Meramu Marah dan Gembira Jadi Kenangan
Dari Bedah Buku Kumpulan Puisi IGA Maya Kurnia
SINGARAJA, NusaBali
I Gusti Ayu Maya Kurnia,50, akhirnya membukukan ratusan karya puisinya dalam buku setebal 168 halaman berjudul Menunggu Hujan Membawaan Lagu Rindu. Buku ini dibedah di Rumah Belajar Mahima, Singaraja,
Minggu (31/3) pagi. Dari ratusan puisinya, menorehkan secara padat tentang kenangan hidupnya. Ada lima puisi yang didedikasikan kepada adiknya tercinta, I Gusti Ayu Metta Kurnia, salah satu korban kecelakaan pesawat Lion Air, penerbangan Pangkal Pinang – Jakarta, akhir Oktober 2018.
Maya Kurnia menyimpan rapi karya ciptaannya sejak tahun 1980-an. Ia yang saat ini masih berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng mengaku suka menulis puisi sejak SD kelas V. Kecintaannya pada puisi pun berlanjut hingga ia mendapatkan wadah menulis lebih serius saat duduk di bangku SMP dan SMA.
Maya yang jebolan SMPN 1 Singaraja saat itu mulai mengembangkan bakat menulis puisinya untuk mengisi majalah dinding sekolah. Kecakapan menulis puisinya pun berlanjut saat ia menjadi siswa SMAN 1 Singaraja. Ia mendapat kepercayaan mengisi majalah sekolah Citra Remaja. Imajinasi memainkan kata yang kemudian dipoles dengan gaya bahasa tak terkikis hingga akhirnya ia bekerja dan kini tak lagi dalam usia muda.
Perempuan kelahiran 15 Februari 1969 ini pun mengaku sering mendapatkan inspirasi menulis puisi saat dalam keadaan marah. Ia tuangkan melalui tulisan. Tangannya juga gemetar dan tak tertahankan menyambung satu dua bait puisi saat kecelakaan maut yang menimpa adik kandungnya, IGA Metta Kurnia. Selama masa galaunya ia melahirkan lima puisi khusus curahan kerinduan untuk adik tercintanya.
“Puisi yang saya bukukan ini saya dedikasikan untuk teman masa kecil saya. Mereka banyak memberikan inspirasi dan ide menulis puisi dan juga adik saya yang jadi korban kecelakaan pesawat. Saya menulis untuk Metta. Saya kalau marah rasakan sendiri. Rindu juga begitu, jadi dengan puisi rindu saya tersampaikan,” jelas dia.
Selain itu perempuan yang supel dalam bergaul ini pun mengatakan banyak terinspirasi dan mendapat ide menulis puisi dari teman masa kecilnya. Kenangan bermain yang dilatarbelakangi oleh tempat yang menjadi saksi persahabatan mereka. “Ada sejumlah tempat yang saya tulis dalam puisi dan tempat itu dulu memang menjadi titik kami berkumpul dan bermain bersama. Saya putuskan untuk membukukan agar puisi saya tidak tercecer, walaupun berkesan hanya sekedar menulis saja,” jelasnya. Maya berharap dan memotivasi generasi muda untuk tak ragu dalam menulis puisi. Ia berharap buku puisinya ini bermanfaat bagi khalayak pembaca.
Buku puisi Maya Kurnia dibedah oleh I Putu Agus Phebi Rosadi, seorang penulis muda. Menurut Agus Phebi dalam kupasannya menafsirkan puisi-puisi Maya Kurnia, semuanya adalah sebuah ketakjuban pada sebuah kenangan.
Agus Phebi mengaku menemukan tanda-tanda itu pada kata-kata yang kerap menjadi simbol sebuah kenangan. “Kata-kata simbol kenangan itu sangat berserakan di puisi Mbok Maya. Puisinya pun berhasil membawa kita ke dalam kenangannya. Karena puisi mudah dipahami, sepertinya ditulis mengalir begitu saja,” kata Agus Phebi menilai.*k23
Minggu (31/3) pagi. Dari ratusan puisinya, menorehkan secara padat tentang kenangan hidupnya. Ada lima puisi yang didedikasikan kepada adiknya tercinta, I Gusti Ayu Metta Kurnia, salah satu korban kecelakaan pesawat Lion Air, penerbangan Pangkal Pinang – Jakarta, akhir Oktober 2018.
Maya Kurnia menyimpan rapi karya ciptaannya sejak tahun 1980-an. Ia yang saat ini masih berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng mengaku suka menulis puisi sejak SD kelas V. Kecintaannya pada puisi pun berlanjut hingga ia mendapatkan wadah menulis lebih serius saat duduk di bangku SMP dan SMA.
Maya yang jebolan SMPN 1 Singaraja saat itu mulai mengembangkan bakat menulis puisinya untuk mengisi majalah dinding sekolah. Kecakapan menulis puisinya pun berlanjut saat ia menjadi siswa SMAN 1 Singaraja. Ia mendapat kepercayaan mengisi majalah sekolah Citra Remaja. Imajinasi memainkan kata yang kemudian dipoles dengan gaya bahasa tak terkikis hingga akhirnya ia bekerja dan kini tak lagi dalam usia muda.
Perempuan kelahiran 15 Februari 1969 ini pun mengaku sering mendapatkan inspirasi menulis puisi saat dalam keadaan marah. Ia tuangkan melalui tulisan. Tangannya juga gemetar dan tak tertahankan menyambung satu dua bait puisi saat kecelakaan maut yang menimpa adik kandungnya, IGA Metta Kurnia. Selama masa galaunya ia melahirkan lima puisi khusus curahan kerinduan untuk adik tercintanya.
“Puisi yang saya bukukan ini saya dedikasikan untuk teman masa kecil saya. Mereka banyak memberikan inspirasi dan ide menulis puisi dan juga adik saya yang jadi korban kecelakaan pesawat. Saya menulis untuk Metta. Saya kalau marah rasakan sendiri. Rindu juga begitu, jadi dengan puisi rindu saya tersampaikan,” jelas dia.
Selain itu perempuan yang supel dalam bergaul ini pun mengatakan banyak terinspirasi dan mendapat ide menulis puisi dari teman masa kecilnya. Kenangan bermain yang dilatarbelakangi oleh tempat yang menjadi saksi persahabatan mereka. “Ada sejumlah tempat yang saya tulis dalam puisi dan tempat itu dulu memang menjadi titik kami berkumpul dan bermain bersama. Saya putuskan untuk membukukan agar puisi saya tidak tercecer, walaupun berkesan hanya sekedar menulis saja,” jelasnya. Maya berharap dan memotivasi generasi muda untuk tak ragu dalam menulis puisi. Ia berharap buku puisinya ini bermanfaat bagi khalayak pembaca.
Buku puisi Maya Kurnia dibedah oleh I Putu Agus Phebi Rosadi, seorang penulis muda. Menurut Agus Phebi dalam kupasannya menafsirkan puisi-puisi Maya Kurnia, semuanya adalah sebuah ketakjuban pada sebuah kenangan.
Agus Phebi mengaku menemukan tanda-tanda itu pada kata-kata yang kerap menjadi simbol sebuah kenangan. “Kata-kata simbol kenangan itu sangat berserakan di puisi Mbok Maya. Puisinya pun berhasil membawa kita ke dalam kenangannya. Karena puisi mudah dipahami, sepertinya ditulis mengalir begitu saja,” kata Agus Phebi menilai.*k23
Komentar