Tradisi dan Ilmu
Penilaian terhadap peradaban Bali cenderung menggunakan pendekatan ganda.
Di satu sisi, krama Bali menggunakan tata krama pergaulan secara turun-temurun (baca: tradisi). Di sisi lainnya, mereka menggunakan tata krama pergaulan modern (baca: ilmiah). Menurut Prof Duija, mantan rektor IHDN Denpasar, pendekatan secara adat memang berkarakter holistik, namun sering lengah sehingga ‘nasi yang ditanak keburu hangus’. Sedangkan, pendekatan modern berciri ilmiah, tetapi berpotensi keliru seperti ‘melihat pohon, lupa pada hutannya’. Kedua pendekatan ini sering teridentifikasi pada pelaksanaan berbagai upacara keagamaan Hindu di Bali.
Tindak religi dilaksanakan dengan taat, namun ia tidak memberi makna yang dalam. Misalnya, pelaksanaan ‘Ngaben Ngerit’ hanya terfokus pada efisiensi biaya, waktu, dan tenaga. Bagaimana dengan hutan filosofis kremasi yang dikaitkan dengan pengembalian ke lima unsur asalinya? Dan, makna apa yang tersembunyi dalam tindak religi tersebut, yang dikaitkan dengan pelahiran generasi yang lebih baik? Sama halnya dengan pelaksanaan berbagai yadnya lainnya. Yadnya sudah dilaksanakan dan diulang sepanjang ruang dan waktu, tetapi capaian hidup tidak jelas, atau ‘nasi sudah ditanak tetapi keburu hangus sebelum dinikmati’.
Menjadi perenungan, bagaimana mentransformasi sebuah tradisi? Misalnya, apakah pelaksanaan yadnya tetap dilaksanakan sebagaimana kebiasaan atau dapat diubah? Atau, apakah sarana yadnya bisa disesuaikan bentuk, sifat maupun ukuran, namun esensinya tetap eksis? Konsep transformasi yang mungkin dapat diterapkan harus merentang dalam garis kontinum menurut desa, kala, dan patra. Cara demikian sejalan dengan pemikiran Rostow bahwa transformasi harus berjalan secara pelan tetapi pasti.
Tradisi kadang memiliki bentuk dan sifat yang tak lentur. Sedangkan, ilmu berkembang menurut Zaman. Masyarakat itu berubah dari waktu ke waktu. Masyarakat sering mengalami kesulitan dalam menghadapi globalisasi budaya. Mereka kesulitan dalam melestarikan budaya lokal seperti aslinya. Memang, tradisi merupakan nilai yang memberi identitas. Agar tidak tercabut dari akar budaya, maka tradisi ditransformasi dalam bentuk lebih akomodatif. Bentuk budaya lokal ditransformasi tetapi masih menyisakan esensi asalinya.
Tradisi meliputi sejarah lokal, peninggalan berharga, kerajinan, atau makanan lokal. Strategi masyarakat yang cermat diperlukan jika tradisi ingin dilestarikan. Masyarakat perlu mengidentifikasi komponen yang unik dan signifikan dari warisan budayanya. Transformasi unsur budaya harus memperhitungkan perkembangan zaman. Tradisi lebih nyaman hidup dalam budaya petani (agricultural era). Tradisi tidak bisa lepas dari cengkeraman zaman. Saat ini zaman digital, yang mengubah tata krama pergaulan. Membebaskan buta aksara tidak cukup hanya bisa membaca dan menulis. Kemampuan literasi harus dimiliki oleh krama Bali.
Sama halnya dengan tradisi, tidak cukup dilestarikan tetapi ditransformasi agar bermanfaat. Tradisi tidak dimaksudkan untuk menyusahkan tetapi menyejahterakan. Baca tulis harus menjadi sebuah roh dalam membangun peradaban Bali maju. Budaya literasi sudah berkembang di masyarakat kuno. Masyarakat purba dengan ciri nomaden melakukan upaya literasi dengan menuliskan sebuah tulisan di dedaunan atau dinding goa. Cita literasinya terbilang tinggi, diukir dengan cara khas sebelum mereka mengenal budaya tulis modern. Kenapa tradisi demikian tidak dilanjutkan, atau bahkan dikembangkan? Ilmu merupakan sarana untuk mengembangkan tradisi. Tanpa ilmu layaknya hewan yang berjalan dengan dua kaki. Dengan ilmu derajat dan harkat meningkat, tradisi akan berinterasksi dengan zaman secara produktif. Hindu adalah agama yang mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan. Veda pada intinya tuntunan bagi umat untuk meninggalkan kegelapan. Untuk meraih kesejahteraan, umat Hindu dituntun untuk memeroleh pengetahuan untuk mengembangkan peradaban, bukan sebaliknya. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
1
Komentar