Disusun dari 100.000 Keping Kulit Bambu, Habiskan 12 Kilogram Lem
Untuk membuat kulit luar ogoh-ogoh diperlukan 30 batang bambu tutul sepanjang 4-5 meter dengan diamater sekitar 10 cm. Kulit bambu tutul dipotong seukuran 4 cm x 2 cm untuk ‘membungkus’ seluruh badan ogoh-ogoh.
Ogoh-ogoh Karya ST Dharma Dwipa Banjar Adat Ketapang, Kelurahan Lelateng, Negara, Jembrana, Terbuat dari Kulit Bambu
NEGARA, NusaBali
Serangkaian Hari Suci Nyepi Tahun Saka 1941, Sekaa Teruna (ST) Dharma Dwipa, Banjar Adat Ketapang, Lingkungan Ketapang, Kelurahan Lelateng, Kecamatan Negara, Jembrana, membuat ogoh-ogoh yang cukup menarik, unik, dan tingkat kerumitan yang patut diacungi jempol. Tidak sekadar menonjolkan penggunaan bahan ramah lingkungan, kulit luar ogoh-ogoh yang dinamai ‘Geseng-Gesing’ ini menggunakan sekitar 100.000 keping kulit bambu. Seratusan ribu kulit bambu tersebut dipasang satu per satu hingga menyelimuti seluruh tubuh ogoh-ogoh dengan tinggi 2,7 meter tersebut.
Kepingan kulit bambu berbentuk persegi panjang itu, lebarnya sekitar 4 centimeter x 2 centimter hingga 1 centimeter. Kulit bambu yang berukuran kecil tersebut sengaja dipotong tipis-tipis untuk mempermudah pemasangan, sesuai lekukan otot tubuh ogoh-ogoh.
“Yang membuat potongan kulit bambu ini, semua dilakukan anggota sekaa teruna di sini. Bambu yang kami gunakan untuk kulit ogoh-ogoh ini khusus jenis bambu tutul, karena bambu tutul memiliki corak, dan bisa kelihatan lebih menarik,” ujar I Putu Sudarta, 31, koordinator penggarap ogoh-ogoh ‘Geseng-Gesing’, didampingi sejumlah anggota ST Dharma Dwipa di Bale Banjar Adat Ketapang, Jumat (22/2).
Putu Sudarta yang akrab disapa Goplong, ini mengatakan ogoh-ogoh ‘Geseng–Gesing’ kini sudah rampung 100 persen. Ogoh-ogoh tersebut digarap mulai awal Januari lalu. Sebelum digarap, dia sudah merancang pembuatan ogoh-ogoh tanpa menggunakan styrofoam, dan memilih bambu sebagai bahan utama.
“Ini kebanyakan menggunakan bambu. Kerangka kami gunakan ulat-ulatan bambu, dan kami bungkus pakai koran sebagai pelapis, baru kemudian ditempeli kepingan kulit bambu tutul ini,” kata pria yang kesehariannya bekerja sebagai sopir truk lintas Provinsi Jawa–Bali.
Sebelum dipasang, Goplong yang rutin sebagai kreator pembuatan ogoh-ogoh di ST Dharma Dwipa ini lebih dulu membuat kepingan kulit bambu tutul. Untuk mengumpulkan sekitar 100 ribu keping kulit bambu yang dibuat bersama sejumlah anggota ST itu, memakan waktu sekitar dua pekan. Sedangkan untuk menempel kepingan bambu tersebut, memakan waktu sekitar tiga pekan.
“Penggarapannya kami lakukan setiap hari, dari sekitar pukul 13.00 Wita sampai dini hari sekitar pukul 03.00 Wita. Saya sendiri memang tidak menghitung berapa jumlah kepingan kulit bambu ini, tetapi ada sekitar 100.000, bahkan kemungkinan lebih. Selama hampir dua pekan membuat kepingan kulit bambu ini, kemarin terkumpul sampai 3 karung plastik,” ungkap Goplong yang menambahkan sentuhan pernis sebagai finishing pada rangkaian kulit ogoh-ogoh tersebut.
