MUTIARA WEDA : Berpolitik Jujur atau Jujur Berpolitik
Janganlah hidup terlalu lurus atau terlalu jujur, seperti halnya pohon-pohon lurus di hutan akan ditebang sementara pohon-pohon yang bengkok dibiarkan hidup. Ini sama dengan hidup di dunia kalau terlalu jujur pasti akan dimanfaatkan orang.
Natyantam saralair bhavyam gatva pasya vanasthalim,
Chidyante saralas tatra kubjas tisthanti padapah.
(Canakya Niti Sastra, VII: 12)
Menurut terjemahan teks di atas dikatakan bahwa menjadi manusia itu tidak perlu terlalu jujur. Ada masanya untuk tidak jujur sepanjang itu tidak merugikan diri sendiri. Seperti halnya kayu yang lurus, yang bagus untuk bahan bangunan pasti akan ditebang, sementara kayu yang bentuknya kurang bagus akan tidak diapa-apakan. Kalau hidup kita lurus dan jujur, orang akan dengan mudah memanfaatkannya, sementara jika hidup kita seperti bunglon, menyesuaikan warna kulit dimana tinggal, tentu kita akan selamat. Apakah seperti itu?
Jika demikian adanya, dimana letak kemuliaan dari sebuah kejujuran? Apakah nilai kejujuran selalu dihubungkan dengan keuntungan-keuntungan kita? Bila menguntungkan diri sendiri, maka kita bertindak jujur, sebaliknya, jika tidak menguntungkan diri, boleh kita berbohong. Apakah nilai kejujuran hanya terletak pada sisi pragmatisnya saja? Apakah kejujuran tidak memiliki nilai kemuliaan di dalam dirinya sendiri? Jika sebuah kejujuraan baru memilik nilai ketika bermanfaat untuk diri sendiri, apakah itu nilai dari kejujuran itu sendiri atau hanya sekedar nilai dari keuntungan kita saja? Jika seperti ini, maka tidak penting menyatakan apakah kita jujur atau tidak karena semua itu berporos pada keuntungan diri sendiri. Kejujuran yang kita buat maknanya tidak pada kejujuran itu, melainkan ada pada keuntungan itu sendiri.
Jika demikian, apa mulianya teks di atas? Sebab, tanpa disebutkan di dalam teks pun, tendensi manusia telah demikian adanya. Secara alamiah orang akan bertindak sesuai dengan keperluan dirinya. Jika tidak menguntungkan dirinya, maka secara otomatis dirinya tidak akan melakukan apa-apa. Jika menguntungkan dirinya, orang bisa berkata jujur dan berkata tidak jujur. Itu memang telah menjadi tabiat manusia. Jika demikian, apakah teks di atas hanya sekedar menjustifikasi bahwa tindakan manusia sesuai tendensinya telah benar dilakukan? Apakah seperti itu?
Sepertinya, jika sebuah teks itu diikuti dan tetap dijadikan rujukan dari jaman ke jaman, pasti mengandung nilai-niai kemuliaan di dalamnya. Artinya, apapun yang dinyatakan di dalamnya pasti memiliki nilai kemuliaan dan itu muncul dari kebijaksanaan, bukan muncul dari pikiran yang tendensius. Jika demikian, teks di atas mesti memiliki makna yang berbeda, sehingga nilai kejujuran itu tetap mulia di dalam dirinya, tidak di dalam keuntungan-keuntungannya saja. Teks di atas dibuat tentu muncul dari kasus-kasus yang terjadi di lapangan dalam konteks politik kehidupan.
Secara alami manusia saling memakan satu dengan yang lainnya. Manusia tidak bisa hidup sendiri, dia memerlukan manusia lainnya untuk keperluan-keperluan dirinya. Dia memerlukan pasangan hidup, memerlukan anak, memerlukan kawan, memerlukan tetangga, memerlukan perkumpulan dan yang lainnya yang melibatkan banyak orang. Kehadiraan orang-orang disekitarnya adalah untuk memenuhi kebutuhannya. Seperti itulah politik hidup.
Teks di atas sebenarnya tidak mengerdilkan nilai kejujuran, melainkan mengajarkan orang untuk cerdas dalam politik hidup. Kita mesti menyadari bahwa kita memerlukan kehadiran orang lain, dan juga menyadari bahwa kehadiran kita juga diperlukan oleh orang lain. Kita sebenarnya saling memanfaatkan satu dengan yang lainnya. Masalahnya, jangan sampai, ketika orang lain memanfaatkan, kita terjatuh karenanya. Biarlah orang lain memanfaatkan kita tetapi kita tetap berdiri kokoh. Demikian juga di saat kita memanfaatkan orang lain, orang lain juga tetap berdiri kokoh.
