PPL Itu Pura-Pura Legowo
Bagi mereka yang berangkat dari sebuah pendirian untuk menjadi seorang guru, di tempatkan dimana pun tak akan jadi masalah. Bagi mereka yang sedari awal tak sudi menjadi seorang guru, di tempatkan dimana pun rasanya akan jadi masalah.
Penulis : Putu Nata Kusuma
Sebuah opini yang (tidak) harus dibaca.
Bagi mereka yang memandang profesi guru itu menyenangkan ketika di tempatkan di sekolah yang tak menyenangkan, maka idealis mereka akan tergoyahkan. Dan bagi mereka yang setengah-setengah ingin jadi guru lalu di tempatkan di sekolah yang penuh kenyamanan, bukan kah mungkin untuk mereka berubah pikiran? Akar dari semua perkara ini hanyalah ada dua. Kata Hati dan Kata Orang Nanti. Saya pun bingung, saya masuk ke golongan yang mana. Saya hanya lah mahasiswa kependidikan yang setengah-setengah memiliki niatan menjadi seorang pendidik. Naas nya lagi dalam Program Pengembangan Lapangan (PPL) tahun ini, saya ditempatkan di sekolah yang membuat saya semakin yakin untuk tidak usah menjadi seorang guru.
Setidaknya itu yang kali pertama saya fikirkan. Bagaimana tidak, saya sengaja mendaftar di salah satu sekolah menengah pertama swasta dalam program PPL tahun ini. Tujuannya tiada lain dan tiada bukan adalah untuk menghindari “kejamnya” dunia pendidikan di sekolah menengah atas. Maklum, saya merasa diri ini adalah seorang yang cupu dan tak bisa mengatur anak remaja jikalau saya mendapatkan tempat PPL di SMA/SMK. Takdir pun berkata sebaliknya. Saya ditempatkan di sekolah yang sangat terkenal akan “keganasannya” di kota ini. Setidaknya, itu yang masih di cap oleh sebagian besar masyarakat kota. PPL pun mulai memiliki definisi tersendiri dalam kamus hidup saya. PPL itu Pura-Pura Legowo. Ya mau dikata apalagi, ikhlaskan dan jalani saja. Saya datang dengan pemikiran bahwa saya akan gagal praktek mengajar di sekolah ini. Saya sangat yakin bahwa setelah melakukan PPL di sekolah ini, saya tidak akan kepikiran untuk menjadi seorang pendidik. Saya sangat yakin itu. Tetapi seiring berjalan waktu dan semakin tinggi intensitas hujan di musim ini, fikiran yang awalnya di penuhi hawa panas pun berubah perlahan menjadi sejuk lalu kemudian mendingin. 3 kelas yang saya ajarkan yang notabene nya adalah laki-laki semua tak seburuk apa yang orang ucap diluar sana. Ya, yang namanya nakal dan ribut pastilah ada. Namun dari keributan dan ke acuhan mereka terhadap kehadiran saya sebagai pengganti guru sementara mereka di dalam kelas nyatanya tak mampu menyembunyikan fakta bahwasannya mereka sesungguhnya anak yang mampu dan sangat antusias dalam belajar. Kuncinya adalah bagaimana kita selaku pengajar khususnya saya mendekati mereka dengan cara-cara yang humanis. Saya tak bisa bohong jika beberapa teori pendekatan yang diajarkan di kampus pun tak terpakai. Saya mencari dan menemukan jenis pendekatan saya sendiri yang sekiranya mampu membuat mereka betah belajar bahasa inggris. Ingat, betah berbeda dengan bisa. Nah, berangkat dari situasi ini saya pun sempat terpikirkan akan sesuatu
“mengapa saya semakin nyaman mengajar mereka?”
