Pejabat KPK Diduga Langgar Kode Etik
Eks Ketua KPK nilai petisi pegawai karena kasus teror Novel belum terungkap
JAKARTA, NusaBali
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad berkomentar soal petisi yang disampaikan pegawai KPK ke pimpinan. Menurut Samad, petisi itu merupakan gejolak keresahan termasuk kategori teror Novel Baswedan yang belum terungkap.
"Sebenarnya yang terjadi sekarang ini adalah gejolak, gejolak perasaan pegawai yang resah, kenapa resah? karena ada beberapa persoalan yang mendasar itu sampai detik ini belum bisa diselesaikan salah satunya kasus penyerangan novel," kata Samad saat menghadiri peringatan 2 tahun teror terhadap Novel di gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (11/4).
Samad juga menduga ada pelanggaran kode etik yang dilakukan pejabat struktural di KPK yang membuat pegawai resah. Petisi yang disampaikan pegawai itu menurut Samad merupakan hal wajar.
"Mungkin ada kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan pejabat struktural. Kelihatannya itupun tidak ada tindak lanjut yang konkret, karena itu lah mungkin kegelisahan itu, kegalauan itu yang dialami anak-anak saya di KPK. Sehingga, dia menyampaikan surat kepada pimpinan KPK, dan menurut saya itu wajar," ucapnya dilansir detik.
Menurut Samad, adanya petisi itu menunjukkan keadaan yang tidak kondusif. Dia menyarankan pimpinan KPK saat ini tidak bersikap loyo.
"Sehingga saya sarankan, pimpinan KPK sudahlah jangan terlalu loyo untuk menyelesaikan persoalan yang ada, jangan terlalu lambat, karena kelambatan yang dilakukan pimpinan KPK, membawa ketidakpastian bagi seluruh pegawai KPK," kata dia.
Samad mengatakan, jika ada pelanggan kode etik maka harus dilakukan sidang dan dibuka ke publik. Cara itu, menurutnya, bisa memberikan pelajaran yang efektif.
"Harus dibuka, ingat ya waktu dulu saya pimpinan KPK pernah sekretaris saya disinyalir melanggar kode etik. Waktu itu sidang kode etik sebenarnya bisa tidak dibuka untuk umum, tapi kenapa? saya ingin memberi pelajaran kepada seluruh masyarakat Indonesia saat itu makanya sidangnya dibuka untuk umum," tuturnya.
Penyidik dan penyelidik KPK sebelumnya mengeluhkan adanya hambatan dalam pengusutan perkara. Mereka membuat petisi yang ditujukan pada pimpinan KPK.
"Kurang-lebih satu tahun ke belakang ini, jajaran di Kedeputian Penindakan KPK mengalami kebuntuan untuk mengurai dan mengembangkan perkara sampai dengan ke level pejabat yang lebih tinggi atau big fish, level kejahatan korporasi, maupun ke level tindak pidana pencucian uang," tulis petisi tersebut, Rabu (10/4).
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil sedang mempertimbangkan untuk melakukan gelar perkara publik terhadap kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.
Salah satu anggota Koalisi Masyarakat Sipil, Lokataru Foundation bahkan berniat membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tandingan yang independen.
"Kita bisa bikin pola-pola tandingan misalkan tim pencari fakta tandingan ringan hingga gelar perkara publik supaya lebih fair. Paparkan ke publik secara terbuka," ujar Communication Officer Lokataru Foundation sekaligus pegiat Kamisan Ahmad Sajali usai diskusi 'Dua Tahun Kasus Novel' di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Rabu malam (10/4).
Dalam kasus teror terhadap Novel, pada 8 Januari 2019 Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah menandatangani surat tugas tim gabungan yang dipimpin Kapolda Metro Jaya, dan di dalamnya ada anggota pakar di luar Polri serta terdapat pula tim dari KPK.
