Mantan Sekda Badung Didaulat sebagai Bendesa
Subawa : Ini Dharmaning Krama Adat
DENPASAR, NusaBali
Peristiwa langka terjadi di Desa Adat Pagan, Desa Sumerta Kauh, Kecamatan Denpasar Timur. Mantan Sekda Badung, I Wayan Subawa SH MH, didaulat dan dikukuhkan menjadi Bendesa Adat Pagan di Pura Desa setempat pada Radite Kliwon Medangkungan, Minggu (24/2) petang pukul 18.00 Wita.
Ketua Panitia Pmilihan Bendesa Adat Pagan, Wayan Subrata SH MH, mengatakan Wayan Subawa terpilih menjadi bendesa adat tanpa melalui proses pemilihan. Sebab, memang tidak ada pemilihan Bendesa Adat Pagan. Namun, Wayan Subawa yang notabene mantan Penjabat Bupati Badung 2005 naik dan dilantik karena didaulat menjadi bendesa melalui paruman Desa Adat Pagan pada Radite Pon Tambir, Minggu (17/2) lalu.
“Tidak ada pemilihan bendesa adat sebenarnya. Beliau (Wayan Subawa) didaulat menjadi Bendesa Adat Pagan melalui paruman desa adat,” ujar Subrata yang juga mantan Perbekel Sumerta Kauh, Kecamatan Denpasar Timur dua kali periode kepada NusaBali, Minggu kemarin.
Subrata mengatakan, kalau dalam istilah organisasi umum atau partai politik, Subawa boleh dikata terpilih secara aklamasi lewat musyawarah mufakat. Sebab, Subawa muncul sebagai calon tunggal. Dalam awig-awig Desa Adat Pagan, dari 28 banjar adat dan banjar tempekan, yang memiliki hak mengusung calon (pemucuk) hanya 5 banjar, yakni Banjar Pagan Kaja, Banjar Pagan Tengah, Banjar Pagan Kelod, Banjar Kelandis, dan Banjar Yangbatu.
Dari 5 banjar tersebut, 2 di antaranya yakni Banjar Pagan Kaja dan Banjar Pagan Tengah, tidak mengusung calon. Sementara Banjar Pagan Kelod, Banjar Kelandis, Banjar Yangbatu mengusung Subawa. Akhirnya, Subawa ditetapkan menjadi calon tunggal dan kemudian terpilih sebagai Bendesa Adat Pagan.
Subawa merupakan politisi Golkar yang belum genap dua pekan terpilih menjadi Ketua DPD Muryawarah Kekeluargaan Gotong-Royong (MKGR) Provinsi Bali---salah satu Kelompok Induk Organisasi Pendiri Partai Golkar. Subawa sendiri baru saja dilengserkan dari jabatan sebagai Wakil Ketua Bappilu Wilayah Denpasar DPD I Golkar Bali.
Menurut Subrata, alasan mendaulat Subawa sebagai Bendesa Adat Pagan, antara lain, karena pengalaman dan ketokohannya. Selain itu, seperti sudah menjadi jalan ‘niskala’ di mana Subawa didaulat sebagai Bendesa Adat Pagan mengikuti jejak ayahnya, I Ketut Nuada (almarhum). Sang ayah, Ketut Nuada dikenal sebagai seniman Dalang Calonarang yang sempat menjadi anggota DPRD Badung 1977 dari Golkar. “Dalam sejarahnya, orangtua Pak Subawa yakni almarhum Ketut Nuada dulu pernah menjadi Bendesa Adat Pagan,” tegas Subrata.
Sementara itu, Wayan Subawa mengatakan dirinya bersedia menjadi Bendesa Adat Pagan, karena ini mengabdi untuk tanah kelahiran dan krama adat. Tidak ada gengsi bagi Subawa, walaupun sebelumnya dia pernah menduduki jabatan tertinggi di birokrasi sebagai Sekda Badung, bahkan sempat jadi Penjabat Bupati Badung tahun 2005.
