nusabali

Dari Semangat Wong Abangan, Dibantu Krama Bali Perantauan

  • www.nusabali.com-dari-semangat-wong-abangan-dibantu-krama-bali-perantauan

Pura Jagatnatha Banguntapan awalnya hendak dibangun di Desa Sokowaten, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Namun, karena tak ada warga yang izinkan tanahnya, lokasi pura dialihkan ke Desa Plumbon, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Jogjakarta

Perjuangan Umat Hindu Jogjakarta Membangun Pura Jagatnatha Banguntapan di Kabupaten Bantul


JOGJAKARTA, NusaBali
Pura Jagatnatha Banguntapan di Desa Plumbon, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul merupakan pura terbesar di Provinsi DI Jogjakarta. Pura yang berarsitektur perpaduan Bali-Jawa ini dulunya dibangun dari semangat Wong Abangan, atas bantuan krama Bali perantauan.

Dibangunnya Pura Jagatnatha Banguntapan ini adalah bukti konkret bahwa umat Hindu di Jogjakarta, khususnya Wong Abangan, konsisten memeluk agama Hindu. Proses pembangunan Pura Jagatnatha Banguntapan dimulai 26 Juni 1974 hingga rampung dan diresmikan pada 22 Mei 1975. Awalnya, lahan untuk pembangunan pura tersebut luasnya hanya 7,60 are, namun kini berkembang menjadi sekitar 22,25 are.

Menurut Ketua PHDI Kabupaten Bantul, Sastro Utomo, Pura Jagatnatha Banguntapan ini dibangun berkat semangat Wong Abangan di Provinsi DI Jogjakarta untuk memiliki tempat peribadatan yang sah dan tetap. Wong Abangan adalah warga yang secara lahiriah mengakui keberadaan Islam, namun mereka melakoni praktek upacara keagamaan di luar kelaziman umat muslim.

Contohnya, upacara Mitoni yang merupakan ritual selamatan untuk usia kehamilan 7 bulan, upacara Babaran untuk ritual kelahiran bayi, dan Kitanan atau sunatan. “Jenis-jenis upacara tersebut masih dipengaruhi unsur-unsur kepercayaan lama di Pula Jawa. Ritual tersebut dipimpin orang yang mendalami mantra untuk doa-doa pencapaian keselamatan,” ungkap Sastro Utomo saat ditemui NusaBali di Pura Jagatnatha Banguntapan, Rabu (27/2) lalu.

Sasro Utomo mengisahkan, sekitar tahun 1960-an, di Kecamatan Banguntapan banyak warga menekuni aliran kebatinan Kejawen, seperti Adam Makrifat, Bodronoyo, Anggesti Sampurnaning Keutamaan, Aliran Empat Lima, Parda Pusara, Hidup Betul, dan Ilmu Bedjo. Di antara aliran-aliran itu, Aliran Empat Lima---yang kemudian menjadi Paguyuban Empat Lima---sangat mirip dengan ritual komunitas Hindu atau Kebatinan Jawa.

Mereka percaya kepada Ketuhanan Jawa atau Kesepuhan Jawi Purwa, mengakui Tuhan sebagai Pangeran Maha Suci, kiblat sembah ke timur, tempat pemujaan Pasepen berupa kamar khusus dalam rumah. Sarana pemujaan berupa dupa, kemenyan, air, bunga, dan diserta hati yang tenang.

Paguyuban Empat Lima ini menekankan budi pekerti, percaya dengan hukum karma, percaya reinkarnasi (kelahiran kembali setelah mati), sebagaimana keyakinan Hindu. “Bentuk-bentuk kepercayaan dan kiblat sembahyang serta sarana yang dipakai, mirip dengan umat Hindu umumnya, terutama di Bali," jelas Sas-tro Utomo yang siang itu didampingi Penyuluh Agama Hindu di Jogjakarta, I Gusti Made Wirta, 44. 

Menurut Sastro Utomo, perkembangan zaman membuat Paguyuban Empat Lima terdesak. Mereka semakin terpinggirkan karena situasi politik nasional tahun 1960-an yang tidak menentu. Masalahnya, ada pihak pihak lain yang tidak memberi tempat bagi para penganut animisme, pemujaan roh leluhur, apalagi agama baru.