Ketika beberapa teman yang satu tempat PPL dengan saya tlah kembali dari kelas mereka mengajar, mayoritas akan mengatakan “duhh leganya” lalu diikuti dengan sedikit curahan kekesalan yang mereka alami selama mengajar di kelas. Lega. Lagi-lagi definisi pura-pura legowo teraplikasi dengan baik dalam keseharian kami. Selancar apapun penerapan RPP dalam kelas, sesibuk apapun kita karena diberi tugas tambahan oleh pihak sekolah, nyatanya ketika ada sesuatu yang tak sesuai kata hati saat mengajar maka pura-pura legowo adalah hal terbaik yang bisa dilakukan. Beberapa kali ketika jam pelajaran sekolah tlah selesai, saya sering menyempatkan diri datang ke kampus untuk sekedar memesan makan atau minum di kantin kemudian mendengar obrolan beberapa pengunjung disana. Beruntungnya, hal serupa juga dilakukan beberapa teman-teman yang sudah selesai mengajar di sekolah mereka masing-masing. Mereka datang ke kantin kampus untuk sekedar makan dan berbagi cerita mereka tentang PPL di sekolah. Kalimat Tanya yang paling sering saya dengar dari percakapan itu ialah
“men engken PPL cine?” (Bagaimana PPL mu?)
Sontak berbagai respon akan menanggapi pertanyaan tersebut. Ada yang bercerita tentang nakalnya murid mereka namun bercerita dengan ekspresi wajah penuh kegembiraan dan ada juga yang menceritakan kekesalannya lengkap dengan ekspresi kesal yang tak bisa ditawar lagi. Aneh bukan? Ada yang menceritakan hal yang secara normal itu menyebalkan seperti misalnya murid yang tak ada di kelas dan mereka memarahinya namun ketika diceritakan seolah sang pencerita menikmatinya. Seperti biasa, kesimpulannya adalah Pura-pura Legowo. Di lain kesempatan, saya sempat bertemu dengan seorang teman yang ber PPL di sebuah sekolah menengah atas negeri yang cukup memiliki reputasi baik di mata masyarakat. Teman saya berkata
“adi cang demen ngajahin nah?” (kok aku seneng ngajar ya?)
Secara spontan hati kecil saya menjawab
“ya kan sekolahmu bagus” Disamping itu, yang saya ketahui memang teman saya ini memiliki bakat menjadi seorang guru jadi ya tidak terlalu masalah. Sekarang, mari kita kembali ke pernyataan awal tulisan ini. Bagi mereka yang berangkat dari sebuah pendirian untuk menjadi seorang guru, di tempatkan dimana pun tak akan jadi masalah. Bagi mereka yang sedari awal tak sudi menjadi seorang guru, di tempatkan dimana pun rasanya akan jadi masalah. Bagi mereka yang memandang profesi guru itu menyenangkan ketika di tempatkan di sekolah yang tak menyenangkan, maka idealis mereka akan tergoyahkan. Dan bagi mereka yang setengah-setengah ingin jadi guru lalu di tempatkan di sekolah yang penuh kenyamanan, bukan kah mungkin untuk mereka berubah pikiran? Ke Pura-pura an legowo saya tlah membawa saya ke pernyataan terakhir yaitu golongan orang-orang yang setengah-setengah ingin jadi guru dan kini pikirannya mulai mengalami pergeseran. Saya tidak begitu tahu bagaimana teman-teman saya di sekolah lain menanggapi masa PPL mereka. Hanya beberapa yang saya tahu dan dominan dari mereka masuk golongan orang-orang yang sedari awal tak sudi menjadi seorang guru, di tempatkan dimana pun rasanya akan jadi masalah, menurut saya. Namun saya percaya, sudah ada hal yang mereka pelajari tentang makna menjadi seorang pendidik. Dan prihal 2 akar permasalahan yang sempat saya sebutkan di awal yakni kata hati dan kata orang nanti memang benar adanya. Bagaimana kita akan menarik benang merah dari segala situasi ini, itu tergantung mana yang lebih kita dengarkan. Kalau saya, kata hati adalah yang utama. PPL atau Pura-pura Legowo juga mengajarkan saya filosofi berangkat dari titik 0 (nol). Cukup terima alur yang sudah disediakan oleh yang di Atas, lalu jalankan dengan versi terbaik dari diri kita. Seperti takdir saya untuk mengajar murid sekolah menengah kejuruan dan bukannya sekolah menengah pertama sesuai rencana saya di awal cerita ini.(Nata Kusuma)
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar