Money Changer Ilegal Ganggu Bali
Praktik money changer ilegal kerap beroperasi saat musim wisatawan. Sebaliknya bisnis money changer resmi menurun 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
DENPASAR, NusaBali
Bank Indonesia menekankan agar masyarakat, selaku konsumen menghindari, tidak menggunakan atau memanfaatkan money changer (Kelompok Usaha Penukaran Valuta Asing/KUPVA) ilegal alias tidak berizin. BI sendiri sedang mengembangkan semacam aplikasi yang dibisa digunakan sebagai panduan, tentang keberadaan money changer legal.
Deputi Direktur Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia (KPw BI) Bali, Teguh Setyadi mengungkapkan hal tersebut di sela-sela Diskusi Publik Money Changer Ilegal Dampak dan Antisipasinya di Hotel Visini, Denpasar Kamis (4/4). “Dengan demikian, masyarakat tahu KUPVA yang legal. Kita minta teman- teman APVA (Asosiasi Penukaran Valuta Asing) meng –up date-nya,” ujar Teguh Setyadi.
Dari penjelasannya, terungkap semua pihak harus berusaha untuk menghindari kemungkinan terjadi praktik tidak benar terkait KUPVA ilegal. “Karena sekali terjadi masalah sektor pariwisata terkena imbasnya,” ujarnya. Sedang pariwisata sendiri merupakan tumpuan perekonomian Bali.
Terkait pengawasan, BI kata Teguh Setyadi, rutin sepanjang tahun melakukan pengawasan, baik dari laporan KUPVA (legal) maupun sidak langsung ke lapangan. Hanya untuk turun ke lapangan dilakukan bergilir, mengingat jumlah KUPVA di Bali lebih dari 500, baik kantor pusat sekitar 124 dan kantor cabang.
Teguh Setyadi menyatakan BI selalu melakukan sosialisasi agar KUPVA ilegal mengurus perizinan. Izin tersebut, kata Teguh Setyadi tidak sulit. ” Itu dari sisi KUPVA-nya,” ujarnya. Sedang kepada masyarakat, yakni konsumen diminta untuk tidak menggunakan (jasa) KUPVA ilegal. Harapannya, jika sudah tidak dimanfaatkan, tentu KUPVA ilegal itu mati dengan sendirinya.
Namun mengingat, Bali sebagai daerah pariwisata dengan kunjungan ribuan wisatawan, kata Teguh Setyadi, tidak tertutup kemungkinan ada saja wisatawan, terutama yang baru pertama kali datang ke Bali (ke Indonesia) ‘terkena’ praktik KUPVA ilegal. “Karena mereka tidak mendapat info (KUPVA legal),” kata Teguh Setyadi.
Ketua Asosiasi Penukaran Valuta Asing (APVA) Hj Ayu Astuti Dhama,mengatakan pihaknya telah bersurat ke Gubernur untuk membahas keberadaan praktik money changer ilegal tersebut. Demikian dalam pertemuan dengan Wagub Tjokorda Artha Ardana Sukawati atau Cok Ace, hal itu juga sudah disampaikan.
“ Yang sangat kita sayangkan pariwisata kita menurun dengan info-info ilegal itu,” ujar Ayu Astuti Dhama. Dikatakan perkembangan money changer ilegal apalagi di musim ramai kunjungan wisman menjamur. Sedang transaksi money changer legal, mengalami penurunan sekitar 10 persen sejak 2018. Selain faktor penggunaan uang elektronik dan transaksi lewat aplikasi oleh wisatawan, faktor money changer ilegal juga berimbas terhadap penurunan transaksi money changer legal.
Ekonom dari Unud Prof Dr I Wayan Ramantha, menyatakan soal money changer, karena merupakan bagian dari perlengkapan pariwisata harus mendapat perbaikan. “Di negara- negara maju asal wisatawan, tidak ada money changer ilegal,” ungkapnya.
Kata Ramantha, mengingat pariwisata merupakan tulang punggung perekonomian, maka sektor pasar keuangan harus diperbaiki. “Wisatawan ke sini selain membutuhkan keamanan fisik, tetapi juga aman dalam transasksi. Tak merasa dibohongi soal rate,” tunjuk Ramantha.
