Didakwa Bikin Onar Melalui Hoax, Ratna Teriak Soal Politisasi
Ratna Sarumpaet didakwa membuat keonaran dengan menyebarkan hoax penganiayaan dalam sidang perdana di PN Jakarta Selatan, Kamis (28/2).
JAKARTA, NusaBali
Meski mengaku bersalah, terdakwa yang mantan pentolan Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianti-Sandiaga Uno (Capres-Cawapres nomor urut 02) ini mengaku dirinya ditangkap karena politisasi.
Dalam sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan di PN Jakarta Selatan, Kamis kemarin, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Ratna Sarumpaet sengaja membuat kegaduhan lewat cerita dan foto-foto wajah lebam dan bengkak, yang disebut akibat penganiayaan. "(Terdakwa) Menceritakan mengenai penganiayaan dan mengirimkan foto dalam keadaan bengkak, yang merupakan rangkaian kebohongan terdakwa untuk mendapat perhatian dari masyarakat, termasuk Tim Pemenangan Prabowo-Sandiaga Uno," ujar JPU dalam surat dakwaannya yang dilansir detikcom kemarin.
JPU menguraikan rangkaian kebohongan yang dilakukan Ratna lewat pesan WhatsApp, termasuk menyebarkan foto-foto wajah yang lebam dan bengkak. Puncak dari kebohongan Ratna, Capres Prabowo menggelar jumpa pers, 2 Oktober 2018. "Yang disampaikan Prabowo Subianto tentang terjadinya penganiayaan yang dialami terdakwa. Padahal, wajah lebam dan bengkak terdakwa merupakan akibat tindakan medis operasi perbaikan muka atau tarik muka, pengencangan kulit muka di rumah sakit khusus bedah Bina Estetika di Menteng," tandas JPU.
Akibat rangkaian kebohongan Ratna, masyarakat menjadi gaduh. Muncul juga sejumlah unjuk rasa karena kasus hoax Ratna ini. Atas perbuatannya, terdakwa Ratna Sarumpaet dijerat Pasal 14 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45 A ayat (2) UU No 19 Tahun 2016 tentang ITE
Terdakwa Ratna Sarumpaet sendiri mengaku salah soal hoax penganiayaan. Ratna mengaku siap dipenjara. Namun, dia ingin perkaranya dibuka terang benderang di persidangan. "Saya ingin menyampaikan sebagai warga negara yang sedang harus berhadapan dengan pengadilan. Dari pengalaman yang saya rasakan sejak saya ditangkap dan dari apa yang saya ketahui, baik melalui bacaan, baik melalui ahli dan lain-lain, saya memang betul melakukan kesalahan," kata Ratna menanggapi dakwaan JPU.
Namun demikian, Ratna menilai kasus hoax yang didakwakan terhadap dirinya bernuansa politis. Menurut Ratna, polisi tidak perlu menangkap dirinya lantaran berbohong soal luka lebam di wajah. "Aku cuma secara umum minta, karena aku merasa ini semua politisasi, penangkapan saya politisasi. Aku anggap nggak harus ditangkap juga, toh bisa lihat tiketnya juga kok yang kayak gitu-gitu," jelas setibanya di Mpolda Metro Jaya seusai menjalani sidang perdana, Kamis siang.
Ratna mengatakan ada beberapa poin dakwaan jaksa yang tidak sejalan dengan pendapatnya. Namun, Ratna enggan mengungkap poin-poin apa saja dari dakwaan jaksa yang menurutnya tidak sesuai dengan fakta tersebut. Dia akan mengungkap masalah tersebut di persidangan berikutnya. "Saya nggak mau sebut itu sekarang, nggak enak sama kejaksaaannya. Jadi, nanti kita bertarungnya di dalam (sidang pengadilan) saja," imbuhnya.
Sementara itu, Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin (Capres-Cawapres nomor urut 01) tepis tudingan Ratna soal politisasi dalam kasus hoax tersebut. Mereka balik menuding Ratna-lah yang sejak awal berpolitik untuk menjatuhkan Jokowi.