Menurutnya, ada sekitar 30 batang bambu tutul sepanjang sekitar 4-5 meter dengan diamater sekitar 10 centimeter yang dihabiskan untuk membuat kepingan tersebut. Sementara untuk rangka ogoh-ogoh juga menghabiskan sekitar 30-an batang bambu gesing atau bambu duri. Begitu juga untuk sanan (penyangga) ogoh-ogoh ‘Geseng-Gesing’ yang juga akan dilengkapi ogoh-ogoh dua orang manusia itu, menghabiskan sekitar 20 batang bambu. Untuk menempelkan kulit bambu tersebut menghabiskan 12 kilogram lem.
“Bambu-bambu kami beli di Lingkungan Awen (Kelurahan Lelateng). Sanannya kami juga buat bertingkat agar lebih kuat, dan ada tambahan hiasan-hiasan. Nanti di sanannya, kami juga akan isi hiasan-hiasan pelengkap berbentuk pohon bambu,” ungkapnya.
Sebenarnya, sambung Goplong, untuk bagian cabang kelima leher ogoh-ogoh ‘Geseng-Gesing’ yang dibentuk menyerupai batang bambu itu, awalnya direncanakan menggunakan batang bambu sungguhan. Namun atas pertimbangan beban terhadap ogoh-ogoh itu, akhirnya digunakan bahan kardus. Untuk bagian rambut ogoh-ogoh yang dibentuk menyerupai akar pohon bambu itu, juga sempat direncanakan menggunakan akar bambu sungguhan, tetapi karena sulit mendapatkan akar bambu ukuran besar, akhirnya digunakan bahan koran.
“Kalau pakai batang bambu sungguhan di atas ogoh-ogoh ini, sudah sempat kami coba, tetapi terlalu berat. Dari pada patah ogoh-ogohnya, ya terpaksa ganti kardus,” tuturnya.
Meskipun tidak sampai seluruhnya menggunakan bambu, namun pihaknya memastikan tidak ada sedikit pun styrofoam yang digunakan, dan keseluruhan ogoh-ogoh ini, murni hasil garapannya bersama anggota sekaa teruna setempat. Begitu juga mengenai hiasan ukiran-ukiran pada gelang, kalung, pinggang, serta kepala ogoh-ogoh, itu dibuat secara mandiri dengan menggunakan lem tembak.
Sementara untuk pendanaan, disponsori langsung banjar adat setempat dengan menyiapkan dana sebesar Rp 17 juta, tanpa ada penggalangan dana ke krama/warga. Hingga Jumat (22/2) sudah habis dana sekitar Rp 10 juta.
“Selama pengerjaan, kami juga simpan dokumentasi pembuatan. Karena kemarin, ogoh-ogoh kami ini diikutkan seleksi untuk mengikuti lomba ogoh-ogoh tingkat kabupaten, dan hasilnya lolos untuk ikut lomba saat Pangerupukan (sehari sebelum Nyepi) di catus pata kabupaten nanti,” kata Goplong.
Pada saat lomba ogoh-ogoh nanti, masing-masing sekaa teruna wajib membawakan sinopsis, tetabuhan, serta fragmentasi tari mengenai karya ogoh-ogoh mereka. Hal itu sudah dipersiapkan oleh ST Dharma Dwipa.
Penggunaan bambu itu pun berkaitan dengan ogoh-ogoh yang diberi nama ‘Geseng-Gesing’. Ogoh-ogoh ‘Geseng-Gesing’ yang terdiri dari kata ‘geseng’ yang berarti membakar, menghancurkan atau melebur, serta ‘gesing’ yang merupakan salah satu jenis pohon bambu yang sebelumnya banyak tumbuh di Bali. Ini mengisahkan tentang manusia yang tidak memperhatikan kelestarian alam. Terutama kelestarian pohon bambu yang sangat dibutuhkan sebagai sarana upakara di Bali.
“Dulu di sekitar lingkungan sini (Lingkungan Ketapang), cukup banyak gesing (bambu duri). Bahkan waktu rangkaian Nyepi yang dulu-dulu, biasa membuat jedur-jeduran (mainan meriam) dari batang bambu. Tetapi sekarang sulit mencari bambu. Apalagi kita di Jembrana juga ada kesenian khas Jegog, yang bahannya juga menggunakan bambu. Jadi, intinya ‘Geseng-Gesing’ ini adalah wujud kemurkaan dari alam yang marah dan kecewa terhadap manusia yang tidak memikirkan kondisi alam,” beber Goplong.
