Kecewa Bansos Dipangkas, Anggota DPRD Bali Minta Gubernur Koster Evaluasi
Dipangkasnya dana bansos/hibah untuk anggota DPRD Bali sebesar Rp 116 miliar dari Rp 374 miliar dalam APBD Induk 2019 memicu kekecewaan.
DENPASAR, NusaBali
Anggota Komisi I DPRD Bali dari Fraksi Gabungan Pancabayu (gabungan NasDem, Hanura, PKPI, PAN) Nyoman Tirtawan mengatakan tidak ada alasan yang masuk akal memangkas dana bansos/hibah DPRD Bali sampai Rp 116 miliar.
Meskipun sudah ketok palu beberapa waktu lalu, Tirtawan tetap menolak pemotongan bansos/hibah tersebut. Menurutnya, sejak awal bansos/hibah sudah disepakati Rp 374 miliar. Bahkan Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Prioritas Plafon Anggaran (PPA) APBD Induk 2019 seharusnya ditandatangani pada Juli 2018, namun entah kenapa baru ditandatangani pada September 2018 yang kemudian justru langsung ada pemotongan bansos/hibah yang jumlahnya cukup signifikan.
“Ini kan menyangkut komitmen pemerintah terhadap masyarakat, kalau begini pemerintah kan tidak menepati komitmennya. Sama artinya dengan masyarakat tidak akan percaya lagi dengan pemerintah. Kami minta Gubernur Bali evaluasi ini. UU Dasar saja bisa diamandemen, ini baru Perda APBD, sangat bisa dievaluasi,” kata Tirtawan di Denpasar, Sabtu (23/2) siang.
Menurut dia, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali tidak perlu sampai memotong bansos/hibah untuk pembangunan shortcut. Pemprov sebenarnya masih memiliki uang lebih. Selain itu Gubernur Bali Wayan Koster memiliki kemampuan bisa melakukan lobi-lobi ke pemerintah pusat agar semua biaya pembangunan shortcut tersebut dianggarkan dari pusat.
Uang lebih yang dimaksud Tirtawan adalah per tahun 2019 ini Pemprov Bali memiliki anggaran sebesar Rp 598 miliar. Tahun 2019 sudah tidak ada pembangunan yang menyedot anggaran besar. Tidak ada membangun rumah sakit seperti RS Bali Mandara yang anggarannya sekitar Rp 200 miliar, sudah tidak ada lagi biaya pilgub atau pemilu seperti pada 2018 lalu yang totalnya habis Rp 250 miliar. Justru ada tambahan dari rasionalisasi biaya pilgub sebesar Rp 98 miliar dan ada tambahan lagi Silpa sekitar Rp 50 miliar.
Kalau alasannya karena pembangunan shortcut Denpasar–Singaraja dengan anggaran Rp 160 miliar, masih banyak ada saldo. “Dulu saja ada pilgub, pembangunan Rumah Sakit Bali Mandara tidak sampai mengubah struktur APBD. Saya hanya ingin pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif mengambil keputusan dengan baik dan benar,” ucapnya.
Tirtawan menegaskan, pemotongan bansos/hibah ini telah melanggar konstitusi dan merusak sistem yang ada. Karena jika mau mengubah struktur APBD, harus ada alasan principle dan force majeure, sehingga APBD tersebut bisa diubah. “Bansos ini kan sudah diverifikasi dari jauh-jauh hari. Setelah diverifikasi akhirnya disahkan akan mendapatkan bansos. Nah, kalau sekarang ada pemotongan, tentu ini melanggar konstitusi. Ada dua alasan principle jika mau mengubah APBD, ada prosedur yang dilanggar, ada yang fiktif, tidak efektif efisien, dan force majeure. Kalau yang sekarang kan tidak ada hal itu, tapi karena alasan untuk membangun shortcut. Ini tidak benar, merusak sistem namanya. Dalam menyusun anggaran harus berpedoman pada aturan, bukan bertentangan, Semua sudah masuk e-planning dan e-budgeting,” kata politisi NasDem asal Desa Bebetin, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, ini.
Tirtawan menjelaskan kalau sekarang eksekutif (Gubernur Bali) memotong bansos/hibah hanya karena untuk pembangunan shortcut, dia justru merasa ada kepentingan lain di balik pemotongan tersebut. “Masyarakat (calon penerima bansos/hibah, Red) sudah memiliki rencana sesuai dengan apa yang diajukan. Kalau sekarang anggarannya itu dipotong, apakah mereka akan mampu melaksanakan kegiatan dengan baik. Ibaratnya kalau mereka akan membangun jembatan dengan biaya Rp 100 juta, terus sekarang dipotong Rp 30 juta, apakah proyek itu bisa selesai 100 persen. Artinya jembatannya tidak selesai dengan baik. Ini jelas telah merusak sistem yang ada, ada prosedur yang diabaikan,” tambahnya.
Kalau anggota DPRD Bali menolak pemotongan bansos/hibah, unsur pimpinan dewan berbeda lagi. Wakil Ketua DPRD Bali Nyoman Sugawa Korry dari Fraksi Golkar secara terpisah, Sabtu kemarin, mengatakan APBD Induk 2019 sudah diketok palu. Semua proses pun sudah dilalui. “Jadi tidak mungkin akan dievaluasi lagi angkanya. Karena sudah diketok palu. Memang ada verifikasi awalnya, tetapi pusat bisa menambah bisa mengurangi. Namanya rasionalisasi,” kata politisi asal Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, ini.
