Lentera : Membuka Rahasia Jiwa
DI dunia ilmu eksakta, sekali sebuah pertanyaan terjawab, pertanyaan itu ditutup. Misalnya, sekali ditemukan bumi berbentuk bundar, maka pertanyaan bagaimana bentuk bumi langsung ditutup. .-IST
Tapi, di dunia ilmu manusia, ada banyak pertanyaan yang tidak pernah bisa ditutup. Ia ditanyakan manusia dari zaman ke zaman. Jawabannya berbeda dari zaman ke zaman, dari orang satu ke orang yang lain. Contohnya, apa itu kebahagiaan, apa itu kebenaran, apa itu rahasia jiwa, dan segudang pertanyaan lainnya. Dengan tidak berpretensi mau menjawab pertanyaan secara tuntas, tulisan singkat ini adalah salah satu bahan bagi para sahabat pencari cahaya. Setidaknya, ada sekilas cahaya di tengah malam. Dalam bahasa sederhana namun dalam, ada dua evolusi jiwa manusia. Pertama, dari sakit menuju sembuh. Kedua, dari sembuh menuju tercerahkan.
Dari Sakit Menuju Sembuh
Seorang sahabat dokter bertanya, apakah semua orang punya luka jiwa? Sejauh yang bisa dilihat dari sejarah, bahkan jiwa-jiwa suci pun memiliki sesuatu yang ia cari---kalau tidak mau dikatakan memiliki luka jiwa. Itu sebabnya, Buddha Gautama mencari ibunya di alam dewa, setelah mengalami pencerahan. Yesus Kristus pernah menghilang, diduga beliau mencari ayahandanya.
Sebagian tanda jiwa-jiwa yang memerlukan kesembuhan adalah ada rasa kurang di dalam, sering tidak puas, banyak keluhan, sedikit-sedikit melawan. Lebih parah lagi kalau sering mimpi buruk, sering dibakar amarah. Yang paling parah ketika tubuh sudah diserang penyakit kronis seperti kanker, atau sering mendengar bisikan bunuh diri. Ada banyak jalan menuju sembuh, tentu saja. Yang mau dibagikan di sini sederhana, ‘menenun’ masa lalu yang menakutkan menjadi masa depan yang penuh harapan.
Sejujurnya, setiap orang punya cerita yang berbeda-beda. Sementara orang sakit dibikin semakin sakit oleh cerita yang telah terjadi, jiwa yang sembuh bisa menenun cerita menjadi benih-benih cahaya. Agar para sahabat dibikin sembuh (bukan dibunuh) oleh cerita yang telah terjadi, ada beberapa bahan renungan yang tersedia.
Pertama, jauhkan diri dari segala bentuk penafsiran negatif, seperti dosa dan neraka. Di psikologi, ada pesan tua tentang self-fulfilling prophecy. Apa yang Anda yakini secara berlebihan (termasuk dosa dan neraka), bisa menjadi kenyataan kemudian. Kedua, sirami benih-benih indah di dalam. Bisa melalui bacaan, tontonan, atau pergaulan. Segelap apa pun masa lalu seseorang, selalu ada benih indah di dalam. Ketiga, perkuat pohon indah di dalam melalui cinta kasih dalam tindakan.
Seorang sahabat bercerita kalau dia sangat pemalu sampai di umur 29 tahun. Alasan terpentingnya, dari kecil sering dihina orang karena bentuk hidungnya yang mancung ke dalam. Bahkan, ada kawan masa kecil yang demikian teganya menghina seperti ini: “Jangan dekat-dekat sama dia. Lubang hidungnya besar. Kalau dia tarik napas dalam-dalam, Anda bisa disedot!”
Bayang-bayang tentang bentuk hidung yang tidak menarik ini terus mengikuti secara menakutkan. Sampai suatu hari sahabat ini berjumpa seorang pengusaha Tionghoa yang bergumam meyakinkan seperti ini: “Saya belum pernah berjumpa hidung yang sehoki (seberuntung) hidung Anda.”
Setelah kejadian tersebut, sahabat ini ‘menenun’ cerita buruk dari masa lalu menjadi cahaya indah menuju masa depan. Keyakinan hoki ini membuat dia mengalami banyak keberuntungan dalam kehidupan.
Kawan yang lain punya cerita lainnya lagi. Dia disusui ibunya sampai umur 8 tahun. Butuh waktu puluhan tahun untuk ‘menenun’ cerita ini menjadi cahaya indah. Suatu hari, kawan ini berjumpa karya Dr Thomas Bien (Finding the center within), seorang doktor psikologi yang sekaligus guru meditasi. Di sana terbuka rahasia tentang kesembuhan jiwa. Rasa lelah, resah, gelisah, amarah adalah luka jiwa dari masa kecil yang muncul ke permukaan. Dan, langkah kesembuhan yang disarankan adalah mendekap luka jiwa dari masa kecil, persis seperti seorang ibu mendekap bayi kesayangannya.
