Tradisi
JIKA ada etnik yang sangat bangga dan taat pada tradisi, itulah Bali.
Bagi orang Bali, tradisi itu bisa bermakna segala-galanya. Mereka menganggap, jika tradisi itu runtuh, pudar pula kebudayaan Bali. Tak ada tradisi, tiada pula Bali. Lenyap tradisi, hilang Bali.
Bagi orang Bali, tradisi tidak semata berarti yang mereka warisi turun temurun, berabad-abad, tapi juga bermakna sopan santun, etika, aturan-aturan, norma-norma, serta doktrin-doktrin. Melanggar tradisi mereka anggap menodai leluhur, juga melanggar etika, berperilaku buruk, dan merusak tatanan kekerabatan. Siapa saja yang menodai tradisi berarti pula merusak lingkungan sosial. Para perusak ini sudah sepantasnya dikucilkan dan dibuang.
Karena tradisi menjadi doktrin, hampir semua orang Bali, tanpa disadari, menerima tradisi sebagai sebuah keharusan, sehingga tradisi menjadi monopoli, menjadi penguasa hidup. Sangat sedikit yang berani menggugat tradisi, karena perlawanan terhadap warisan leluhur tidak hanya dianggap pengkhianatan, juga pengingkaran, keangkuhan, atau keberanian yang keliru.
Tradisi pun dijalankan dengan banyak keluhan. Makin renta usia tradisi, kian banyak dikeluhkan, karena tidak lagi sesuai perkembangan zaman, namun orang Bali tetap dengan patuh menjalankannya. Berani menentang tradisi, mereka dituduh mengingkari adat, mengotori yang suci, dan merusak tatanan. Orang-orang begini disebut manusia tidak tahu adat, merusak martabat etnik, tidak tahu etika, ke luar dari tata krama. Tuduhan paling kejam sering dilontarkan oleh lingkungan adalah, “Dia bukan orang Bali. Atau tak pantas disebut sebagai manusia Bali.”
Apakah semua orang Bali harus patuh pada tradisi? Semua tradisi? Tradisi macam apa saja yang sepantasnya diubah, dirombak, dan mana pula yang mesti dipertahankan? Dari mana orang Bali sepatutnya menakar tradisi yang mesti tetap digeluti atau mana pula yang seharusnya dibuang?
Zaman raja-raja Bali Kuno, hingga akhir 1980-an, masih terdengar kabar orang-orang desa yang dikucilkan karena melahirkan anak kembar buncing (laki dan perempuan). Mereka dianggap manakan salah, salah kenapa melahirkan bayi kembar laki-perempuan. Zaman dulu, hanya raja dan keturunannya yang diizinkan punya bayi kembar buncing.
Bagi warga biasa, bukan orang keraton atau puri, yang beranak kembar buncing dihukum dengan diasingkan di tepi desa. Warga membuatkan mereka pondok, kemudian berbulan baru diizinkan kembali ke rumah asal. Itu tradisi yang keliru, dan sekarang sudah ditiadakan. Kembar, buncing atau tidak adalah rezeki Tuhan, harus disyukuri dan dirawat sebaik-baiknya.
Seorang wartawan dari Jakarta melakukan liputan tentang adat istiadat dan tradisi di kalangan warga Bali. Si wartawan berkeliling ke desa-desa, ke banyak acara adat. Tentu ia memperoleh banyak bahan yang sangat kaya dengan pernik-pernik kehidupan kekerabatan. Ia hadir di sangkep (rapat) banjar, dan mencermati dinamika yang terjadi. Si wartawan heran, betapa taat warga banjar terhadap awig-awig (aturan) yang mereka warisi turun temurun.
“Tatkala membayar denda (dosan) karena warga tidak hadir dalam kegiatan adat, mereka sangat taat, langsung membayar denda itu dengan patuh,” komentar si wartawan. “Hal seperti ini tidak pernah saya temukan di kelompok adat atau lokal mana pun di tanah air.”
