Jangan (Terlalu) Panjang Umur
SUDAH nenek-nenek perempuan itu. Delapan puluh satu tahun ini. Cucunya yang sulung bakal menikah, tentu tak lama lagi dia punya cicit.
Di usia serenta itu dia masih tampak bugar, banyak berkelakar, dan kalau ngomong sering nyeroscos, sulit dihentikan.
Orang-orang senang mengundang nenek ini jadi pembicara. Dia diminta berkisah tentang pengalaman hidup, kiat mencapai usia senja, dan tips-tips menerima kenyataan hidup yang sering pahit. Mereka yang mendengar kisah-kisahnya kebanyakan dari kalangan menjelang pensiun, orang-orang menuju renta yang ingin hidup bahagia di hari tua. Mereka bertanya apa harus dilakukan untuk mencapai panjang usia.
“Tak ada kiat khusus untuk bahagia dan panjang umur,” ujar nenek itu.
Seorang pendengar bertanya, “Tapi nyatanya Ibu bahagia, berusia sampai delapan satu, pasti punya resepnya.”
“Saya hanya menjalani. Kalau ada masalah dan tak ada orang yang saya ajak curhat, saya curhat pada diri sendiri. Sering saya ngomel sendiri, seperti orang begini....,” ujarnya sembari memiringkan telunjuk di depan dahi.
“Tapi, ngomel sendiri kan tidak menyelesaikan masalah, Bu.”
“Paling tidak kita mencoba melepasnya, tidak memendam.”
Si nenek bercerita, orang berumur berkepala tujuh, banyak di sekeliling kita. Tapi yang berkepala delapan sedikit. Acapkali selepas usia delapan puluh, kualitas hidup mulai tertatih-tatih. “Padahal kalau diizinkan, kita ingin berusia lebih sembilan puluh,” ujar si nenek.
“Apakah Ibu juga ingin berusia lebih sembilan puluh?” tanya pendengarnya ketika si nenek menjadi pembicara di kalangan orang-orang lansia penderita diabetes mellitus.
“Semua ingin panjang umur. Tapi kalau terlalu panjang umur, jadi susah juga.”
“Apa susahnya?”
“Kalau kita terlalu panjang umur, masalah juga akan tambah banyak. Kita bisa saja mencapai panjang umur, sehat, dan bahagia. Tapi, masalah kan pasti tetap datang. Jadi, kalau bisa, jangan terlalu panjang umur.”
Yang mendengar saran nenek itu terperanjat. Beberapa orang tertawa kecil, ada yang tersenyum. Baru kali ini mereka mendengar ajakan untuk tidak (terlalu) panjang umur.
“Seberapakah panjang umur itu? Seberapa pula terlalu panjang umur?”
“Saya tidak tahu,” jawab si nenek. “Biasanya kita baru tahu kalau kita mengalami,” jelasnya.
Dia berkisah, tidak sedikit orang yang merasa bosan hidup, dan ingin mati saja. Bukan karena seseorang itu tidak bahagia, tidak pula karena ia tidak sehat. “Mereka sehat, bugar, tapi ingin mati. Apakah ini aneh?” tanya si nenek. “Bisa saja ganjil, bisa juga tidak. Saya pernah mengalami hal semacam itu,” ujarnya menjawab sendiri pertanyaan itu. “Padahal ketika itu saya lagi bahagia, ulang tahun saya dirayakan meriah anak-cucu. Tapi, ada perasaan, repot juga kalau panjang umur.” Si nenek tersenyum, kecantikan masa mudanya masih tampil di sudut-sudut bibirnya yang keriput.
Mungkin itu sebabnya, banyak orang mencoba belajar memilih sendiri hari mati. Mereka ingin mengakhiri hidup ketika sedang menikmati suka cita hidup, sehingga kematian menjadi tujuan, bukan maut yang merenggut. Ada yang berpendapat, manusia sebaiknya berlatih untuk mati. Tapi tidak banyak orang yang sungguh-sungguh mempelajari mati, sehingga kematian menjadi gerbang sakratul maut, bukan sebuah tujuan dari keindahan menghadapi akhir, dan memulai sesuatu yang baru.
“Saya sendiri sedang bersiap menghadapi mati,” ujarnya. “Sebagai orang Bali pemeluk Hindu, kalau mati saya akan diaben, pakaian-pakaian yang dipergunakan membungkus jazad saya sebelum dibakar sudah saya siapkan lengkap. Anak-cucu yang mengurus mayat saya tinggal mengambil pakaian-pakaian itu di almari. Semua sudah saya atur dan sesuai peruntukan,” jelas si nenek. Terlalu panjang umur membuat mati tidak nikmat.”
“Nikmat mati? Apa hubungannya dengan terlalu panjang umur, Bu?” tanya seseorang.
“Tak ada hubungan langsung, memang. Tapi, terlalu panjang umur menyebabkan masalah kian bertimbun. Meski kita bisa mengatasi, tetap menimbulkan endapan, menjadi kerak, seperti gula yang merusak pembuluh darah penderita diabetes. Terlalu panjang umur membuat mati jadi tidak nyaman,” jelas nenek. *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar