senior ini.
Menurut Sumarta, dari hasil seminar ini bisa direkomendasikan kepada Dinas Kebudayaan untuk menyamakan persepsi dengan pihak terkait, di antaranya MUDP, PHDI, Listibya, pemerintah, dan seniman untuk membuat kesatuan tafsir tentang rejang. “Tari Rejang Renteng ini harus ada aspek kesatuan tafsir. Kalau masuk tari wali, harus melalui proses sakralisasi, tatwanya jelas, sehingga masyarakat paham dan tidak bingung,” katanya. *ind
Komentar