Periksa Anggota Dewan Harus Seizin Presiden
Pemanggilan anggota DPRD Provinsi yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan Mendagri, sedangkan anggota DPRD kabupaten/kota harus mendapat persetujuan dari gubernur.
JAKARTA, NusaBali
Mahkamah Konstitusi memutuskan pemberian izin untuk meminta keterangan anggota dewan yang diduga melakukan tindak pidana bukan lagi dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), melainkan dari presiden. Menurut Hakim Wahiduddin Adams, ini bukan sesuatu yang baru.
Sebab, pemberian persetujuan dari presiden ke pejabat negara yang sedang mengalami proses hukum telah diatur dalam beberapa undang-undang sebelumnya, seperti UU Mahkamah Konstitusi, UU Badan Pemeriksa Keuangan, dan UU Mahkamah Agung. Oleh sebab itu, ia mengatakan mahkamah menilai pemberian izin pemanggilan anggota dewan dari Mahkamah Kehormatan tidak tepat.
Wahiduddin menekankan MKD adalah bagian dari alat kelengkapan dewan dan tidak berhubungan langsung dengan sistem peradilan pidana. Mahkamah juga berpendapat pemberian izin dari MKD akan sarat kepentingan. Sebab, anggota MKD adalah dari dan oleh anggota dewan itu sendiri. Selain itu, ia menyebutkan putusan ini sebagai bentuk fungsi dan upaya membenarkan mekanisme check and balances antara pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif.
“Sehingga mahkamah berpendapat izin tertulis seharusnya berasal dari presiden, bukan dari mahkamah kehormatan dewan,” ucap Wahiduddin di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (22/9). Wahiduddin mengatakan, anggota yang dipanggil atau dimintai keterangan tetap dapat melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagai anggota DPR.
Mahkamah juga berpendapat persetujuan dari presiden harus diterbitkan dalam waktu singkat. Putusan ini tak hanya berlaku untuk anggota DPR, tapi juga berlaku untuk anggota MPR dan DPD. Sementara itu, untuk pemanggilan anggota DPRD Provinsi yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan dari Mendagri. Pemanggilan anggota DPRD kabupaten/kota yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan dari gubernur setempat.
Oleh sebab itu, Hakim Arief Hidayat mengatakan frasa persetujuan tertulis pada pasal 245 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden. “Pasal 245 ayat 1, selengkapnya menjadi pemanggilan dan permintaan keterangan tertulis untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden,” ucap Arief dilansir CNN Indonesia.
Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto menyatakan anggota dewan harus menaati apapun keputusan MK terkait permohononan uji materi atas Pasal 245 Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Bagaimanapun uji materi tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan MK dan putusannya bersifat final dan mengikat sehingga tidak bisa diganggu gugat. “Tentunya kami perlu mempelajari dan memperhatikan putusan MK nanti. Ini kan final and binding, tidak bisa ditingkatkan lagi. Keputusan MK harus ditaati,” kata Agus di Kompleks Parlemen.
Sedangkan pemohon, Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana, hal tersebut bersifat diskriminatif dalam proses hukum. “Kita kecewa dengan putusan MK. Sebab menurut kami ini janggal. Sebab kita perlu tahu kenapa ajukan permohonan untuk kesetaraan perlakukan WNI. Kalau orang umum dipanggil tanpa izin, lalu kenapa untuk anggota DPR harus ada izin,” ujar kuasa hukum Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana, Ichsan Zikry, usai persidangan di gedung MK, Selasa kemarin.
1
Komentar