MUTIARA WEDA : Kehadiran Ista Dewata, Apakah Rintangan?
Semua menciptakan rintangan, diantaranya Darsana, Srawana, Boddhawya, Gandha.
Sakala magawe wighna, lwirnya hana si darsana ngaranya, hana si srawana ngaranya, hana si boddhawya ngaranya, hana si gandha ngaranya.
(Wrhaspati Tattwa, 74).
TIDAK hanya dalam kehidupan sehari-hari, pendakian sadhana juga memiliki rintangan di setiap sudutnya. Menurut Wrhaspati Tattwa, ketika seseorang menapaki jalan spiritual, ada tiga rintangan besar yang muncul dari tri guna (sattwam, rajas, tamas). Jika saat meditasi badan terasa berat, besar, dingin, gelap, dan bingung, ini artinya rintangan tamas. Jika merasa badan goyang, terangkat, terhempas, dan berputar-putar, ini merupakan rintangan rajas. Sementara rintangan sattwam adalah darsana, srawana, boddhawya, dan gandha sebagaimana teks di atas. Rintangan yang paling sulit diatasi adalah sattwam ini, karena sifatnya sangat halus, sepenuhnya berada dalam indera dan pikiran.
Rintangan darsana artinya melihat wujud Dewata pada saat melaksanakan Yoga. Selama ini, sebagian besar orang menganggap bahwa hadirnya wujud Dewata di dalam Yoga merupakan sebuah keberhasilan. Mereka menganggap bahwa meditasinya berhasil dan telah mencapai final. Sementara menurut teks di atas, ini hanyalah gangguan yang muncul dari guna sattwika. Ini adalah halusinasi tingkat halus yang ada dalam pikiran. Yoga Sutra Patanjali menyebut ini sebagai vikalpa vrtti (imajinasi pikiran). Bahkan sering pula kehadiran wujud tersebut terasa sangat nyata, dan dalam kasus tertentu lebih nyata dibandingkan dunia ini.
Rintangan kedua dari guna sattwam adalah srawana, yakni mendengar suara halus, kesan seolah-olah telah mencapai kesempurnaan. Banyak dari mereka yang telah mahir dalam Yoga kerap mengalami ini. Mereka mendengar suara sangat halus yang mengindikasikan hal tertentu. Rintangan ketiga adalah boddhawya, kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang rumit, seperti misalnya mampu mengetahui makna teks suci yang belum pernah dipelajari dan seterusnya. Banyak dari mereka yang mahir dalam Yoga tiba-tiba mampu mengetahui sesuatu yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Tiba-tiba dirinya mampu menggambarkan sesuatu secara jelas tanpa melalui proses belajar. Menurut teks di atas, ini bukanlah capaian, melainkan rintangan. Terakhir, gandha, yakni mencium bau harum, seolah-olah itu adalah harumnya sorga. Ini adalah jenis rintangan sattwika yang sangat halus.
Jika indikasi tersebut adalah rintangan dan bukan capaian, lalu bagaimana dengan model kerauhan dalam pelaksanaan ritual di Bali? Apakah kasus ini berbeda? Atau bisa dilihat pada Balian Sonteng, Balian Katakson, dan yang sejenisnya. Apakah Ida Bhatara yang dihadirkan itu bukan merupakan rintangan seperti yang dimaksud di atas? Atau, mereka yang ketika melakukan meditasi, tiba-tiba Istadewatanya hadir, kemudian mereka tiba-tiba memudra (gerak tangan) dengan sangat baik padahal itu tidak pernah dipelajari sebelumnya, juga melafalkan mantra tertentu secara fasih yang juga belum pernah dibaca sebelumnya, bahkan Ista Dewata tersebut bisa dimohon untuk memberikan wejangan. Apakah semua itu rintangan?
Bagi kita yang tidak pernah memasuki dimensi itu tentu sulit menjawabnya, karena apapun jawaban yang diberikan hanya berupa kira-kira pikiran kita sendiri. Tetapi, di dalam Yoga Sutra Patanjali disebutkan bahwa di dalam samyama, segala bentuk ke-sidhi-an itu bisa dihadirkan dalam kehidupan seseorang ketika yoganya telah mencapai titik akhir. Hanya saja, sidhi tersebut bukanlah capaian, melainkan hadiah dari proses sadhana yang dilaksanakan. Sidhi tersebut masih berada di bawah tri guna yang akan dengan mudah dikuasai oleh ego. Jika hal tersebut terus-menerus digunakan, tidak tertutup kemungkinan ego akan menguasai seseorang. Hal ini sering disebut sebagai kejatuhan spiritual. Mengapa? Karena apapun bentuk sidhi itu pada prinsipnya adalah materi. Jika itu materi, tentu berada di bawah tri guna. Jika berada di bawah tri guna tentu secara otomatis di bawah pengaruh maya. Kalau demikian halnya, lalu apa yang bisa dikalukan? Adi Sankacacharya memberikan formula yang bisa diikuti, yakni: Viveka, Vairagya, Sat Sampa tti, dan Mumuksutva. Jika keempat ini bisa diikuti, tentu praktik Yoga yang dilakukan akan bisa selamat dari rintangan-rintangan yang menghanyutkan tersebut. Rintangan tersebut sungguh sangat memabukkan, sebab sejalan dengan keinginan-keinginan kita. *
I Gede Suwantana
TIDAK hanya dalam kehidupan sehari-hari, pendakian sadhana juga memiliki rintangan di setiap sudutnya. Menurut Wrhaspati Tattwa, ketika seseorang menapaki jalan spiritual, ada tiga rintangan besar yang muncul dari tri guna (sattwam, rajas, tamas). Jika saat meditasi badan terasa berat, besar, dingin, gelap, dan bingung, ini artinya rintangan tamas. Jika merasa badan goyang, terangkat, terhempas, dan berputar-putar, ini merupakan rintangan rajas. Sementara rintangan sattwam adalah darsana, srawana, boddhawya, dan gandha sebagaimana teks di atas. Rintangan yang paling sulit diatasi adalah sattwam ini, karena sifatnya sangat halus, sepenuhnya berada dalam indera dan pikiran.