Menurut si wartawan, itu terjadi karena orang Bali sangat patuh meneruskan tradisi mereka. Tapi, wartawan itu juga menemukan, ada sekian hal yang kemudian masuk ke ranah tradisi itu, membuatnya semakin kaya dan meriah, sehingga muncul menjadi beban. “Dalam berbagai kegiatan adat dan upacara, misalnya,” tulis si wartawan, saya menemukan cukup banyak orang Bali yang menceritakan, kegiatan upacara di zaman kakek-nenek mereka sangat sederhana, tetapi sekarang menjadi terkesan mewah dan besar.”
Karena patuh pada tradisi, dunia sangat menghargai dan menghormati Bali. Dunia memuji Bali karena tradisi-tradisi itu dipertahankan dengan kuat, seakan-akan Bali bersedia melakukan apa saja, yang penting tradisi itu tetap terjaga. Pujian-pujian semakin meyakinkan orang Bali, bahwa mereka melangkah di jalur yang benar. Mereka yakin, mempertahankan tradisi adalah kunci dan benteng menjaga Bali.
Tetapi orang Bali juga harus menelisik dengan cermat tradisi-tradisi itu, tulis si wartawan. Bagian ini tidak ditulis oleh si wartawan di medianya, tetapi ia kabarkan kepada rekannya orang Bali. Ada sekian warisan leluhur yang kalau dicermati, tidak lagi sepantasnya diterapkan karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Ada pula tradisi yang berada di wilayah abu-abu, yang membuat orang Bali bimbang untuk meneruskan atau meninggalkannya.
Ada pula tradisi yang menurut orang-orang Bali sepatutnya ditinggalkan saja. “Mereka tahu mana yang sepatutnya dihapuskan, karena tidak lagi sesuai dengan asas kemanusian,” komentar si wartawan. Namun sebagian besar orang Bali tidak berani melakukan penghapusan itu, karena mereka khawatir disebut tidak menghargai tradisi, tidak tahu adat, tidak paham etika, dan kesan buruk lainnya yang ditimpakan para penggugat ini.
Para penggugat ini menyerahkan nasib tradisi-tradisi itu pada alam. “Mereka berkomentar, kalau memang ditakdirkan lenyap, ya tradisi yang menjadi beban itu akan punah dengan sendirinya,” ujar si wartawan. “Karena siapa yang tahan menanggung hidup berat beban?” Kalau ditelisik, bisa jadi banyak orang Bali yang menunggu takdir kehendak alam itu. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Bagi orang Bali, tradisi tidak semata berarti yang mereka warisi turun temurun, berabad-abad, tapi juga bermakna sopan santun, etika, aturan-aturan, norma-norma, serta doktrin-doktrin. Melanggar tradisi mereka anggap menodai leluhur, juga melanggar etika, berperilaku buruk, dan merusak tatanan kekerabatan. Siapa saja yang menodai tradisi berarti pula merusak lingkungan sosial. Para perusak ini sudah sepantasnya dikucilkan dan dibuang.
Karena tradisi menjadi doktrin, hampir semua orang Bali, tanpa disadari, menerima tradisi sebagai sebuah keharusan, sehingga tradisi menjadi monopoli, menjadi penguasa hidup. Sangat sedikit yang berani menggugat tradisi, karena perlawanan terhadap warisan leluhur tidak hanya dianggap pengkhianatan, juga pengingkaran, keangkuhan, atau keberanian yang keliru.
Tradisi pun dijalankan dengan banyak keluhan. Makin renta usia tradisi, kian banyak dikeluhkan, karena tidak lagi sesuai perkembangan zaman, namun orang Bali tetap dengan patuh menjalankannya. Berani menentang tradisi, mereka dituduh mengingkari adat, mengotori yang suci, dan merusak tatanan. Orang-orang begini disebut manusia tidak tahu adat, merusak martabat etnik, tidak tahu etika, ke luar dari tata krama. Tuduhan paling kejam sering dilontarkan oleh lingkungan adalah, “Dia bukan orang Bali. Atau tak pantas disebut sebagai manusia Bali.”
Apakah semua orang Bali harus patuh pada tradisi? Semua tradisi? Tradisi macam apa saja yang sepantasnya diubah, dirombak, dan mana pula yang mesti dipertahankan? Dari mana orang Bali sepatutnya menakar tradisi yang mesti tetap digeluti atau mana pula yang seharusnya dibuang?
