Transaksi vs Transformasi
ANALOG dengan pandangan Anthony dan Govindarajan (2003), desa adat terdiri dari berbagai unsur.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Masing-masing unsur memiliki fungsinya. Fungsi-fungsi tersebut saling mempengaruhi. Kadang interaksinya berakhir dengan benturan destruktif atau melahirkan kerjasama produktif. Ini semua tergantung pada karakteristik kepemimpinan. Sederhananya, kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau sekelompok orang. Davis maupun Blanchard (2004) berpendapat bahwa kepemimpinan yang buruk akan melahirkan suasana kaotik. Sebaliknya, kepemimpinan yang baik akan menciptakan suasana kondusif.
Dari turbulensi di desa adat dan cara penyelesaiannya, dapat disimpulkan adanya dua bentuk kepemimpinan. Kedua kepemimpinan itu adalah kepemimpinan transaksional dan transformasional. Kepemimpinan transaksional dan transformasional dikembangkan oleh Bass (1985). Kedua bentuk kepemimpinan tersebut bertolak dari pendapat Maslow tentang tingkatan kebutuhan manusia. Menurut teori hierarki kebutuhan, terdapat kebutuhan lebih rendah, seperti kebutuhan fisik, rasa aman, dan pengharapan. Kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan baik melalui penerapan kepemimpinan transaksional. Namun, aktualisasi diri, hanya dapat dipenuhi melalui penerapan kepemimpinan transformasional.
Kepemimpinan transformasional fokus pada memotivasi bawahannya untuk memenuhi tanggung jawab lebih dari yang mereka harapkan. Oleh karena itu, pemimpin transformasional harus mampu mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi, misi, dan tujuan organisasi. Karena kemampuan itu, bawahan menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya. Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik. Ia biasanya berperan sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya. Tambahan pula, pemimpin transformasional dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan bawahan.
Dalam era kemajuan pariwisata budaya, berbagai transaksi terjadi di ruang dan waktu desa adat di Bali. Dengan berbagai alasan, tanah leluhur semakin menyempit karena diperjual-sewakan secara bebas. Adat dan budaya Bali semakin hari semakin bersifat transaksional. Transaksi dilakukan atas dasar kebutuhan akan sandang, pangan, papan, dan upacara agama. Berbagai aturan sudah dikeluarkan, namun hasilnya belum efektif. Pelanggaraan adat, ketimpangan sosial, keniraksaraan akan kebenaran dan sejenisnya lahir karena adanya transaksi bebas nilai. Sudah waktunya, sifat atau watak pemimpin sosial, religius maupun politik dirumuskan dengan baik, agar masalah itu bisa teratasi. Saat ini, tidak terdapat satupun watak atau kombinasinya yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan pemimpin Bali dalam mengatasi kegaduhan sosial dan budaya di Bali.
Apa sudah waktunya bentuk kepemimpinan sosial, religius maupun politik menerapkan kepemimpinan transformasional? Misalnya, orangtua sudah saatnya menerapkan pola asuh yang motivatif pada anggota keluarganya. Atau, orangtua harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan, dan mengartikulasikan visi keluarga yang diimpikan. Demikian halnya dengan pemimpin di desa adat. Seorang pemimpin transformasional, merupakan sosok yang karismatik. Ia harus mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa desa pakraman mencapai tujuan. Pemimpin agama harus juga mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi agama Hindu di masa depan. Simpulannya, para pemimpin Bali harus memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan krama Bali pada tingkatan yang lebih tinggi dari yang dibutuhkan secara material. Hal ini dapat terwujud apabila pemimpin Bali menerapkan tiga dimensi kepemimpinan transformasional. Pertama, seorang pemimpin hendaknya berperilaku yang menumbuhkan rasa kagum, hormat, dan percaya terhadap pikiran, perkataan, dan perila kunya (idealized influence). Dimensi yang kedua disebut sebagai motivasi inspirasional (inspirational motivation). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai simulasi intelektual (intellectual stimulation). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi. Semoga. 7
Komentar