Contohnya dalam kisah Mahabharata, Bhisma adalah orang yang dianggap sangat bijaksana dan memiliki kekuatan, pengetahuan dan kekuasaan yang besar. Tetapi, oleh karena sangat kaku di dalam menjalani kehidupan, berpolitik jujur, akhirnya dengan mudah dimanfaatkan oleh Sakuni sehingga dalam banyak hal dirinya menjadi tidak berdaya. Bhisma sadar kalau dirinya dimanfaatkan tetapi tetap tidak berdaya. Jadilah seperti Krishna, walaupun dirinya dimanfaatkan menjadi kusir di dalam medan pertempuran, jujur berpolitik, dirinya tetap menjadi poros dari peperangan tersebut. *
I Gede Suwantana
(Canakya Niti Sastra, VII: 12)
Menurut terjemahan teks di atas dikatakan bahwa menjadi manusia itu tidak perlu terlalu jujur. Ada masanya untuk tidak jujur sepanjang itu tidak merugikan diri sendiri. Seperti halnya kayu yang lurus, yang bagus untuk bahan bangunan pasti akan ditebang, sementara kayu yang bentuknya kurang bagus akan tidak diapa-apakan. Kalau hidup kita lurus dan jujur, orang akan dengan mudah memanfaatkannya, sementara jika hidup kita seperti bunglon, menyesuaikan warna kulit dimana tinggal, tentu kita akan selamat. Apakah seperti itu?
Jika demikian adanya, dimana letak kemuliaan dari sebuah kejujuran? Apakah nilai kejujuran selalu dihubungkan dengan keuntungan-keuntungan kita? Bila menguntungkan diri sendiri, maka kita bertindak jujur, sebaliknya, jika tidak menguntungkan diri, boleh kita berbohong. Apakah nilai kejujuran hanya terletak pada sisi pragmatisnya saja? Apakah kejujuran tidak memiliki nilai kemuliaan di dalam dirinya sendiri? Jika sebuah kejujuraan baru memilik nilai ketika bermanfaat untuk diri sendiri, apakah itu nilai dari kejujuran itu sendiri atau hanya sekedar nilai dari keuntungan kita saja? Jika seperti ini, maka tidak penting menyatakan apakah kita jujur atau tidak karena semua itu berporos pada keuntungan diri sendiri. Kejujuran yang kita buat maknanya tidak pada kejujuran itu, melainkan ada pada keuntungan itu sendiri.
Jika demikian, apa mulianya teks di atas? Sebab, tanpa disebutkan di dalam teks pun, tendensi manusia telah demikian adanya. Secara alamiah orang akan bertindak sesuai dengan keperluan dirinya. Jika tidak menguntungkan dirinya, maka secara otomatis dirinya tidak akan melakukan apa-apa. Jika menguntungkan dirinya, orang bisa berkata jujur dan berkata tidak jujur. Itu memang telah menjadi tabiat manusia. Jika demikian, apakah teks di atas hanya sekedar menjustifikasi bahwa tindakan manusia sesuai tendensinya telah benar dilakukan? Apakah seperti itu?
Sepertinya, jika sebuah teks itu diikuti dan tetap dijadikan rujukan dari jaman ke jaman, pasti mengandung nilai-niai kemuliaan di dalamnya. Artinya, apapun yang dinyatakan di dalamnya pasti memiliki nilai kemuliaan dan itu muncul dari kebijaksanaan, bukan muncul dari pikiran yang tendensius. Jika demikian, teks di atas mesti memiliki makna yang berbeda, sehingga nilai kejujuran itu tetap mulia di dalam dirinya, tidak di dalam keuntungan-keuntungannya saja. Teks di atas dibuat tentu muncul dari kasus-kasus yang terjadi di lapangan dalam konteks politik kehidupan.
Secara alami manusia saling memakan satu dengan yang lainnya. Manusia tidak bisa hidup sendiri, dia memerlukan manusia lainnya untuk keperluan-keperluan dirinya. Dia memerlukan pasangan hidup, memerlukan anak, memerlukan kawan, memerlukan tetangga, memerlukan perkumpulan dan yang lainnya yang melibatkan banyak orang. Kehadiraan orang-orang disekitarnya adalah untuk memenuhi kebutuhannya. Seperti itulah politik hidup.
Teks di atas sebenarnya tidak mengerdilkan nilai kejujuran, melainkan mengajarkan orang untuk cerdas dalam politik hidup. Kita mesti menyadari bahwa kita memerlukan kehadiran orang lain, dan juga menyadari bahwa kehadiran kita juga diperlukan oleh orang lain. Kita sebenarnya saling memanfaatkan satu dengan yang lainnya. Masalahnya, jangan sampai, ketika orang lain memanfaatkan, kita terjatuh karenanya. Biarlah orang lain memanfaatkan kita tetapi kita tetap berdiri kokoh. Demikian juga di saat kita memanfaatkan orang lain, orang lain juga tetap berdiri kokoh.
Contohnya dalam kisah Mahabharata, Bhisma adalah orang yang dianggap sangat bijaksana dan memiliki kekuatan, pengetahuan dan kekuasaan yang besar. Tetapi, oleh karena sangat kaku di dalam menjalani kehidupan, berpolitik jujur, akhirnya dengan mudah dimanfaatkan oleh Sakuni sehingga dalam banyak hal dirinya menjadi tidak berdaya. Bhisma sadar kalau dirinya dimanfaatkan tetapi tetap tidak berdaya. Jadilah seperti Krishna, walaupun dirinya dimanfaatkan menjadi kusir di dalam medan pertempuran, jujur berpolitik, dirinya tetap menjadi poros dari peperangan tersebut. *
I Gede Suwantana
1
Komentar