Rintangan darsana artinya melihat wujud Dewata pada saat melaksanakan Yoga. Selama ini, sebagian besar orang menganggap bahwa hadirnya wujud Dewata di dalam Yoga merupakan sebuah keberhasilan. Mereka menganggap bahwa meditasinya berhasil dan telah mencapai final. Sementara menurut teks di atas, ini hanyalah gangguan yang muncul dari guna sattwika. Ini adalah halusinasi tingkat halus yang ada dalam pikiran. Yoga Sutra Patanjali menyebut ini sebagai vikalpa vrtti (imajinasi pikiran). Bahkan sering pula kehadiran wujud tersebut terasa sangat nyata, dan dalam kasus tertentu lebih nyata dibandingkan dunia ini.
Rintangan kedua dari guna sattwam adalah srawana, yakni mendengar suara halus, kesan seolah-olah telah mencapai kesempurnaan. Banyak dari mereka yang telah mahir dalam Yoga kerap mengalami ini. Mereka mendengar suara sangat halus yang mengindikasikan hal tertentu. Rintangan ketiga adalah boddhawya, kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang rumit, seperti misalnya mampu mengetahui makna teks suci yang belum pernah dipelajari dan seterusnya. Banyak dari mereka yang mahir dalam Yoga tiba-tiba mampu mengetahui sesuatu yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Tiba-tiba dirinya mampu menggambarkan sesuatu secara jelas tanpa melalui proses belajar. Menurut teks di atas, ini bukanlah capaian, melainkan rintangan. Terakhir, gandha, yakni mencium bau harum, seolah-olah itu adalah harumnya sorga. Ini adalah jenis rintangan sattwika yang sangat halus.
Jika indikasi tersebut adalah rintangan dan bukan capaian, lalu bagaimana dengan model kerauhan dalam pelaksanaan ritual di Bali? Apakah kasus ini berbeda? Atau bisa dilihat pada Balian Sonteng, Balian Katakson, dan yang sejenisnya. Apakah Ida Bhatara yang dihadirkan itu bukan merupakan rintangan seperti yang dimaksud di atas? Atau, mereka yang ketika melakukan meditasi, tiba-tiba Istadewatanya hadir, kemudian mereka tiba-tiba memudra (gerak tangan) dengan sangat baik padahal itu tidak pernah dipelajari sebelumnya, juga melafalkan mantra tertentu secara fasih yang juga belum pernah dibaca sebelumnya, bahkan Ista Dewata tersebut bisa dimohon untuk memberikan wejangan. Apakah semua itu rintangan?
Bagi kita yang tidak pernah memasuki dimensi itu tentu sulit menjawabnya, karena apapun jawaban yang diberikan hanya berupa kira-kira pikiran kita sendiri. Tetapi, di dalam Yoga Sutra Patanjali disebutkan bahwa di dalam samyama, segala bentuk ke-sidhi-an itu bisa dihadirkan dalam kehidupan seseorang ketika yoganya telah mencapai titik akhir. Hanya saja, sidhi tersebut bukanlah capaian, melainkan hadiah dari proses sadhana yang dilaksanakan. Sidhi tersebut masih berada di bawah tri guna yang akan dengan mudah dikuasai oleh ego. Jika hal tersebut terus-menerus digunakan, tidak tertutup kemungkinan ego akan menguasai seseorang. Hal ini sering disebut sebagai kejatuhan spiritual. Mengapa? Karena apapun bentuk sidhi itu pada prinsipnya adalah materi. Jika itu materi, tentu berada di bawah tri guna. Jika berada di bawah tri guna tentu secara otomatis di bawah pengaruh maya. Kalau demikian halnya, lalu apa yang bisa dikalukan? Adi Sankacacharya memberikan formula yang bisa diikuti, yakni: Viveka, Vairagya, Sat Sampa tti, dan Mumuksutva. Jika keempat ini bisa diikuti, tentu praktik Yoga yang dilakukan akan bisa selamat dari rintangan-rintangan yang menghanyutkan tersebut. Rintangan tersebut sungguh sangat memabukkan, sebab sejalan dengan keinginan-keinginan kita. *
I Gede Suwantana
Komentar