Desa Adat Sah Dapat Dana APBN - APBD
Punya Payung Hukum Berupa Perda
DENPASAR, NusaBali
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Desa Adat sudah resmi diketok palu dalam sidang paripurna DPRD Bali di Gedung Dewan, Niti Mandala Denpasar, Selasa (2/4). Dengan pengesahan ini, maka desa adat di Bali resmi memiliki payung hukum. Dalam Perda ini diatur bahwa desa adat sah dapat sumber pendapatan dari APBN, APBD, dan hibah daerah.
Di era Gubernur Made Mangku Pastika (2008-2018), pemberian dana hibah yang diberikan oleh Pemprov Bali kepada 1.488 desa adat se-Bali pernah dipertanyakan oleh pemerintah pusat. Beruntung, saat itu Gubernur Pastika dan DPRD Bali bisa memberikan argumentasi kuat, sehingga persoalan tersebut akhirnya meredup.
Kini, dengan adanya Perda Desa Adat di era Gubernur Wayan Koster (2018-2023), kekhawairan terkait sumber pendapatan desa adat praktis tidak ada lagi. Sebab, salah satu pasal dalam Perda Desa Adat, yakni Pasal 66, menyebutkan sumber pendapatan desa adat adalah dari APBN-APBD dan hibah daerah.
Yang memperkuat keberadaan desa adat adalah Pasal 46 ayat (2) Perda Desa Adat, yang mengatur keberadaan organisasi-organisasi di desa adat, seperti lembaga Werdha (lanjut usia), Paiketan Pamangku, Paiketan Serati, Yowana, Pecalang, dan Krama Istri. Selain itu, Pasal 32 ayat (2) yang mengatur sistem pemilihan di desa adat diputuskan dengan musyawarah dan mufakat, manut dresta (menyesuaikan dengan aturan yang berlaku di desa adat setempat).
Ketua Pansus Raperda Desa Adat DPRD Bali, Nyoman Parta, dalam pidatonya di sidang paripurna hari itu menyampaikan desa adat memiliki posisi istimewa di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Menurut Parta, hal ini tertuang dalam Pasal 18 b (ayat 2) yang berbunyi ‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan perkembangannya sesuai dengan prinsip NKRI’.
”Perda Desa Adat ini seiring dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Meskipun ada juga yang tidak termasuk dalam pengaturan oleh UU Nomor 6 Tahun 2014, namun segala ketentuan tentang desa adat diatur dalam Perda Desa Adat,” ujar politisi PDIP asal Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Gianyar yang juga Ketua Komisi IV DPRD Bali ini.
Sementara itu, Gubernur Bali Wayan Koster menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada legislatif atas kerja keras dan kerjasamanya dalam menyelesaikan pembahasan Ranperda Desa Adat. Gubernur Koster menegaskan, keberadaan desa adat di Bali merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang tumbuh dan berkembang selama berabad-abad, serta memiliki hak asal usul, hak tradisional, dan hak otonomi asli mengatur rumah tangganya sendiri.
Menurut Koster, peranan desa adat di Bali dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara sangat strategis. Karenanya, desa adat perlu mendapat perhatian dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam rangka memberikan perlindungan, pembinaan, dan pemberdayaannya guna mewujudkan kehidupan krama Bali yang sejahtera dan bahagia, sakala-niskala.
Gubernur yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini menyebutkan, desa adat memiliki tata kehidupan dengan kebudayaan tinggi yang khas/unik, berupa adat istiadat, agama, tradisi, seni,dan budaya, serta kearifan lokal. Untuk itu, keberadaan desa adat harus dijaga dan diperkuat kedudukannya, sehingga dapat menjalankan fungsi otonomi asli dan komunitas yang berhak membuat peraturan untuk kepentingan desa adat.
“Jangan sampai desa adat ditinggalkan oleh generasi muda kita. Keberadaan desa adat sangat penting, karena ada fungsi yang tidak mungkin dilakukan oleh desa lainnya. Ke depan, Perda Desa Adat ini harus dilaksanakan secara konsisten, sehingga desa adat mampu menjaga kesucian alam Bali, mensejahterakan krama Bali, dan menjaga kebudayaan Bali sesuai dengan visi ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’,” tandas politisi asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng yang notabene mantan anggota Komisi X DPR RI dar Fraksi PDIP Dapil Bali tiga periode ini.
Perda Desa Adat yang terdiri dari 19 bab dan 103 pasal, tidak hanya menjawab tantangan ke depan terkait keberadaan desa adat di Bali. Keberadaan Perda Desa Adat juga untuk pengakuan, penguatan, pemberdayaan, dan kemandirian desa adat.