Dia memastikan akan membawakan kolaborasi gambelan baleganjur dengan Jegog saat pentas di Catus Pata Kabupaten Jembrana, saat Pangerupukan, Rabu (6/3) mendatang. *ode
NEGARA, NusaBali
Serangkaian Hari Suci Nyepi Tahun Saka 1941, Sekaa Teruna (ST) Dharma Dwipa, Banjar Adat Ketapang, Lingkungan Ketapang, Kelurahan Lelateng, Kecamatan Negara, Jembrana, membuat ogoh-ogoh yang cukup menarik, unik, dan tingkat kerumitan yang patut diacungi jempol. Tidak sekadar menonjolkan penggunaan bahan ramah lingkungan, kulit luar ogoh-ogoh yang dinamai ‘Geseng-Gesing’ ini menggunakan sekitar 100.000 keping kulit bambu. Seratusan ribu kulit bambu tersebut dipasang satu per satu hingga menyelimuti seluruh tubuh ogoh-ogoh dengan tinggi 2,7 meter tersebut.
Kepingan kulit bambu berbentuk persegi panjang itu, lebarnya sekitar 4 centimeter x 2 centimter hingga 1 centimeter. Kulit bambu yang berukuran kecil tersebut sengaja dipotong tipis-tipis untuk mempermudah pemasangan, sesuai lekukan otot tubuh ogoh-ogoh.
“Yang membuat potongan kulit bambu ini, semua dilakukan anggota sekaa teruna di sini. Bambu yang kami gunakan untuk kulit ogoh-ogoh ini khusus jenis bambu tutul, karena bambu tutul memiliki corak, dan bisa kelihatan lebih menarik,” ujar I Putu Sudarta, 31, koordinator penggarap ogoh-ogoh ‘Geseng-Gesing’, didampingi sejumlah anggota ST Dharma Dwipa di Bale Banjar Adat Ketapang, Jumat (22/2).
Putu Sudarta yang akrab disapa Goplong, ini mengatakan ogoh-ogoh ‘Geseng–Gesing’ kini sudah rampung 100 persen. Ogoh-ogoh tersebut digarap mulai awal Januari lalu. Sebelum digarap, dia sudah merancang pembuatan ogoh-ogoh tanpa menggunakan styrofoam, dan memilih bambu sebagai bahan utama.
“Ini kebanyakan menggunakan bambu. Kerangka kami gunakan ulat-ulatan bambu, dan kami bungkus pakai koran sebagai pelapis, baru kemudian ditempeli kepingan kulit bambu tutul ini,” kata pria yang kesehariannya bekerja sebagai sopir truk lintas Provinsi Jawa–Bali.
Sebelum dipasang, Goplong yang rutin sebagai kreator pembuatan ogoh-ogoh di ST Dharma Dwipa ini lebih dulu membuat kepingan kulit bambu tutul. Untuk mengumpulkan sekitar 100 ribu keping kulit bambu yang dibuat bersama sejumlah anggota ST itu, memakan waktu sekitar dua pekan. Sedangkan untuk menempel kepingan bambu tersebut, memakan waktu sekitar tiga pekan.
“Penggarapannya kami lakukan setiap hari, dari sekitar pukul 13.00 Wita sampai dini hari sekitar pukul 03.00 Wita. Saya sendiri memang tidak menghitung berapa jumlah kepingan kulit bambu ini, tetapi ada sekitar 100.000, bahkan kemungkinan lebih. Selama hampir dua pekan membuat kepingan kulit bambu ini, kemarin terkumpul sampai 3 karung plastik,” ungkap Goplong yang menambahkan sentuhan pernis sebagai finishing pada rangkaian kulit ogoh-ogoh tersebut.
Menurutnya, ada sekitar 30 batang bambu tutul sepanjang sekitar 4-5 meter dengan diamater sekitar 10 centimeter yang dihabiskan untuk membuat kepingan tersebut. Sementara untuk rangka ogoh-ogoh juga menghabiskan sekitar 30-an batang bambu gesing atau bambu duri. Begitu juga untuk sanan (penyangga) ogoh-ogoh ‘Geseng-Gesing’ yang juga akan dilengkapi ogoh-ogoh dua orang manusia itu, menghabiskan sekitar 20 batang bambu. Untuk menempelkan kulit bambu tersebut menghabiskan 12 kilogram lem.