”Ini semua karena saya melaksanakan dharmaning krama (kewajiban sebagai krama adat, Red). Di desa adat itu tidak mengenal pernah jadi apa, statusnya pejabat negara atau bukan. Tapi, ketika krama sudah menugaskan, maka harus siap. Inilah saya maksud melaksanakan dharmaning krama,” tandas Subawa saat dikonfirmasi NusaBali, Minggu kemarin.
Menurut Subawa, menjadi bendesa adat atau mengabdi untuk krama adat adalah ‘penebusan dosa’, bukan atas gaya-gayaan dan sombong. “Dalam Itihasa Mahabharata yang saya ketahui, disebutkan seusai Perang Bharata Yudha, Bhagawan Wyasa menyampaikan kepada Yudhistira supaya mengabdi kepada masyarakat secara tulus ikhlas, sebagai seorang pemimpin,” katanya.
“Pengabdian tersebut sebagai bagian dari penebusan dosa. Yudhistira itu didaulat menjadi raja dan bersedia, karena untuk penebusan dosa-dosanya. Bukan untuk gaya-gayaan, bukan semata-mata untuk kekuasaan, apalagi untuk kesombongan,” lanjut alumnu Fakultas Hukum Unud tahun 1981 yang juga mantan Calon Walikota Denpasar di Pilkada 2010 ini.
Subawa mengatakan, dirinya mengapresiasi hasil pemilihan dengan proses muryawarah dan mufakat di Desa Adat Pagan yang mendaulatnya sebagai bendesa adat. Diharapkan proses seperti ini nantinya bisa menjadi tradisi di Bali, tak harus voting-votingan dalam pemilihan bendesa adat. “Saya pribadi ingin tradisi pemilihan bendesa adat secara muryawarah ini bisa dilestarikan di Bali. Suasananya teduh dan ini juga sudah sejalan dengan pengamalan sila keempat dari Pancasila,” papar Subawa.
Ditanya soal program ke depan ketika memimpin Desa Adat Pagan, Subawa tidak bersedia merincinya. “Sudah segitu dulu. Yang jelas, program kerja sudah saya siapkan, ini masih rapat pengukuhan,” elak suami dari Ni Nyoman Sumawati ini. *nat
Ketua Panitia Pmilihan Bendesa Adat Pagan, Wayan Subrata SH MH, mengatakan Wayan Subawa terpilih menjadi bendesa adat tanpa melalui proses pemilihan. Sebab, memang tidak ada pemilihan Bendesa Adat Pagan. Namun, Wayan Subawa yang notabene mantan Penjabat Bupati Badung 2005 naik dan dilantik karena didaulat menjadi bendesa melalui paruman Desa Adat Pagan pada Radite Pon Tambir, Minggu (17/2) lalu.
“Tidak ada pemilihan bendesa adat sebenarnya. Beliau (Wayan Subawa) didaulat menjadi Bendesa Adat Pagan melalui paruman desa adat,” ujar Subrata yang juga mantan Perbekel Sumerta Kauh, Kecamatan Denpasar Timur dua kali periode kepada NusaBali, Minggu kemarin.
Subrata mengatakan, kalau dalam istilah organisasi umum atau partai politik, Subawa boleh dikata terpilih secara aklamasi lewat musyawarah mufakat. Sebab, Subawa muncul sebagai calon tunggal. Dalam awig-awig Desa Adat Pagan, dari 28 banjar adat dan banjar tempekan, yang memiliki hak mengusung calon (pemucuk) hanya 5 banjar, yakni Banjar Pagan Kaja, Banjar Pagan Tengah, Banjar Pagan Kelod, Banjar Kelandis, dan Banjar Yangbatu.
Dari 5 banjar tersebut, 2 di antaranya yakni Banjar Pagan Kaja dan Banjar Pagan Tengah, tidak mengusung calon. Sementara Banjar Pagan Kelod, Banjar Kelandis, Banjar Yangbatu mengusung Subawa. Akhirnya, Subawa ditetapkan menjadi calon tunggal dan kemudian terpilih sebagai Bendesa Adat Pagan.
