Almarhum Sempat Berpesan Agar Palebon Digelar Sederhana
Ida Pedanda Made Gunung menghembuskan napas terakhir di Wing Internasional RS Sanglah, Rabu dinihari pukul 04.45 Wita, setelah sempat selama 9 hari dirawat karna serangan jantung
Ida Pedanda Gunung Lebar, Bali Kehilangan Salah satu Bintang Dharma Wacana
GIANYAR, NusaBali
Bali kini salah satu bintang dharma wacana Hindu terbaiknya. Ida Pedanda Gede Made Gunung, 66, sulinggih dari Griya Gede Purnawati Kemenuh, Desa/Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, lebar (meninggal dunia) akibat penyakit jantung dan stroke, Rabu (18/5) dinihari. Sulinggih yang semasa walaka bernama Ida Bagus Gede Suamem ini menghembuskan napas terakhir dalam perawatan di Wing Internasional RS Sanglah, Denpasar sekitar pukul 04.45 Wita.
Sebelum lebar, sulinggih yang akrab dipanggil Ida Pedanda Gunung ini sempat selama 9 hari dirawat di Wing Internasional RS Sanglah, sejak 9 Mei 2016 lalu. Almarhum dibawa keluarganya ke RS kala itu karena mengalami sesak napas. Ternyata, nyawa almarhum tidak tertolong.
Layon (jenazah) Ida Pedanda Gunung sudah dipulangkan dari RS Sanglah ke rumah duka di Griya Gede Purnawati Kemenuh, Desa Blahbatuh, Rabu pagi pukul 08.00 Wita. Hingga saat ini, jenazah almarhum masih disemayamkan di Gedong Rata rumah duka, karena upacara palebon baru akan dilaksanakan dua bulan lagi, tepatnya pada Wraspati Pahing Kulantir, Kamis, 21 Juli 2016 mendatang. Sedangkan prosesi ritual nyiramang layon akan dilaksanakan pada Redite Umanis Kelawu, Minggu, 5 Juni 2016 depan, yang bertepatan Tilem Jiyesta.
Almarhum Ida Pedanda Gunung berpulang buat selamanya dengan meninggalkan sang istri tercinta, Ida Pedanda Istri Raka, serta lima anak yakni Ida Ayu Gede Padmawati Suamem, Ida Bagus Made Purwita Suamem, Ida Ayu Ketut Puspitawati Suamem, Ida Ayu Putu Purnawati Suamem, dan Ida Bagus Made Eka Palguna.
Pantauan NusaBali, Rabu kemarin, sejak pagi hingga malam terus berdatangan ke rumah duka di Griya Gede Purnawati Kemenuh untuk melayat. Termasuk di antara mereka adalah puluhan sulinggih yang tergabung dalam Dharma Gosana Provinsi Bali, Sekda Kabupaten Gianyar IB Gaga Adisaputra, Kapolres Gianyar AKBP Waluya SIK SH, hingga para tokoh umat Hindu dan para sisya (murid) almarhum.
Menurut putra kedua almarhum, Ida Bagus Made Purwita Suamem, sebelum dirawat di Wing Internasional RS Sanglah, Ida Pedanda Gunung sempat menderita gangguan napas, Senin, 9 Mei 2016 lalu. Hari itu, Ida Pedanda Gunung diajak ke RS Salah untuk cek kondisi jantungnya. Namun, dokter ahli jantung di RS Sanglah menyatakan fungi jantung Ida Pedanda menurun, hingga harus menjalani rawat nap di Wing Internasional.
Tiga hari pasca dirawat, kondisi almarhum sempat membaik hingga dibolehkan untuk dibesuk keluarga. “Komunikasi kami dengan Ida (almarhum) sempat lancar. Pada pada hari ke-4, dokter memberitahu bahwa Ida boleh pulang di hari ke-7,” kenang IB Purwita Suamem kepada NusaBali di rumah duka, Rabu kemarin.
Ternyata, lanjut IB Purwita, kondisi Ida Pedanda kembali memburuk sejak Minggu (15/5) dinihari pukul 03.00 Wita. Almarhum sempat bangun dari tidurnya untuk minta minum dan makan buah. Lanjut, pukul 03.15 Wita almarhum kencing, dan selang 15 menitnya berikutnya didera stroke. “Saat itu suara Ida hilang. Tangan kanannya tidak gerak dan tubuh sebelah kanan pun lumpuh. Saat dicek pukul 04.30 Wita, ternyata ada gumpalan memblok otak kiri almarhum,” jelas IB Purwita.