“Bambu-bambu kami beli di Lingkungan Awen (Kelurahan Lelateng). Sanannya kami juga buat bertingkat agar lebih kuat, dan ada tambahan hiasan-hiasan. Nanti di sanannya, kami juga akan isi hiasan-hiasan pelengkap berbentuk pohon bambu,” ungkapnya.
Sebenarnya, sambung Goplong, untuk bagian cabang kelima leher ogoh-ogoh ‘Geseng-Gesing’ yang dibentuk menyerupai batang bambu itu, awalnya direncanakan menggunakan batang bambu sungguhan. Namun atas pertimbangan beban terhadap ogoh-ogoh itu, akhirnya digunakan bahan kardus. Untuk bagian rambut ogoh-ogoh yang dibentuk menyerupai akar pohon bambu itu, juga sempat direncanakan menggunakan akar bambu sungguhan, tetapi karena sulit mendapatkan akar bambu ukuran besar, akhirnya digunakan bahan koran.
“Kalau pakai batang bambu sungguhan di atas ogoh-ogoh ini, sudah sempat kami coba, tetapi terlalu berat. Dari pada patah ogoh-ogohnya, ya terpaksa ganti kardus,” tuturnya.
Meskipun tidak sampai seluruhnya menggunakan bambu, namun pihaknya memastikan tidak ada sedikit pun styrofoam yang digunakan, dan keseluruhan ogoh-ogoh ini, murni hasil garapannya bersama anggota sekaa teruna setempat. Begitu juga mengenai hiasan ukiran-ukiran pada gelang, kalung, pinggang, serta kepala ogoh-ogoh, itu dibuat secara mandiri dengan menggunakan lem tembak.
Sementara untuk pendanaan, disponsori langsung banjar adat setempat dengan menyiapkan dana sebesar Rp 17 juta, tanpa ada penggalangan dana ke krama/warga. Hingga Jumat (22/2) sudah habis dana sekitar Rp 10 juta.
“Selama pengerjaan, kami juga simpan dokumentasi pembuatan. Karena kemarin, ogoh-ogoh kami ini diikutkan seleksi untuk mengikuti lomba ogoh-ogoh tingkat kabupaten, dan hasilnya lolos untuk ikut lomba saat Pangerupukan (sehari sebelum Nyepi) di catus pata kabupaten nanti,” kata Goplong.
Pada saat lomba ogoh-ogoh nanti, masing-masing sekaa teruna wajib membawakan sinopsis, tetabuhan, serta fragmentasi tari mengenai karya ogoh-ogoh mereka. Hal itu sudah dipersiapkan oleh ST Dharma Dwipa.
Penggunaan bambu itu pun berkaitan dengan ogoh-ogoh yang diberi nama ‘Geseng-Gesing’. Ogoh-ogoh ‘Geseng-Gesing’ yang terdiri dari kata ‘geseng’ yang berarti membakar, menghancurkan atau melebur, serta ‘gesing’ yang merupakan salah satu jenis pohon bambu yang sebelumnya banyak tumbuh di Bali. Ini mengisahkan tentang manusia yang tidak memperhatikan kelestarian alam. Terutama kelestarian pohon bambu yang sangat dibutuhkan sebagai sarana upakara di Bali.
“Dulu di sekitar lingkungan sini (Lingkungan Ketapang), cukup banyak gesing (bambu duri). Bahkan waktu rangkaian Nyepi yang dulu-dulu, biasa membuat jedur-jeduran (mainan meriam) dari batang bambu. Tetapi sekarang sulit mencari bambu. Apalagi kita di Jembrana juga ada kesenian khas Jegog, yang bahannya juga menggunakan bambu. Jadi, intinya ‘Geseng-Gesing’ ini adalah wujud kemurkaan dari alam yang marah dan kecewa terhadap manusia yang tidak memikirkan kondisi alam,” beber Goplong.
Dia memastikan akan membawakan kolaborasi gambelan baleganjur dengan Jegog saat pentas di Catus Pata Kabupaten Jembrana, saat Pangerupukan, Rabu (6/3) mendatang. *ode
Komentar