MUTIARA WEDA : Melihat Bayangan Bulan
Laksana bayangan bulan yang tampak pada tempayan yang berisi air jernih. Demikian juga Sang Diri akan tampak bagi mereka yang hatinya dibersihkan melalui Yoga.
Sasi wimba haneng gata mesi banyu ndan asing suci Nirmala mesi wulan
iwa mangkana ri sang angambeki yoga kiteng sakala
(Arjuna Wiwaha)
Satu hal unik yang digunakan oleh para Wiku dalam menjabarkan sebuah kebenaran adalah melalui pengandaian. Mengapa pengandaian? Karena kebenaran tidak mudah dimengerti melalui penjelasan-penjelasan biasa. Pikiran tidak mampu merunut arah kata-kata, karena kata-kata adalah bentukan pikiran yang terbatas. Tetapi, melalui pengandaian-pengandaian, pikiran diajak berspekulasi untuk melampaui dirinya sehingga kebenaran bisa dibayangkan. Tidak dipungkiri bahwa kebenaran bukanlah bayangan atau sesuatu yang dapat dibayangkan, tetapi pikiran akan mengenali logika dibalik bayangan itu. Dari sinilah pikiran mampu merujuk kemana arah yang akan dituju guna memasuki kebenaran itu. Tanpa adanya pengandaian, kecerdasan tidak mampu memberikan arah kemana sang diri harus menuju.
Seperti halnya di atas, pengandaian itu diibaratkan seperti bayangan bulan yang tampak jelas apabila air di dalam tempayan jernih. Kualitas bayangan bulan ditentukan oleh kondisi air di dalam tempayan. Jika airnya kotor, bayangan bulan menjadi tidak jernih. Jika airnya tidak tenang, bayangan bulan bisa tidak jelas sama sekali. Apalagi air keruh dan tidak tenang, tentu bayangan bulan tidak akan tampak sama sekali. Dengan cara yang sama Sang Diri tidak akan pernah tampak jika pikiran keruh dan tidak tenang. Sehingga dengan demikian, agar Sang Diri Sejati tampak jelas, diperlukan pikiran yang tenang. Masalahnya, bagaimana caranya agar pikiran bisa tenang? Teks di atas memberikan metode, yakni Yoga. Melalui Yogalah pikiran bisa ditenangkan.
Mengapa teks di atas menyatakan demikian? Apa pentingnya pengandaian diatas? Kebenaran apa yang hendak disampaikan? Apakah melihat Sang Diri adalah sebuah kebenaran? Apa pentingnya melihat Sang Diri itu? Siapa Sang Diri itu? Apa manfaatnya melihat Sang Diri itu? Menurut Hindu, tujuan hidup manusia adalah kembali ke Sangkan Paraning Dumadi, sumber dari segala sumber kehidupan. Sumber dari segala sumber kehidupan itulah kebenaran sejati. Sang Diri adalah kebenaran sejati itu sendiri. Jika dalam kehidupan seseorang mampu melihat Sang Diri sejati itu, maka itulah capaian tertinggi. Ketika Sang Diri ini bisa dilihat, maka tidak ada lagi capaian yang lebih dari itu.
Jika dalam hidup orang mesti melihat Sang Diri itu, lalu mengapa jarang yang melihat-Nya? Apa masalahnya? Itulah pentingnya pengandaian dari teks di atas. Oleh karena pikiran kita tidak pernah jernih, maka orang tidak mampu melihat bayangan apapun. Jika hanya sedikit orang yang mampu melakukannya, itu artinya, sebagian besar orang pikirannya kotor. Bisa dikatakan bahwa mereka sebenarnya tidak mengetahui apa tujuan hidup sebenarnya. Ketika goal kehidupannya tidak diarahkan untuk mengenal Sang Diri sejati itu, pikiran akan terus kotor. Jika pikiran tidak dijernihkan, ia akan terus kotor dan bahkan akan semakin kotor karena dikotori oleh kehidupan itu sendiri.