Karena ada gumpalan seperti itu, dokter langsung memberikan obat. Minggu pagi pukul 05.30 Wita. Tapi, kondisi almarhum semakin drop. Tim dokter akhirnya memasukkan almarhum ke ICU Unit Jantung RS Sanglah, sejak Minggu hingga Selasa (17/5) pagi. Selanjutnya, almarhum dimasukkan ke ICU Napas RS Sanglah, Selasa siang. Namun, kondisi almarhum semakin kritis, hingga Rabu dinihari sekitar pukul 04.00 Wita, jantungnya tak ada respons. Pukul 04.40 Wita, dokter sempat memompa jantung almarhum, namun tak juga ada respons. Sampai akhirnya Ida Pedanda Guning dinyatakan meninggal sekitar pukul 04.45 Wita.
IB Purwita menjelaskan, dalam sebuah kesempatan, almarhum Ida Pedanda Gunung sempat mabhisama (memberikan petunjuk) kepada keluarga. Bhisamanya, antara lain, agar dipalebon secara sederhana jika lebar. Lokasi palebon harus dilakukan di jaba Griya Gede Purnawati Kemenuh, Desa Blahbatuh. Sedangkan sarana palebon diminta tidak usah memakai Bade dan Lembu Putih, sebagaimana palebon sulinggih umumnya.
Sarana pembakaran jenazah pengganti Lembu cukup dengan kotak jenazah beratap ornamen ukiran Bali. Sedangkan Bade diganti Panyuhunan atau dijunjung di kepala. “Karena pesan Ida Pedanda Sidemen kepada ayah kami, untuk masuk sorga itu tak harus dengan palebon mewah,’’ ungkap IB Purwita, yang kesehariannya bekerja sebagai PNS di Biro Kesra Setda Provinsi Bali.
Menurut IB Purwita, almarhum Ida Pedanda Gunung juga sempat berpesan khususnya kepada sameton (kerabat) untuk terus berjuang mengabdikan diri bagi umat sedharma dan melanjutkan ajarana suci Dhanghyang Dwijendra. “Selama ini, kami dan para sisya belum ada yang menerima firast apa-apa terkait lebarnya Ida,” papar IB Purwita sembari menyebut, almarhum Ida Pedanda Gunung juga sempat berpesan kepada dirinya dirinya madiksa menggantikan almarhum sebagai sulinggih.
Sementara itu, lebarnya Ida Pedanda Gunung membuat terkejut jagat Bali, terutama umat Hindu. Pasalnya, Ida Pedanda Gunung selama ini tidak hanya aktif muput yadnya (memimpin upacara keagamaan) di Bali dan luar Bali, namun juga aktif madharma wacana. Ida Pedanda juga aktif di PHDI. Banyak kalangan mengakui saripati pemikiran Ida Pedanda Gunung terutama dalam menjaga kerukunan umat Hindu, mencerahkan, dan membina umat, para pamangku dan sulinggih muda melalui Pasraman Yogadiparamaguhya. Pasraman milik Ida Pedanda Gunung ini berada di sebelah utara Griya Gede Purnawati Kemenuh.
Almarhum Ida pedanda Gunung lahir pada 31 Desember 1950 dengan nama walaka Ida Bagus Gede Suamem. Almarhum yang menempuh pendidikan terakhir di IHD Denpasar (Sarjana Muda, 1986), sempat jadi guru SD sejak 1974. Sampai ajal menjemputnya, Ida Pedanda Gunung masih menjadi dosen luar biasa di Fakultas Usada IHDN Denpasar, yang telah dilakoni sejak tahun 2000.
Sementara, Ida Pedanda Gede Giri Purna Arsa, 53, sulinggih dari Griya Gede Tiying Tali, Desa Jagarada, Kecamatan Sawan, Buleleng mengaku sebagai sisya nanak (mantan murid almarhum) tertua. Sebab, dirinya pertama kali katapak oleh almarhum Ida Pedanda Gunung tahun 2003.
“Ida (almarhum) adalah guru besar bagi kami. Ida sangat konsisten dalam pengabdian dan menerapkan ajaran. Ida sangat kuat dan sabar dalam menuntun umat. Sejak saya kenal, saya sudah sangat yakin Ida akan jadi sulinggih besar di Bali,” kenang Ida pedanda Giri Purna Arsa yang sempat menangis saat melayat ke rumah duka di Griya Gede Purnawati Kemenuh, Rabu kemarin. 7 lsa
Komentar