Diskusi soal money changer ilegal juga dikaji dari sisi hukum oleh akademisi FH Warmadewa DR NL Mahendrawati SH, yang melakukan pendekatan secara legal sososilogis. *k17
Bank Indonesia menekankan agar masyarakat, selaku konsumen menghindari, tidak menggunakan atau memanfaatkan money changer (Kelompok Usaha Penukaran Valuta Asing/KUPVA) ilegal alias tidak berizin. BI sendiri sedang mengembangkan semacam aplikasi yang dibisa digunakan sebagai panduan, tentang keberadaan money changer legal.
Deputi Direktur Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia (KPw BI) Bali, Teguh Setyadi mengungkapkan hal tersebut di sela-sela Diskusi Publik Money Changer Ilegal Dampak dan Antisipasinya di Hotel Visini, Denpasar Kamis (4/4). “Dengan demikian, masyarakat tahu KUPVA yang legal. Kita minta teman- teman APVA (Asosiasi Penukaran Valuta Asing) meng –up date-nya,” ujar Teguh Setyadi.
Dari penjelasannya, terungkap semua pihak harus berusaha untuk menghindari kemungkinan terjadi praktik tidak benar terkait KUPVA ilegal. “Karena sekali terjadi masalah sektor pariwisata terkena imbasnya,” ujarnya. Sedang pariwisata sendiri merupakan tumpuan perekonomian Bali.
Terkait pengawasan, BI kata Teguh Setyadi, rutin sepanjang tahun melakukan pengawasan, baik dari laporan KUPVA (legal) maupun sidak langsung ke lapangan. Hanya untuk turun ke lapangan dilakukan bergilir, mengingat jumlah KUPVA di Bali lebih dari 500, baik kantor pusat sekitar 124 dan kantor cabang.
Teguh Setyadi menyatakan BI selalu melakukan sosialisasi agar KUPVA ilegal mengurus perizinan. Izin tersebut, kata Teguh Setyadi tidak sulit. ” Itu dari sisi KUPVA-nya,” ujarnya. Sedang kepada masyarakat, yakni konsumen diminta untuk tidak menggunakan (jasa) KUPVA ilegal. Harapannya, jika sudah tidak dimanfaatkan, tentu KUPVA ilegal itu mati dengan sendirinya.
Namun mengingat, Bali sebagai daerah pariwisata dengan kunjungan ribuan wisatawan, kata Teguh Setyadi, tidak tertutup kemungkinan ada saja wisatawan, terutama yang baru pertama kali datang ke Bali (ke Indonesia) ‘terkena’ praktik KUPVA ilegal. “Karena mereka tidak mendapat info (KUPVA legal),” kata Teguh Setyadi.
Ketua Asosiasi Penukaran Valuta Asing (APVA) Hj Ayu Astuti Dhama,mengatakan pihaknya telah bersurat ke Gubernur untuk membahas keberadaan praktik money changer ilegal tersebut. Demikian dalam pertemuan dengan Wagub Tjokorda Artha Ardana Sukawati atau Cok Ace, hal itu juga sudah disampaikan.
“ Yang sangat kita sayangkan pariwisata kita menurun dengan info-info ilegal itu,” ujar Ayu Astuti Dhama. Dikatakan perkembangan money changer ilegal apalagi di musim ramai kunjungan wisman menjamur. Sedang transaksi money changer legal, mengalami penurunan sekitar 10 persen sejak 2018. Selain faktor penggunaan uang elektronik dan transaksi lewat aplikasi oleh wisatawan, faktor money changer ilegal juga berimbas terhadap penurunan transaksi money changer legal.
Ekonom dari Unud Prof Dr I Wayan Ramantha, menyatakan soal money changer, karena merupakan bagian dari perlengkapan pariwisata harus mendapat perbaikan. “Di negara- negara maju asal wisatawan, tidak ada money changer ilegal,” ungkapnya.
Kata Ramantha, mengingat pariwisata merupakan tulang punggung perekonomian, maka sektor pasar keuangan harus diperbaiki. “Wisatawan ke sini selain membutuhkan keamanan fisik, tetapi juga aman dalam transasksi. Tak merasa dibohongi soal rate,” tunjuk Ramantha.
Diskusi soal money changer ilegal juga dikaji dari sisi hukum oleh akademisi FH Warmadewa DR NL Mahendrawati SH, yang melakukan pendekatan secara legal sososilogis. *k17
1
Komentar