"Polisi bekerja berdasar fakta dan data, bukan opini. Jadi, tidak benar polisi mempolitisasi, justru Mbak Ratna yang berpolitik karena berbohong atau mendiamkan kebohongan untuk menyerang Jokowi. Tapi, saya setuju dengan dia soal klarifikasi di dalam persidangan, bukan di media. Kita tunggu saja," tandas influencer TKN Jokowi-Ma'ruf, Eva Kusuma Sundari, kepada wartawan di Jakarta, Kamis kemarin.
Eva mengaku menunggu kejujuran Ratna yang seutuhnya di ruang sidang. Eva lalu berbicara soal akhlak yang seharusnya menjadi pertimbangan Ratna sebelum beraksi. "Mauku Mbak Ratna tidak tanggung untuk jujur, perspektif akhlak tetap ada ketika mengakui bahwa dia memang bohong. Berbohong untuk politik itu amat tidak berakhlak, karena merugikan pihak lain dan bukan pendidikan politik yang baik," tegas Srikandi PDIP ini.
Eva berharap Ratna membuka siapa aktor intelektual di balik kasus hoax tersebut. Eva juga menyayangkan sikap Ratna yang hanya diam saat sejumlah elite di kubu Prabowo-Sandi membeberkan soal penganiayaan yang dialaminya, sebelum akhirnya terbongkar wajah lebam itu disebabkan oleh operasi plastik.
"Semoga dia membuka konspirasi pembohongan publik yang sedang berlangsung karena kita tahu bahwa dia diam dan mendiamkan ketika ada tokoh lain yang kapitalisasi dengan menyebarkan berita-berita bohong. Mereka tahu bahwa RS (Ratna Sarumpaet) tahu bahwa mereka bohong nggak? Dia harus bantu polisi membongkar motif hoax," kata anggota DPR RI ini.
Di sisi lain, majelis hakim yang menyidangkan kasus hoax Ratna Sarumpaet menegaskan pengadilan tidak politis. Pengadilan sama sekali tidak terkait dengan politik dalam menyidangkan kasus ini. "Yang diadili di sini adalah perbuatan. Kita tidak terikat, tidak ikut-ikutan. Pengadilan tidak ikut-ikutan dengan masalah politik," ujar Ketua Majelis Hakim, Joni. *
Meski mengaku bersalah, terdakwa yang mantan pentolan Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianti-Sandiaga Uno (Capres-Cawapres nomor urut 02) ini mengaku dirinya ditangkap karena politisasi.
Dalam sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan di PN Jakarta Selatan, Kamis kemarin, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Ratna Sarumpaet sengaja membuat kegaduhan lewat cerita dan foto-foto wajah lebam dan bengkak, yang disebut akibat penganiayaan. "(Terdakwa) Menceritakan mengenai penganiayaan dan mengirimkan foto dalam keadaan bengkak, yang merupakan rangkaian kebohongan terdakwa untuk mendapat perhatian dari masyarakat, termasuk Tim Pemenangan Prabowo-Sandiaga Uno," ujar JPU dalam surat dakwaannya yang dilansir detikcom kemarin.
JPU menguraikan rangkaian kebohongan yang dilakukan Ratna lewat pesan WhatsApp, termasuk menyebarkan foto-foto wajah yang lebam dan bengkak. Puncak dari kebohongan Ratna, Capres Prabowo menggelar jumpa pers, 2 Oktober 2018. "Yang disampaikan Prabowo Subianto tentang terjadinya penganiayaan yang dialami terdakwa. Padahal, wajah lebam dan bengkak terdakwa merupakan akibat tindakan medis operasi perbaikan muka atau tarik muka, pengencangan kulit muka di rumah sakit khusus bedah Bina Estetika di Menteng," tandas JPU.