Pesan yang disampaikan oleh teks di atas adalah pentingnya mempraktikkan Yoga. Hal yang sangat urgent bagi manusia adalah melaksanakan Yoga atau melakukan sadhana spiritual. Teks di atas mencoba menyadarkan setiap orang agar mengingat tujuan hidupnya yang sejati. Sang Diri tidak perlu dicari kemana-mana, karena Dia tidak pernah kemana-mana. Hal yang perlu diusahakan adalah bagaimana menghilangkan kabut yang menyelubunginya. Pikiran yang kotor itu adalah laksana kabut yang membuat dirinya tidak mampu melihat Sang Diri yang sejati, yang merupakan sumber dari segala makhluk hidup. Untuk melihat Sang Diri itu, tidak ada yang perlu diubah, tidak ada yang perlu dicari, tidak perlu mengubah bagaimana mata memandang. Yang sangat dipentingkan adalah menjadikan pikiran itu jernih. Saat pikiran itu jernih, semua akan menampakkan diri dengan sendirinya. Sang Diri akan kelihatan jelas sebagaimana bayangan bulan di dalam tempayan dengan air yang jernih. Oleh karena itu, mari jernihkan pikiran kita dan bersiaplah melihat sesuatu yang merupakan Diri Sejati itu. *
I Gede Suwantana
(Arjuna Wiwaha)
Satu hal unik yang digunakan oleh para Wiku dalam menjabarkan sebuah kebenaran adalah melalui pengandaian. Mengapa pengandaian? Karena kebenaran tidak mudah dimengerti melalui penjelasan-penjelasan biasa. Pikiran tidak mampu merunut arah kata-kata, karena kata-kata adalah bentukan pikiran yang terbatas. Tetapi, melalui pengandaian-pengandaian, pikiran diajak berspekulasi untuk melampaui dirinya sehingga kebenaran bisa dibayangkan. Tidak dipungkiri bahwa kebenaran bukanlah bayangan atau sesuatu yang dapat dibayangkan, tetapi pikiran akan mengenali logika dibalik bayangan itu. Dari sinilah pikiran mampu merujuk kemana arah yang akan dituju guna memasuki kebenaran itu. Tanpa adanya pengandaian, kecerdasan tidak mampu memberikan arah kemana sang diri harus menuju.
Seperti halnya di atas, pengandaian itu diibaratkan seperti bayangan bulan yang tampak jelas apabila air di dalam tempayan jernih. Kualitas bayangan bulan ditentukan oleh kondisi air di dalam tempayan. Jika airnya kotor, bayangan bulan menjadi tidak jernih. Jika airnya tidak tenang, bayangan bulan bisa tidak jelas sama sekali. Apalagi air keruh dan tidak tenang, tentu bayangan bulan tidak akan tampak sama sekali. Dengan cara yang sama Sang Diri tidak akan pernah tampak jika pikiran keruh dan tidak tenang. Sehingga dengan demikian, agar Sang Diri Sejati tampak jelas, diperlukan pikiran yang tenang. Masalahnya, bagaimana caranya agar pikiran bisa tenang? Teks di atas memberikan metode, yakni Yoga. Melalui Yogalah pikiran bisa ditenangkan.
Mengapa teks di atas menyatakan demikian? Apa pentingnya pengandaian diatas? Kebenaran apa yang hendak disampaikan? Apakah melihat Sang Diri adalah sebuah kebenaran? Apa pentingnya melihat Sang Diri itu? Siapa Sang Diri itu? Apa manfaatnya melihat Sang Diri itu? Menurut Hindu, tujuan hidup manusia adalah kembali ke Sangkan Paraning Dumadi, sumber dari segala sumber kehidupan. Sumber dari segala sumber kehidupan itulah kebenaran sejati. Sang Diri adalah kebenaran sejati itu sendiri. Jika dalam kehidupan seseorang mampu melihat Sang Diri sejati itu, maka itulah capaian tertinggi. Ketika Sang Diri ini bisa dilihat, maka tidak ada lagi capaian yang lebih dari itu.
Jika dalam hidup orang mesti melihat Sang Diri itu, lalu mengapa jarang yang melihat-Nya? Apa masalahnya? Itulah pentingnya pengandaian dari teks di atas. Oleh karena pikiran kita tidak pernah jernih, maka orang tidak mampu melihat bayangan apapun. Jika hanya sedikit orang yang mampu melakukannya, itu artinya, sebagian besar orang pikirannya kotor. Bisa dikatakan bahwa mereka sebenarnya tidak mengetahui apa tujuan hidup sebenarnya. Ketika goal kehidupannya tidak diarahkan untuk mengenal Sang Diri sejati itu, pikiran akan terus kotor. Jika pikiran tidak dijernihkan, ia akan terus kotor dan bahkan akan semakin kotor karena dikotori oleh kehidupan itu sendiri.
Pesan yang disampaikan oleh teks di atas adalah pentingnya mempraktikkan Yoga. Hal yang sangat urgent bagi manusia adalah melaksanakan Yoga atau melakukan sadhana spiritual. Teks di atas mencoba menyadarkan setiap orang agar mengingat tujuan hidupnya yang sejati. Sang Diri tidak perlu dicari kemana-mana, karena Dia tidak pernah kemana-mana. Hal yang perlu diusahakan adalah bagaimana menghilangkan kabut yang menyelubunginya. Pikiran yang kotor itu adalah laksana kabut yang membuat dirinya tidak mampu melihat Sang Diri yang sejati, yang merupakan sumber dari segala makhluk hidup. Untuk melihat Sang Diri itu, tidak ada yang perlu diubah, tidak ada yang perlu dicari, tidak perlu mengubah bagaimana mata memandang. Yang sangat dipentingkan adalah menjadikan pikiran itu jernih. Saat pikiran itu jernih, semua akan menampakkan diri dengan sendirinya. Sang Diri akan kelihatan jelas sebagaimana bayangan bulan di dalam tempayan dengan air yang jernih. Oleh karena itu, mari jernihkan pikiran kita dan bersiaplah melihat sesuatu yang merupakan Diri Sejati itu. *
I Gede Suwantana
Komentar