Dalam Perda Desa Adat ini, diatur beberapa hal penting. Di antaranya, desa adat sebagai subjek hukum serta swadharma (kewajiban krama) di desa adat yang meliputi krama desa adat, krama tamiu, dan tamiu. Perda Desa Adat juga mengatur tentang bendesa adat yang dipilih oleh krama desa secara musyawarah mufakat, kewajiban melaksanakan pembinaan dan pemberdayaan krama dalam meningkatkan tanggung jawab terhadap lingkungan, serta melaksanakan pengelolaan sampah di wewidangan desa adat. *nat
Di era Gubernur Made Mangku Pastika (2008-2018), pemberian dana hibah yang diberikan oleh Pemprov Bali kepada 1.488 desa adat se-Bali pernah dipertanyakan oleh pemerintah pusat. Beruntung, saat itu Gubernur Pastika dan DPRD Bali bisa memberikan argumentasi kuat, sehingga persoalan tersebut akhirnya meredup.
Kini, dengan adanya Perda Desa Adat di era Gubernur Wayan Koster (2018-2023), kekhawairan terkait sumber pendapatan desa adat praktis tidak ada lagi. Sebab, salah satu pasal dalam Perda Desa Adat, yakni Pasal 66, menyebutkan sumber pendapatan desa adat adalah dari APBN-APBD dan hibah daerah.
Yang memperkuat keberadaan desa adat adalah Pasal 46 ayat (2) Perda Desa Adat, yang mengatur keberadaan organisasi-organisasi di desa adat, seperti lembaga Werdha (lanjut usia), Paiketan Pamangku, Paiketan Serati, Yowana, Pecalang, dan Krama Istri. Selain itu, Pasal 32 ayat (2) yang mengatur sistem pemilihan di desa adat diputuskan dengan musyawarah dan mufakat, manut dresta (menyesuaikan dengan aturan yang berlaku di desa adat setempat).
Ketua Pansus Raperda Desa Adat DPRD Bali, Nyoman Parta, dalam pidatonya di sidang paripurna hari itu menyampaikan desa adat memiliki posisi istimewa di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Menurut Parta, hal ini tertuang dalam Pasal 18 b (ayat 2) yang berbunyi ‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan perkembangannya sesuai dengan prinsip NKRI’.
”Perda Desa Adat ini seiring dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Meskipun ada juga yang tidak termasuk dalam pengaturan oleh UU Nomor 6 Tahun 2014, namun segala ketentuan tentang desa adat diatur dalam Perda Desa Adat,” ujar politisi PDIP asal Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Gianyar yang juga Ketua Komisi IV DPRD Bali ini.
Sementara itu, Gubernur Bali Wayan Koster menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada legislatif atas kerja keras dan kerjasamanya dalam menyelesaikan pembahasan Ranperda Desa Adat. Gubernur Koster menegaskan, keberadaan desa adat di Bali merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang tumbuh dan berkembang selama berabad-abad, serta memiliki hak asal usul, hak tradisional, dan hak otonomi asli mengatur rumah tangganya sendiri.
Menurut Koster, peranan desa adat di Bali dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara sangat strategis. Karenanya, desa adat perlu mendapat perhatian dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam rangka memberikan perlindungan, pembinaan, dan pemberdayaannya guna mewujudkan kehidupan krama Bali yang sejahtera dan bahagia, sakala-niskala.
Gubernur yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini menyebutkan, desa adat memiliki tata kehidupan dengan kebudayaan tinggi yang khas/unik, berupa adat istiadat, agama, tradisi, seni,dan budaya, serta kearifan lokal. Untuk itu, keberadaan desa adat harus dijaga dan diperkuat kedudukannya, sehingga dapat menjalankan fungsi otonomi asli dan komunitas yang berhak membuat peraturan untuk kepentingan desa adat.
“Jangan sampai desa adat ditinggalkan oleh generasi muda kita. Keberadaan desa adat sangat penting, karena ada fungsi yang tidak mungkin dilakukan oleh desa lainnya. Ke depan, Perda Desa Adat ini harus dilaksanakan secara konsisten, sehingga desa adat mampu menjaga kesucian alam Bali, mensejahterakan krama Bali, dan menjaga kebudayaan Bali sesuai dengan visi ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’,” tandas politisi asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng yang notabene mantan anggota Komisi X DPR RI dar Fraksi PDIP Dapil Bali tiga periode ini.
Perda Desa Adat yang terdiri dari 19 bab dan 103 pasal, tidak hanya menjawab tantangan ke depan terkait keberadaan desa adat di Bali. Keberadaan Perda Desa Adat juga untuk pengakuan, penguatan, pemberdayaan, dan kemandirian desa adat.
Dalam Perda Desa Adat ini, diatur beberapa hal penting. Di antaranya, desa adat sebagai subjek hukum serta swadharma (kewajiban krama) di desa adat yang meliputi krama desa adat, krama tamiu, dan tamiu. Perda Desa Adat juga mengatur tentang bendesa adat yang dipilih oleh krama desa secara musyawarah mufakat, kewajiban melaksanakan pembinaan dan pemberdayaan krama dalam meningkatkan tanggung jawab terhadap lingkungan, serta melaksanakan pengelolaan sampah di wewidangan desa adat. *nat
1
Komentar