Akibat rangkaian kebohongan Ratna, masyarakat menjadi gaduh. Muncul juga sejumlah unjuk rasa karena kasus hoax Ratna ini. Atas perbuatannya, terdakwa Ratna Sarumpaet dijerat Pasal 14 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45 A ayat (2) UU No 19 Tahun 2016 tentang ITE
Terdakwa Ratna Sarumpaet sendiri mengaku salah soal hoax penganiayaan. Ratna mengaku siap dipenjara. Namun, dia ingin perkaranya dibuka terang benderang di persidangan. "Saya ingin menyampaikan sebagai warga negara yang sedang harus berhadapan dengan pengadilan. Dari pengalaman yang saya rasakan sejak saya ditangkap dan dari apa yang saya ketahui, baik melalui bacaan, baik melalui ahli dan lain-lain, saya memang betul melakukan kesalahan," kata Ratna menanggapi dakwaan JPU.
Namun demikian, Ratna menilai kasus hoax yang didakwakan terhadap dirinya bernuansa politis. Menurut Ratna, polisi tidak perlu menangkap dirinya lantaran berbohong soal luka lebam di wajah. "Aku cuma secara umum minta, karena aku merasa ini semua politisasi, penangkapan saya politisasi. Aku anggap nggak harus ditangkap juga, toh bisa lihat tiketnya juga kok yang kayak gitu-gitu," jelas setibanya di Mpolda Metro Jaya seusai menjalani sidang perdana, Kamis siang.
Ratna mengatakan ada beberapa poin dakwaan jaksa yang tidak sejalan dengan pendapatnya. Namun, Ratna enggan mengungkap poin-poin apa saja dari dakwaan jaksa yang menurutnya tidak sesuai dengan fakta tersebut. Dia akan mengungkap masalah tersebut di persidangan berikutnya. "Saya nggak mau sebut itu sekarang, nggak enak sama kejaksaaannya. Jadi, nanti kita bertarungnya di dalam (sidang pengadilan) saja," imbuhnya.
Sementara itu, Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin (Capres-Cawapres nomor urut 01) tepis tudingan Ratna soal politisasi dalam kasus hoax tersebut. Mereka balik menuding Ratna-lah yang sejak awal berpolitik untuk menjatuhkan Jokowi.
"Polisi bekerja berdasar fakta dan data, bukan opini. Jadi, tidak benar polisi mempolitisasi, justru Mbak Ratna yang berpolitik karena berbohong atau mendiamkan kebohongan untuk menyerang Jokowi. Tapi, saya setuju dengan dia soal klarifikasi di dalam persidangan, bukan di media. Kita tunggu saja," tandas influencer TKN Jokowi-Ma'ruf, Eva Kusuma Sundari, kepada wartawan di Jakarta, Kamis kemarin.
Eva mengaku menunggu kejujuran Ratna yang seutuhnya di ruang sidang. Eva lalu berbicara soal akhlak yang seharusnya menjadi pertimbangan Ratna sebelum beraksi. "Mauku Mbak Ratna tidak tanggung untuk jujur, perspektif akhlak tetap ada ketika mengakui bahwa dia memang bohong. Berbohong untuk politik itu amat tidak berakhlak, karena merugikan pihak lain dan bukan pendidikan politik yang baik," tegas Srikandi PDIP ini.
Eva berharap Ratna membuka siapa aktor intelektual di balik kasus hoax tersebut. Eva juga menyayangkan sikap Ratna yang hanya diam saat sejumlah elite di kubu Prabowo-Sandi membeberkan soal penganiayaan yang dialaminya, sebelum akhirnya terbongkar wajah lebam itu disebabkan oleh operasi plastik.
"Semoga dia membuka konspirasi pembohongan publik yang sedang berlangsung karena kita tahu bahwa dia diam dan mendiamkan ketika ada tokoh lain yang kapitalisasi dengan menyebarkan berita-berita bohong. Mereka tahu bahwa RS (Ratna Sarumpaet) tahu bahwa mereka bohong nggak? Dia harus bantu polisi membongkar motif hoax," kata anggota DPR RI ini.
Di sisi lain, majelis hakim yang menyidangkan kasus hoax Ratna Sarumpaet menegaskan pengadilan tidak politis. Pengadilan sama sekali tidak terkait dengan politik dalam menyidangkan kasus ini. "Yang diadili di sini adalah perbuatan. Kita tidak terikat, tidak ikut-ikutan. Pengadilan tidak ikut-ikutan dengan masalah politik," ujar Ketua Majelis Hakim, Joni. *
Komentar