Hasilnya, kawan ini tidak saja sembuh, tapi juga bertumbuh menjadi pembawa cahaya. Tidak terhitung jumlah manusia dengan luka jiwa yang dibimbing oleh kawan ini. Inilah persisnya yang disebut ‘menenun’ masa lalu yang menakutkan menjadi masa depan yang penuh harapan.
Dari Sembuh Menuju Tercerahkan
Sementara jiwa-jiwa sembuh disebut termurnikan, jiwa-jiwa tercerahkan disebut tersempurnakan. Orang termurnikan biasanya memiliki sangat sedikit keluhan, tidak tertarik bersaing berlebihan, bahagia menjadi diri sendiri apa adanya. Meminjam sebuah pesan tua ‘Bisa menjadi diri sendiri di tengah dunia yang terus menerus menggoda kita untuk menjadi orang lain, sungguh itu sebuah kemewahan’. Terutama, karena meniru orang lain secara berlebihan, termasuk meniru makhluk tercerahkan, mudah sekali membuat seseorang merasa terasing dalam tubuh sendiri. Persoalan waktu, yang bersangkutan akan lelah, resah, gelisah, penuh amarah. Dari sini juga bisa terlahir berbagai penyakit berbahaya. Dari sini juga bisa datang bisikan untuk bunuh diri.
Itu sebabnya, sejumlah Guru tercerahkan seperti J Krisnamurti dalam maha karyanya berjudul ‘Freedom From The Known’, merayu banyak orang untuk meninggalkan semua cerita. Termasuk meninggalkan ceritanya Sang Buddha, Shri Krisna, serta Sang Rama. Dalam bahasa yang lebih lugas, cerita mana pun adalah jebakan. Jika disederhanakan, cerita manusia bisa dibagi ke dalam historical self (historis diri seperti tahun lahir, lahir di keluarga seperti apa, bersekolah di mana), emotional self (perasaan yang pernah muncul sejak kecil lengkap dengan duka dan sukanya), logical self (keyakinan benar-salah), social self (status seseorang di masyarakat), sampai spiritual self (kerinduan untuk tercerahkan dan terbebaskan). Dan, di jalan menuju pencerahan, semua konsep diri ini jebakan. Terutama, karena kehidupan mengalir, sementara cerita-cerita itu tidak mengalir.
Dari kesadaran mendalam seperti inilah kemudian lahir the witnessing self (sang saksi yang abadi). Ia sesederhana langit biru yang menyaksikan semua awan yang numpang lewat. Kesedihan dan penderitaan mirip awan gelap. Kesenangan dan kebahagiaan serupa awan putih. Dan, keduanya tidak kekal, muncul dan lenyap.
Menendang kesedihan atau menggenggam kesenangan, sama-sama membuat seseorang gagal bertumbuh. Dan, sang saksi yang abadi menyaksikan semuanya tanpa kerangka sama sekali. Tanpa salah-benar, tanpa buruk-baik, tanpa neraka-surga. Namun, bukan cuek dan tidak peduli. Sebagaimana sifat alami air yang basah, sifat alami bunga yang indah, sifat alami seseorang yang menyatu dengan sang saksi yang abadi jiwanya bertumbuh indah. Tandanya, bahagia dengan cara membuat orang lain bahagia.
Suatu hari, ada Guru Zen yang lelah meditasi ke sana ke mari. Setelah lelah, dia balik ke Vihara Zen, membantu teman-temannya memasak. Di suatu pagi, dia dapat tugas membeli beras. Di toko beras, kawan ini meminta beras yang terbaik. Dengan tangkas dan lugas, pemilik toko beras menjawab seperti ini: “Everything is the best!” Dengan kata lain, semua yang terjadi adalah yang terbaik.
Begitu mendengar penjelasan seperti itu, Guru Zen langsung mengalami pencerahan. Ringkasnya, pencerahan adalah samudra yang berwarna biru serta bukit yang berwarna hijau. Semua sempurna apa adanya. Di tingkat ini, semua cerita adalah cerita sempurna. Dalam bahasa penyanyi Inggris Phil Collins. ‘No more words’. Tidak ada lagi yang perlu diceritakan. Tetua Bali menyebutnya nyepi lan ngewindu (keheningan sempurna). Selamat datang di rumah jiwa-jiwa yang indah. *)
Guruji Gede Prama
1
Komentar