Zaman raja-raja Bali Kuno, hingga akhir 1980-an, masih terdengar kabar orang-orang desa yang dikucilkan karena melahirkan anak kembar buncing (laki dan perempuan). Mereka dianggap manakan salah, salah kenapa melahirkan bayi kembar laki-perempuan. Zaman dulu, hanya raja dan keturunannya yang diizinkan punya bayi kembar buncing.
Bagi warga biasa, bukan orang keraton atau puri, yang beranak kembar buncing dihukum dengan diasingkan di tepi desa. Warga membuatkan mereka pondok, kemudian berbulan baru diizinkan kembali ke rumah asal. Itu tradisi yang keliru, dan sekarang sudah ditiadakan. Kembar, buncing atau tidak adalah rezeki Tuhan, harus disyukuri dan dirawat sebaik-baiknya.
Seorang wartawan dari Jakarta melakukan liputan tentang adat istiadat dan tradisi di kalangan warga Bali. Si wartawan berkeliling ke desa-desa, ke banyak acara adat. Tentu ia memperoleh banyak bahan yang sangat kaya dengan pernik-pernik kehidupan kekerabatan. Ia hadir di sangkep (rapat) banjar, dan mencermati dinamika yang terjadi. Si wartawan heran, betapa taat warga banjar terhadap awig-awig (aturan) yang mereka warisi turun temurun.
“Tatkala membayar denda (dosan) karena warga tidak hadir dalam kegiatan adat, mereka sangat taat, langsung membayar denda itu dengan patuh,” komentar si wartawan. “Hal seperti ini tidak pernah saya temukan di kelompok adat atau lokal mana pun di tanah air.”
Menurut si wartawan, itu terjadi karena orang Bali sangat patuh meneruskan tradisi mereka. Tapi, wartawan itu juga menemukan, ada sekian hal yang kemudian masuk ke ranah tradisi itu, membuatnya semakin kaya dan meriah, sehingga muncul menjadi beban. “Dalam berbagai kegiatan adat dan upacara, misalnya,” tulis si wartawan, saya menemukan cukup banyak orang Bali yang menceritakan, kegiatan upacara di zaman kakek-nenek mereka sangat sederhana, tetapi sekarang menjadi terkesan mewah dan besar.”
Karena patuh pada tradisi, dunia sangat menghargai dan menghormati Bali. Dunia memuji Bali karena tradisi-tradisi itu dipertahankan dengan kuat, seakan-akan Bali bersedia melakukan apa saja, yang penting tradisi itu tetap terjaga. Pujian-pujian semakin meyakinkan orang Bali, bahwa mereka melangkah di jalur yang benar. Mereka yakin, mempertahankan tradisi adalah kunci dan benteng menjaga Bali.
Tetapi orang Bali juga harus menelisik dengan cermat tradisi-tradisi itu, tulis si wartawan. Bagian ini tidak ditulis oleh si wartawan di medianya, tetapi ia kabarkan kepada rekannya orang Bali. Ada sekian warisan leluhur yang kalau dicermati, tidak lagi sepantasnya diterapkan karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Ada pula tradisi yang berada di wilayah abu-abu, yang membuat orang Bali bimbang untuk meneruskan atau meninggalkannya.
Ada pula tradisi yang menurut orang-orang Bali sepatutnya ditinggalkan saja. “Mereka tahu mana yang sepatutnya dihapuskan, karena tidak lagi sesuai dengan asas kemanusian,” komentar si wartawan. Namun sebagian besar orang Bali tidak berani melakukan penghapusan itu, karena mereka khawatir disebut tidak menghargai tradisi, tidak tahu adat, tidak paham etika, dan kesan buruk lainnya yang ditimpakan para penggugat ini.
Para penggugat ini menyerahkan nasib tradisi-tradisi itu pada alam. “Mereka berkomentar, kalau memang ditakdirkan lenyap, ya tradisi yang menjadi beban itu akan punah dengan sendirinya,” ujar si wartawan. “Karena siapa yang tahan menanggung hidup berat beban?” Kalau ditelisik, bisa jadi banyak orang Bali yang menunggu takdir kehendak alam itu. *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar