'Pemilihan Tidak Diseragamkan, Tapi Diserahkan kepada Desa Adat'
Wacana Pemilihan Bendesa Adat dengan Musyawarah
DENPASAR,NusaBali
Wacana dan tawaran Pansus Ranperda Desa Adat DPRD Bali yang akan memasukkan sistem pemilihan bendesa adat dengan musyawarah dan mufakat dalam Ranperda Desa Adat Provinsi Bali tidak sepenuhnya disetujui. Bendesa adat yang selama ini melaksanakan pemilihan dengan pemungutan suara (voting) meminta sistem pemilihan tidak diseragamkan dalam perda. Namun diserahkan kepada desa adat secara otonom melalui awig-awig desa adat.
Bendesa Adat Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan Badung I Wayan Disel Astawa di Denpasar, Senin (11/3), mengapresiasi wacana Pansus DPRD Bali untuk memasukkan pola pemilihan bendesa adat secara musyawarah mufakat dalam ranperda, sebagai upaya menghindari konflik di desa adat. “Namun selama ini konflik di desa adat bukanlah disebabkan karena sistem pemilihan bendesa. Saya melihat justru konflik di desa adat karena adanya intervensi kekuasaaan. Ada unsur-unsur politik yang masuk ke desa adat. Itu penyebab konfliknya,” ujar Disel Astawa.
Kata dia, dari 1.492 desa adat yang ada di Bali, kalau ada 6 pengaduan masuk ke Pansus Ranperda Desa Adat DPRD Bali karena latar belakang pemilihan berarti persentasenya sangat kecil. Bisa saja 6 pengaduan yang ada tidak semuanya karena masalah pemilihan bendesa adat, sehingga harus lihat kasus per kasus. “Sebaiknya pemilihan itu tetap diserahkan secara otonom kepada desa adat masing-masing. Desa adat adalah lembaga otonom. Seperti di Desa Adat Ungasan, pemilihannya melalui pemungutan suara. Itu sudah awig-awig desa adat diatur. Ya tidak boleh diseragamkan,” ujar mantan Ketua Pansus Raperda Perubahan Zonasi DPRD Bali ini.
Disel Astawa juga menegaskan, sekarang ini desa adat harus diposisikan independen tanpa campur tangan kekuasaan. Kalau ada konflik, pemerintah daerah hanya fasilitator saja. Tidak masuk dalam ranah penyelesaian, apalagi intervensi jauh kedalam. “Desa adat harus berdiri secara independen. Selama ini konflik muncul hanya karena personel saja. Karena ada persaingan personel jadinya dikaitkan dengan konflik desa adat,” tegas Disel Astawa.
Desa adat, kata Disel Astawa, selama berpuluh-puluh tahun selama ini terbukti sebagai benteng adat, budaya, agama Hindu di Bali, sehingga seluruh elemen harus menjaga fungsi desa adat itu sendiri. “Pariwisata di Bali ini juga pariwisata budaya, yang hidup karena adanya desa adat. Jadi kalau perkuat desa adat dengan menguatkan fungsinya yang otonom dengan keberadaan awig-awig, desa kala patra dan desa mawacara kami sepakat,” tegasnya.
Sementara Bendesa Adat Pedungan yang juga Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRD Bali I Gusti Putu Budiarta secara terpisah Senin kemarin mengatakan, niat meminimalisir konflik di desa adat karena disebabkan pemilihan bendesa adat dengan memasukkan pola pemilihan bendesa adat dengan sistem musyawarah sah-sah saja. “Namun alangkah baiknya dikembalikan saja kepada desa adat masing-masing dengan awig-awig yang berlaku,” ujar anggota Komisi IV DPRD Bali 3 periode yang naik menjadi Bendesa Adat Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan melalui pemungutan suara (voting).
Mantan anggota DPRD Kota Denpasar ini menegaskan juga masalah konflik desa adat dilatarbelakangi berbagai persoalan. “Berdasarkan pengalaman kami, kalau musyawarah dan mufakat misalnya deadlock alias buntu ya tidak ada jalan lain. Di Desa Adat Pedungan ketika saya terpilih ya melalui pemungutan suara juga,” tegasnya.
Sementara tokoh yang juga Kertha Desa (Dewan Penasehat) di Desa Adat Mambal Ida Bagus Pada Kusuma secara terpisah dihubungi NusaBali kemarin mengatakan, pemilihan bendesa di masing-masing desa adat di Bali berbeda- berbeda. “Ada perbedaan aturan di masing-masing desa adat. Tidak bisa diseragamkan. Kalau di Desa Adat Mambal itu ada istilahnya ‘penutuk’ yaitu sebuah aturan baku sebagai penuntun dengan memberikan syarat-syarat kepada calon bendesa adat. Calon bendesa adat harus memenuhi syarat seperti paham sastra Bali, paham adat dan budaya. Sampai persyaratan umur pun ada kalau mau maju sebagai bendesa adat,” tegas politisi Partai Golkar asal Desa Mambal, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung ini.