Sementara Gubernur Bali Wayan Koster belum bisa dimintai komentar. Saat dihubungi NusaBali melalui ponselnya tidak aktif. Sementara Plt Kepala Biro Humas dan Protokol Pemprov Bali Gede Darmawan dikonfirmasi mengatakan masih ada kegiatan adat di kampung. “Saya masih ada kegiatan adat di kampung, nanti saya hubungi balik,” ujarnya. *nat
Meskipun sudah ketok palu beberapa waktu lalu, Tirtawan tetap menolak pemotongan bansos/hibah tersebut. Menurutnya, sejak awal bansos/hibah sudah disepakati Rp 374 miliar. Bahkan Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Prioritas Plafon Anggaran (PPA) APBD Induk 2019 seharusnya ditandatangani pada Juli 2018, namun entah kenapa baru ditandatangani pada September 2018 yang kemudian justru langsung ada pemotongan bansos/hibah yang jumlahnya cukup signifikan.
“Ini kan menyangkut komitmen pemerintah terhadap masyarakat, kalau begini pemerintah kan tidak menepati komitmennya. Sama artinya dengan masyarakat tidak akan percaya lagi dengan pemerintah. Kami minta Gubernur Bali evaluasi ini. UU Dasar saja bisa diamandemen, ini baru Perda APBD, sangat bisa dievaluasi,” kata Tirtawan di Denpasar, Sabtu (23/2) siang.
Menurut dia, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali tidak perlu sampai memotong bansos/hibah untuk pembangunan shortcut. Pemprov sebenarnya masih memiliki uang lebih. Selain itu Gubernur Bali Wayan Koster memiliki kemampuan bisa melakukan lobi-lobi ke pemerintah pusat agar semua biaya pembangunan shortcut tersebut dianggarkan dari pusat.
Uang lebih yang dimaksud Tirtawan adalah per tahun 2019 ini Pemprov Bali memiliki anggaran sebesar Rp 598 miliar. Tahun 2019 sudah tidak ada pembangunan yang menyedot anggaran besar. Tidak ada membangun rumah sakit seperti RS Bali Mandara yang anggarannya sekitar Rp 200 miliar, sudah tidak ada lagi biaya pilgub atau pemilu seperti pada 2018 lalu yang totalnya habis Rp 250 miliar. Justru ada tambahan dari rasionalisasi biaya pilgub sebesar Rp 98 miliar dan ada tambahan lagi Silpa sekitar Rp 50 miliar.
Kalau alasannya karena pembangunan shortcut Denpasar–Singaraja dengan anggaran Rp 160 miliar, masih banyak ada saldo. “Dulu saja ada pilgub, pembangunan Rumah Sakit Bali Mandara tidak sampai mengubah struktur APBD. Saya hanya ingin pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif mengambil keputusan dengan baik dan benar,” ucapnya.
Tirtawan menegaskan, pemotongan bansos/hibah ini telah melanggar konstitusi dan merusak sistem yang ada. Karena jika mau mengubah struktur APBD, harus ada alasan principle dan force majeure, sehingga APBD tersebut bisa diubah. “Bansos ini kan sudah diverifikasi dari jauh-jauh hari. Setelah diverifikasi akhirnya disahkan akan mendapatkan bansos. Nah, kalau sekarang ada pemotongan, tentu ini melanggar konstitusi. Ada dua alasan principle jika mau mengubah APBD, ada prosedur yang dilanggar, ada yang fiktif, tidak efektif efisien, dan force majeure. Kalau yang sekarang kan tidak ada hal itu, tapi karena alasan untuk membangun shortcut. Ini tidak benar, merusak sistem namanya. Dalam menyusun anggaran harus berpedoman pada aturan, bukan bertentangan, Semua sudah masuk e-planning dan e-budgeting,” kata politisi NasDem asal Desa Bebetin, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, ini.
Tirtawan menjelaskan kalau sekarang eksekutif (Gubernur Bali) memotong bansos/hibah hanya karena untuk pembangunan shortcut, dia justru merasa ada kepentingan lain di balik pemotongan tersebut. “Masyarakat (calon penerima bansos/hibah, Red) sudah memiliki rencana sesuai dengan apa yang diajukan. Kalau sekarang anggarannya itu dipotong, apakah mereka akan mampu melaksanakan kegiatan dengan baik. Ibaratnya kalau mereka akan membangun jembatan dengan biaya Rp 100 juta, terus sekarang dipotong Rp 30 juta, apakah proyek itu bisa selesai 100 persen. Artinya jembatannya tidak selesai dengan baik. Ini jelas telah merusak sistem yang ada, ada prosedur yang diabaikan,” tambahnya.
Kalau anggota DPRD Bali menolak pemotongan bansos/hibah, unsur pimpinan dewan berbeda lagi. Wakil Ketua DPRD Bali Nyoman Sugawa Korry dari Fraksi Golkar secara terpisah, Sabtu kemarin, mengatakan APBD Induk 2019 sudah diketok palu. Semua proses pun sudah dilalui. “Jadi tidak mungkin akan dievaluasi lagi angkanya. Karena sudah diketok palu. Memang ada verifikasi awalnya, tetapi pusat bisa menambah bisa mengurangi. Namanya rasionalisasi,” kata politisi asal Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, ini.
Sementara Gubernur Bali Wayan Koster belum bisa dimintai komentar. Saat dihubungi NusaBali melalui ponselnya tidak aktif. Sementara Plt Kepala Biro Humas dan Protokol Pemprov Bali Gede Darmawan dikonfirmasi mengatakan masih ada kegiatan adat di kampung. “Saya masih ada kegiatan adat di kampung, nanti saya hubungi balik,” ujarnya. *nat
1
Komentar