Pemerintah saat itu mengharuskan setiap warga memeluk salah satu dari lima agama resmi: Islam, Hindu, Katolik, Protestan, dan Budha. Maka, Paguyuban Empat Lima di kawasan Banguntapan pilih mengintensifkan keyakinan sesuai dengan ajaran Hindu.

Langkah tersebut didukung oleh krama Bali perantauan di Jogjakarta. Para tokoh Paguyuban Empat Lima bersama putra-putra Bali perantuan kemudian membentuk Parisada Hindu Dharma Daerah Istimewa Jogjakarta (PHD DIJ) tanggal 1 Desember 1967. Selanjutnya, dibentuk PHD Kabupaten Bantul pada 25 Maret 1969 dan PHD Kecamatan Banguntapan, April 1969.

Saat Hari Raya Galungan pada Buda Kliwon Dungulan, Rabu, 17 Oktober 1969, krama Bali perantauan di Jogjakarta intens melakukan penyuluham agama Hindu kepada masyarakat Kecamatan Banguntapan. "Dengan adanya PHD itu, semakin kuat tekad umat Hindu untuk menemukan identitas keagamaan. Ini juga menjadi tonggak utama pendirian Pura Jagatnatha Banguntapan,” kenang Sastro Utomo.

Paparan senada juga disampaikan Pamangku Pura Jagatnatha Banguntapan, Jro Mangku Gede Dwija Akhir Murti Adi Wiyono, 77. Menurut Jro Mangku Dwija, proses pembangunan Pura Jagatnatha Banguntapan dimulai 26 Juni 1974 hingga diresmikan pada 22 Mei 1975.

Awalnya, sejumlah pengurus PHD DIJ berencana membangun pura di Desa Sokowaten, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Namun, tidak ada warga di Desa Sokowaten yang mengizinkan tanahnya untuk dibangun pura.

Karena itu, kata Jro Mangku Dwija, pencarian lokasi pembangunan pura dialihkan ke Desa Plumbon, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Akhirnya, lahan milik warga setempat, Pawiro Irjo, yang notabene jadi pengurus PHD, dima-nfaatkan sebagai lokasi pembangunan Pura Jagatnatha Banguntapan.

Selanjutnya, pada 26 Juni 1974, dibentuk tim atau utusan umat Hindu, yang terdiri dari Murdiono, Pawiro Suyitno, dan S Bagiono. Mereka mohon sebagian tanah aset kelurahan kepada pemerintah Kelurahan Banguntapan (sebelum jadi kecamatan) untuk dibanguni pura.

Sebelum ada surat resmi dari pihak kelurahan, tim PHD pada 1974 mulai mematok tanah yang luasnya 7,60 are. Selanjutnya, di sana dibangun Palinggih Padmasana, yang diawali peletakan batu pertama pembangunan pura pada 23 Mei 1975. Panitia memulai membangun Pura Jagatnatha Banguntapan ini dengan dana dari umat sebesar Rp 107.000.

Warga Hindu di Bulak Sumur, Jogjakarta juga membuatkan batu bata merah untuk membangun Padmasana pada 24 Juni 1975. “Pembangunan Pura Jagatnatha Banguntapan ini secara swadaya dan gotong royong, diawali dengan membangun Padmasana dan tembok sebelah timur. Selajutnya, tak ada hambatan berarti. Di pura ini kami melaksanakan piodalan 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) saat Hari Raya Galungan,” papar Jro Mangku Dwija.

Menurut Jro Mangku Dwija, pada 31 Januari 1976, PHD mengajukan permohonan tertulis mengenai tanah milik Kelurahan Banguntapan untuk pendirian pura seluas 7,60 are. Izin keluar dengan status hak pakai dan tidak dapat dialihkan kepada perorangan maupun untuk keperluan lain. Dalam perkembangannya saat ini, luar areal Pura Jagatnatha Banguntapan mencapai 22,25 are. *isa

Komentar