Padukan Jiwa Seni dan Kearifan Lingkungan
Seniman Gayor I Wayan Eka Sanjaya
GIANYAR, NusaBali
Masyarakat Bali yang terkenal bertangan dingin plus berjiwa seni relatif tinggi tentu makin tertantang. Tak hanya melahirkan produk seni mengagumkan, namun juga terhindar dari lebel ‘tak peduli lingkungan’.
Sejurus dengan itu, maka pertanyaan yang kerap terlontar yakni bagaimana para kreator seni membuat barang yang limbahnya tak merusak lingkungan. Barang dimaksud terutama jenis hiasan yang sebelumya berbahan anorganik, jenis plastik, styrofoam, dan lainnya, kini diganti dengan kreasi serupa namun berbahan alami.
Dekorasi atau hiasan di lokasi prosesi upacara perkawinan, misalnya. Barang seni ini kini menjadi salah satu bagian penting dalam hajatan dimaksud.
Terutama untuk menciptakan kesan mewah, elegan dan matangnya persiapan upacara. Sehingga tak jarang, keluarga yang punya hajatan rela merogoh kocek jutaan rupiah. Konsep dekorasi sebuah pesta perkawinan pun bervariasi setiap saat. Mulai dari terkesan glamor dengan penuh warna hingga konsep sederhana berbahan alami. Karena saking ingin mewah, sang punya hajatan lupa kalau dekorasi upacaranya akan berbuah sampah yang merusak lingkungan,
Seiring dengan implementasi Pergub Bali tentang pembatasan timbulan sampah plastik, dekorasi berbahan alami pun kian dilirik. Penyedia jasa dekorasi alami pun kini makin kebanjiran pesanan. Seperti diungkapkan salah seorang seniman dekorasi asal Banjar Mas, Desa Sayan, Ubud, I Wayan Eka Sanjaya. Terlebih saat dewasa ayu musim kawin, dalam seminggu ia bisa mengerjakan empat dekorasi di tempat berbeda. Sementara untuk merampungkan satu dekorasi khususnya gayor, ia memerlukan waktu dua hari.
Dia mengaku terpanggil menekuni gayor alami untuk ikut mengurangi penggunaan plastik dan styrofoam. Bahkan, sebelum Pergub ini disahkan. "Saya mulai usaha dskorasi ini sejak tahun 2016. Awal pertama memang pakai gabus dan styrofoam, tapi biar beda dari gang lain, saya putuskan bermain di bahan alami saja," ungkapnya. Di sela-sela kesibukannya sebagai pekerja salah satu hotel di Desa Sayan, Eka Sanjaya merekrut 3 tenaga lain untuk mengembangkan usahanya ini. Termasuk memanggil 2 tenaga freelance lainnya, ketika dirinya kebanjiran pesanan. Usaha dekorasinya, dinamai Manik Galih Dekorasi. "Hiasan ini namanya gayor ramah lingkungan, bahannya janur dan beberapa bunga untuk mengiasinya. Kalau sekarang musim nikah lumayan pesanan yang masuk," terangnya.
Gayor tersebut biasanya untuk dekorasi depan rumah, halaman rumah, hingga pada depan bale dangin atau bale daja. "Kami membuat sesuai pesanan dimana akan dipasangkan," jelasnya. Selain rumah, Sanjaya menjelaskan pihaknya juga kerap mendapat pesanan untuk di pura agar memperindah penampilan pura. Untuk satu buah gayor dipatok harga kisaran Rp 3 juta - Rp 5 juta. Sedangkan ukurannya sekitar 3 meter x 1 meter dan bisa disesuaikan dengan permintaan. "Bulan Maret ini ada sekitar enam pesanan. Proses pembuatan satu gayor maksimal menghabiskan waktu dua hari," terang Sanjaya.*nvi
Sejurus dengan itu, maka pertanyaan yang kerap terlontar yakni bagaimana para kreator seni membuat barang yang limbahnya tak merusak lingkungan. Barang dimaksud terutama jenis hiasan yang sebelumya berbahan anorganik, jenis plastik, styrofoam, dan lainnya, kini diganti dengan kreasi serupa namun berbahan alami.
Dekorasi atau hiasan di lokasi prosesi upacara perkawinan, misalnya. Barang seni ini kini menjadi salah satu bagian penting dalam hajatan dimaksud.
Terutama untuk menciptakan kesan mewah, elegan dan matangnya persiapan upacara. Sehingga tak jarang, keluarga yang punya hajatan rela merogoh kocek jutaan rupiah. Konsep dekorasi sebuah pesta perkawinan pun bervariasi setiap saat. Mulai dari terkesan glamor dengan penuh warna hingga konsep sederhana berbahan alami. Karena saking ingin mewah, sang punya hajatan lupa kalau dekorasi upacaranya akan berbuah sampah yang merusak lingkungan,
Seiring dengan implementasi Pergub Bali tentang pembatasan timbulan sampah plastik, dekorasi berbahan alami pun kian dilirik. Penyedia jasa dekorasi alami pun kini makin kebanjiran pesanan. Seperti diungkapkan salah seorang seniman dekorasi asal Banjar Mas, Desa Sayan, Ubud, I Wayan Eka Sanjaya. Terlebih saat dewasa ayu musim kawin, dalam seminggu ia bisa mengerjakan empat dekorasi di tempat berbeda. Sementara untuk merampungkan satu dekorasi khususnya gayor, ia memerlukan waktu dua hari.
Dia mengaku terpanggil menekuni gayor alami untuk ikut mengurangi penggunaan plastik dan styrofoam. Bahkan, sebelum Pergub ini disahkan. "Saya mulai usaha dskorasi ini sejak tahun 2016. Awal pertama memang pakai gabus dan styrofoam, tapi biar beda dari gang lain, saya putuskan bermain di bahan alami saja," ungkapnya. Di sela-sela kesibukannya sebagai pekerja salah satu hotel di Desa Sayan, Eka Sanjaya merekrut 3 tenaga lain untuk mengembangkan usahanya ini. Termasuk memanggil 2 tenaga freelance lainnya, ketika dirinya kebanjiran pesanan. Usaha dekorasinya, dinamai Manik Galih Dekorasi. "Hiasan ini namanya gayor ramah lingkungan, bahannya janur dan beberapa bunga untuk mengiasinya. Kalau sekarang musim nikah lumayan pesanan yang masuk," terangnya.
Gayor tersebut biasanya untuk dekorasi depan rumah, halaman rumah, hingga pada depan bale dangin atau bale daja. "Kami membuat sesuai pesanan dimana akan dipasangkan," jelasnya. Selain rumah, Sanjaya menjelaskan pihaknya juga kerap mendapat pesanan untuk di pura agar memperindah penampilan pura. Untuk satu buah gayor dipatok harga kisaran Rp 3 juta - Rp 5 juta. Sedangkan ukurannya sekitar 3 meter x 1 meter dan bisa disesuaikan dengan permintaan. "Bulan Maret ini ada sekitar enam pesanan. Proses pembuatan satu gayor maksimal menghabiskan waktu dua hari," terang Sanjaya.*nvi
Komentar