Terkait tim tersebut, Ahmad Sajali mengatakan independensinya diragukan karena komposisi anggota yang mayoritas berasal dari Polri. Padahal, berdasarkan laporan pemantauan dari Koalisi Masyarakat Sipil ada kemungkinan jenderal polisi juga terlibat bahkan politikus dalam teror air keras tersebut. *
"Sebenarnya yang terjadi sekarang ini adalah gejolak, gejolak perasaan pegawai yang resah, kenapa resah? karena ada beberapa persoalan yang mendasar itu sampai detik ini belum bisa diselesaikan salah satunya kasus penyerangan novel," kata Samad saat menghadiri peringatan 2 tahun teror terhadap Novel di gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (11/4).
Samad juga menduga ada pelanggaran kode etik yang dilakukan pejabat struktural di KPK yang membuat pegawai resah. Petisi yang disampaikan pegawai itu menurut Samad merupakan hal wajar.
"Mungkin ada kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan pejabat struktural. Kelihatannya itupun tidak ada tindak lanjut yang konkret, karena itu lah mungkin kegelisahan itu, kegalauan itu yang dialami anak-anak saya di KPK. Sehingga, dia menyampaikan surat kepada pimpinan KPK, dan menurut saya itu wajar," ucapnya dilansir detik.
Menurut Samad, adanya petisi itu menunjukkan keadaan yang tidak kondusif. Dia menyarankan pimpinan KPK saat ini tidak bersikap loyo.
"Sehingga saya sarankan, pimpinan KPK sudahlah jangan terlalu loyo untuk menyelesaikan persoalan yang ada, jangan terlalu lambat, karena kelambatan yang dilakukan pimpinan KPK, membawa ketidakpastian bagi seluruh pegawai KPK," kata dia.
Samad mengatakan, jika ada pelanggan kode etik maka harus dilakukan sidang dan dibuka ke publik. Cara itu, menurutnya, bisa memberikan pelajaran yang efektif.
"Harus dibuka, ingat ya waktu dulu saya pimpinan KPK pernah sekretaris saya disinyalir melanggar kode etik. Waktu itu sidang kode etik sebenarnya bisa tidak dibuka untuk umum, tapi kenapa? saya ingin memberi pelajaran kepada seluruh masyarakat Indonesia saat itu makanya sidangnya dibuka untuk umum," tuturnya.
Penyidik dan penyelidik KPK sebelumnya mengeluhkan adanya hambatan dalam pengusutan perkara. Mereka membuat petisi yang ditujukan pada pimpinan KPK.
"Kurang-lebih satu tahun ke belakang ini, jajaran di Kedeputian Penindakan KPK mengalami kebuntuan untuk mengurai dan mengembangkan perkara sampai dengan ke level pejabat yang lebih tinggi atau big fish, level kejahatan korporasi, maupun ke level tindak pidana pencucian uang," tulis petisi tersebut, Rabu (10/4).
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil sedang mempertimbangkan untuk melakukan gelar perkara publik terhadap kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.
Salah satu anggota Koalisi Masyarakat Sipil, Lokataru Foundation bahkan berniat membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tandingan yang independen.
"Kita bisa bikin pola-pola tandingan misalkan tim pencari fakta tandingan ringan hingga gelar perkara publik supaya lebih fair. Paparkan ke publik secara terbuka," ujar Communication Officer Lokataru Foundation sekaligus pegiat Kamisan Ahmad Sajali usai diskusi 'Dua Tahun Kasus Novel' di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Rabu malam (10/4).
Dalam kasus teror terhadap Novel, pada 8 Januari 2019 Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah menandatangani surat tugas tim gabungan yang dipimpin Kapolda Metro Jaya, dan di dalamnya ada anggota pakar di luar Polri serta terdapat pula tim dari KPK.
Terkait tim tersebut, Ahmad Sajali mengatakan independensinya diragukan karena komposisi anggota yang mayoritas berasal dari Polri. Padahal, berdasarkan laporan pemantauan dari Koalisi Masyarakat Sipil ada kemungkinan jenderal polisi juga terlibat bahkan politikus dalam teror air keras tersebut. *
1
Komentar