Gus Pada juga mengatakan, Pansus DPRD Bali menawarkan pemilihan dengan sistem musyawarah mufakat kedalam ranperda sah-sah saja sebagai sebuah demokrasi dalam desa adat. “Tetapi konflik itu tidak selalu karena pemilihan bendesa adat. Musyawarah mufakat memang bagus dimasukkan dalam Raperda. Tetapi itu sebagai pasal yang tidak mengikat secara baku. Tetap harus ada pengecualian , dimana menyesuaikan dengan awig-awig desa adat bersangkutan,” tegas Gus Pada. *nat
Wacana dan tawaran Pansus Ranperda Desa Adat DPRD Bali yang akan memasukkan sistem pemilihan bendesa adat dengan musyawarah dan mufakat dalam Ranperda Desa Adat Provinsi Bali tidak sepenuhnya disetujui. Bendesa adat yang selama ini melaksanakan pemilihan dengan pemungutan suara (voting) meminta sistem pemilihan tidak diseragamkan dalam perda. Namun diserahkan kepada desa adat secara otonom melalui awig-awig desa adat.
Bendesa Adat Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan Badung I Wayan Disel Astawa di Denpasar, Senin (11/3), mengapresiasi wacana Pansus DPRD Bali untuk memasukkan pola pemilihan bendesa adat secara musyawarah mufakat dalam ranperda, sebagai upaya menghindari konflik di desa adat. “Namun selama ini konflik di desa adat bukanlah disebabkan karena sistem pemilihan bendesa. Saya melihat justru konflik di desa adat karena adanya intervensi kekuasaaan. Ada unsur-unsur politik yang masuk ke desa adat. Itu penyebab konfliknya,” ujar Disel Astawa.
Kata dia, dari 1.492 desa adat yang ada di Bali, kalau ada 6 pengaduan masuk ke Pansus Ranperda Desa Adat DPRD Bali karena latar belakang pemilihan berarti persentasenya sangat kecil. Bisa saja 6 pengaduan yang ada tidak semuanya karena masalah pemilihan bendesa adat, sehingga harus lihat kasus per kasus. “Sebaiknya pemilihan itu tetap diserahkan secara otonom kepada desa adat masing-masing. Desa adat adalah lembaga otonom. Seperti di Desa Adat Ungasan, pemilihannya melalui pemungutan suara. Itu sudah awig-awig desa adat diatur. Ya tidak boleh diseragamkan,” ujar mantan Ketua Pansus Raperda Perubahan Zonasi DPRD Bali ini.
Disel Astawa juga menegaskan, sekarang ini desa adat harus diposisikan independen tanpa campur tangan kekuasaan. Kalau ada konflik, pemerintah daerah hanya fasilitator saja. Tidak masuk dalam ranah penyelesaian, apalagi intervensi jauh kedalam. “Desa adat harus berdiri secara independen. Selama ini konflik muncul hanya karena personel saja. Karena ada persaingan personel jadinya dikaitkan dengan konflik desa adat,” tegas Disel Astawa.
Desa adat, kata Disel Astawa, selama berpuluh-puluh tahun selama ini terbukti sebagai benteng adat, budaya, agama Hindu di Bali, sehingga seluruh elemen harus menjaga fungsi desa adat itu sendiri. “Pariwisata di Bali ini juga pariwisata budaya, yang hidup karena adanya desa adat. Jadi kalau perkuat desa adat dengan menguatkan fungsinya yang otonom dengan keberadaan awig-awig, desa kala patra dan desa mawacara kami sepakat,” tegasnya.
Sementara Bendesa Adat Pedungan yang juga Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRD Bali I Gusti Putu Budiarta secara terpisah Senin kemarin mengatakan, niat meminimalisir konflik di desa adat karena disebabkan pemilihan bendesa adat dengan memasukkan pola pemilihan bendesa adat dengan sistem musyawarah sah-sah saja. “Namun alangkah baiknya dikembalikan saja kepada desa adat masing-masing dengan awig-awig yang berlaku,” ujar anggota Komisi IV DPRD Bali 3 periode yang naik menjadi Bendesa Adat Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan melalui pemungutan suara (voting).
Mantan anggota DPRD Kota Denpasar ini menegaskan juga masalah konflik desa adat dilatarbelakangi berbagai persoalan. “Berdasarkan pengalaman kami, kalau musyawarah dan mufakat misalnya deadlock alias buntu ya tidak ada jalan lain. Di Desa Adat Pedungan ketika saya terpilih ya melalui pemungutan suara juga,” tegasnya.
Sementara tokoh yang juga Kertha Desa (Dewan Penasehat) di Desa Adat Mambal Ida Bagus Pada Kusuma secara terpisah dihubungi NusaBali kemarin mengatakan, pemilihan bendesa di masing-masing desa adat di Bali berbeda- berbeda. “Ada perbedaan aturan di masing-masing desa adat. Tidak bisa diseragamkan. Kalau di Desa Adat Mambal itu ada istilahnya ‘penutuk’ yaitu sebuah aturan baku sebagai penuntun dengan memberikan syarat-syarat kepada calon bendesa adat. Calon bendesa adat harus memenuhi syarat seperti paham sastra Bali, paham adat dan budaya. Sampai persyaratan umur pun ada kalau mau maju sebagai bendesa adat,” tegas politisi Partai Golkar asal Desa Mambal, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung ini.
Gus Pada juga mengatakan, Pansus DPRD Bali menawarkan pemilihan dengan sistem musyawarah mufakat kedalam ranperda sah-sah saja sebagai sebuah demokrasi dalam desa adat. “Tetapi konflik itu tidak selalu karena pemilihan bendesa adat. Musyawarah mufakat memang bagus dimasukkan dalam Raperda. Tetapi itu sebagai pasal yang tidak mengikat secara baku. Tetap harus ada pengecualian , dimana menyesuaikan dengan awig-awig desa adat bersangkutan,” tegas Gus Pada. *nat
Komentar