Subawa merupakan politisi Golkar yang belum genap dua pekan terpilih menjadi Ketua DPD Muryawarah Kekeluargaan Gotong-Royong (MKGR) Provinsi Bali---salah satu Kelompok Induk Organisasi Pendiri Partai Golkar. Subawa sendiri baru saja dilengserkan dari jabatan sebagai Wakil Ketua Bappilu Wilayah Denpasar DPD I Golkar Bali.
Menurut Subrata, alasan mendaulat Subawa sebagai Bendesa Adat Pagan, antara lain, karena pengalaman dan ketokohannya. Selain itu, seperti sudah menjadi jalan ‘niskala’ di mana Subawa didaulat sebagai Bendesa Adat Pagan mengikuti jejak ayahnya, I Ketut Nuada (almarhum). Sang ayah, Ketut Nuada dikenal sebagai seniman Dalang Calonarang yang sempat menjadi anggota DPRD Badung 1977 dari Golkar. “Dalam sejarahnya, orangtua Pak Subawa yakni almarhum Ketut Nuada dulu pernah menjadi Bendesa Adat Pagan,” tegas Subrata.
Sementara itu, Wayan Subawa mengatakan dirinya bersedia menjadi Bendesa Adat Pagan, karena ini mengabdi untuk tanah kelahiran dan krama adat. Tidak ada gengsi bagi Subawa, walaupun sebelumnya dia pernah menduduki jabatan tertinggi di birokrasi sebagai Sekda Badung, bahkan sempat jadi Penjabat Bupati Badung tahun 2005.
”Ini semua karena saya melaksanakan dharmaning krama (kewajiban sebagai krama adat, Red). Di desa adat itu tidak mengenal pernah jadi apa, statusnya pejabat negara atau bukan. Tapi, ketika krama sudah menugaskan, maka harus siap. Inilah saya maksud melaksanakan dharmaning krama,” tandas Subawa saat dikonfirmasi NusaBali, Minggu kemarin.
Menurut Subawa, menjadi bendesa adat atau mengabdi untuk krama adat adalah ‘penebusan dosa’, bukan atas gaya-gayaan dan sombong. “Dalam Itihasa Mahabharata yang saya ketahui, disebutkan seusai Perang Bharata Yudha, Bhagawan Wyasa menyampaikan kepada Yudhistira supaya mengabdi kepada masyarakat secara tulus ikhlas, sebagai seorang pemimpin,” katanya.
“Pengabdian tersebut sebagai bagian dari penebusan dosa. Yudhistira itu didaulat menjadi raja dan bersedia, karena untuk penebusan dosa-dosanya. Bukan untuk gaya-gayaan, bukan semata-mata untuk kekuasaan, apalagi untuk kesombongan,” lanjut alumnu Fakultas Hukum Unud tahun 1981 yang juga mantan Calon Walikota Denpasar di Pilkada 2010 ini.
Subawa mengatakan, dirinya mengapresiasi hasil pemilihan dengan proses muryawarah dan mufakat di Desa Adat Pagan yang mendaulatnya sebagai bendesa adat. Diharapkan proses seperti ini nantinya bisa menjadi tradisi di Bali, tak harus voting-votingan dalam pemilihan bendesa adat. “Saya pribadi ingin tradisi pemilihan bendesa adat secara muryawarah ini bisa dilestarikan di Bali. Suasananya teduh dan ini juga sudah sejalan dengan pengamalan sila keempat dari Pancasila,” papar Subawa.
Ditanya soal program ke depan ketika memimpin Desa Adat Pagan, Subawa tidak bersedia merincinya. “Sudah segitu dulu. Yang jelas, program kerja sudah saya siapkan, ini masih rapat pengukuhan,” elak suami dari Ni Nyoman Sumawati ini. *nat
Komentar